Sikap multikulturalisme Mendikbud itu juga dituliskan oleh DR Ma’mun Murod Al-Barbasy, alumni UMM yang juga Alumni Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. “Saat semester III dan menjadi Ketua Umum IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) Komisariat FISIP UMM (1993), saya bermaksud mengundang Gus Dur (saat itu Ketua Tanfidziyah PBNU). Pak Hadjir yang saat itu menjadi Pembantu Rektor III dan Rektor Pak Malik Fadjar mendukung penuh niatan saya,” tulisnya tentang pengalaman mengundang KH Abdurrahman Wahid
(Baca juga: Ketika 2 Ormas Besar Berbagi Tugas: Muhammadiyah Urus Milad dan NU Urus Haul dan Masjid Kiai Dahlan saat Bertetirah di Pasuruan yang Sudah Berubah)
“Saat itu, gagasan mengundang Gus Dur mengundang pro kontra di UMM maupun IMM, tapi Pak Hadjir dan Pak Malik meminta jalan terus. Bahkan ketika acara tertunda seminggu lantaran Gus Dur harus ke Malaysia, Pak Hadjir pun mendukung.” jelasnya.
“Ini sekedar contoh sikap Pak Hadjir terhadap NU (Gus Dur). Kalau dalam diri Pak Hadjir dan Pak Malik penuh kebencian terhadap NU, pasti tak mungkin “mengijinkan” Gus Dur hadir di UMM. Gus Dur adalah penolak lahirnya ICMI, sementara Pak Malik adalah orang yang dekat dengan Ketua Umum ICMI BJ. Habibie. Kalau Pak Hadjir dan Pak Malik tidak punya wisdom, pasti akan menolak kehadiran Gus Dur. Selepas kehadiran Gus Dur, tak lama Pak Ud (KH. Yusuf Hasyim) yang notabene paman Gus Dur juga diundang ke UMM.”
(Baca juga: Ini Perbedaan Gaya Sarungan Warga Nahdliyin dan Muhammadiyah dan Ketika Imam Masjid Muhammadiyah Membaca Qunut)
Yang lebih revolusioner, bahkan membuat warga Muhammadiyah sendiri “panas”, tambah Ma’mun, Muhadjir juga berani melawan arus besar di Perguruan Tinggi Muhammadiyah. “Pak Hadjir membuat kebijakan bahwa semua organisasi kemahasiswaan boleh membuat komisariat di UMM,” tulis dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta ini.
Tak heran jika di UMM pun ada Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), organisasi kemahasiswaan yang berwajah NU. Bukan hanya monopoli IMM. “Tercatat saat itu, selain IMM, hadir juga Komisariat HMI. Bahkan HMI membuat komisariat di setiap Fakultas. Hadir juga PMII,” jelas Ma’mun panjang lebar.
(Baca juga: Putra Tokoh NU Itu Pimpin Pemuda Muhammadiyah Sukodadi dan Din Syamsuddin Pernah Jadi Kapten Kesebelasan MU Lawan NU)
“Pak Mas’ud Said (sekarang guru besar), Dosen FISIP UMM yang mantan Ketua Cabang PMII Malang menjadi mentor anak-anak PMII. Hadir pula GMNI, Gema Kosgoro. Bahkan mahasiswa-mahasiswa pengikut al-Arqam juga hadir. Saat itu KAMMI belum hadir,” cerita Ma’mun yang dalam keseharian memang dikenal sebagai warga “Muhammadiyah-NU”.
Dengan latar belakang Muhadjir yang seperti itu, maka sungguh aneh jika ada pihak yang berusaha menggiring opini bahwa Muhadjir adalah seorang yang sektarian. Bahkan beberapa bulan lalu sebelum diangkat sebagai Mendikbud, Muhadjir punya mimpi pentingnya persatuan umat Islam.
(Baca juga: Dirobohkannya Masjid Kami, Sebuah Kisah Nyata Intoleransi Mayoritas pada Minoritas dan Kisah Terusirnya Tokoh Muhammadiyah Yungyang dari Mushala, tapi Akhirnya Dapat ‘Hadiah’ Masjid)
“Saya sebetulnya berusaha menahan diri sepanjang ada perbedaan NU dan Muhammadiyah. Karena bagi saya, ukhuwah Islamiyah dan persatuan umat adalah segala-galanya,” tulisnya di PWMU.CO ketika ada orang yang menggulirkan isu “Menguak Rahasia Muhammadiyah Selalu Nampak Beda dengan NU”.
Bagi Muhadjir, salah satu unsur penting dalam membangun kebersamaan dalam perbedaan adalah menghindari penilaian terhadap pihak yang berbeda dengan sepihak. Jangan sampai logika satu kelompok dipakai untuk menilai kelompok lain yang berbeda karena hasilnya pasti tidak mengenakkan.
“Kalau Muhammadiyah dan NU terjalin ukhuwah yang kokoh bersatu dan menjadi satu kesatuan, maka untuk membereskan persoalan bangsa ini, alangkah dahsyatnya,” jelas Muhadjir tentang cita-cita persatuan umat Islam.
(Baca juga: Inilah Perjalanan Karier Mendikbud yang Baru, Prof Muhadjir Effendy dan Mendikbud Prof Muhadjir Effendy Sudah Diwakafkan Muhammadiyah untuk Negara)
Namun, Muhadjir pun sadar bahwa “persatuan” itu memang nyaris sebuah ilusi, sulit terwujud. “Terlalu banyak pihak yang ketakutan kalau NU dan Muhammadiyah bersatu. Karena itu, pihak-pihak ini berusaha menjauhkan NU dan Muhammadiyah, bahkan menabrakkan satu sama lain. Disamping itu, harus diakui bahwa dalam dua organisasi ini memang ada yang yang semangat ashabiyahnya berlebihan.”
Tulisan lengkapnya bisa dibuka dibaca pada tautan berikut: Jangan Paksakan Logika NU untuk Nilai Muhammadiyah! Begitu juga Sebaliknya. (abqaraya/paradis)