Golongan Pembantah Fatwa adalah artikel opini tulisan Nurbani Yusuf, Ketua MUI Kota Batu. Mengulas penentangan orang-orang terhadap fatwa shalat selama wabah Corona.
PWMU.CO-Seberapa taat antum kepada ulama sendiri? Jika saya jamaah Muhammadiyah maka saya akan patuhi fatwa ulama Pimpinan Pusat. Bukan sebaliknya. Membantah fatwa dengan dalil bersumber dari fatwa ulama lain di media sosial. Maka bermunculan orang-orang awam golongan pembantah fatwa yang seolah-olah berlagak seperti ulama.
Ulama Muhammadiyah seperti Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur Kiai Haji Dr Saad Ibrahim MA menjelaskan kaidah fatwa ihwal berjangkitnya wabah. Dalam kondisi normal digunakan kaidah: Pada dasarnya semua orang sehat, sampai terbukti sakit. Dalam kondisi pandemi Covid 19 sekarang ini kaidahnya dibalik: Pada dasarnya semua orang sakit, sampai terbukti sehat.
Atas dasar kaidah ini maka silakan mengadakan Jumatan dengan syarat setiap jamaah terlebih dahulu dicek kesehatannya. Jika semua sehat diteruskan Jumatan. Jika tidak, sebaiknya tidak usah diadakan Jumatan. Ganti dengan Duhur di rumah.
Ini juga berdasar kaidah ushul fiqih darul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih. Menghindari bahaya didahulukan dari pada mewujudkan kemaslahatan.
Ulama Muhammadiyah, Ketua Majelis Tablig PP KH Fathurrahman Kamal berfatwa: Jauhilah teologi Neo-Jabariyah yang menyerukan: takutlah kepada Allah bukan takut kepada virus Corona.
Pernyataan yang sekilas benar tapi ditujukan kepada suatu kebatilan. Qaulu haqqin u’ridha bihi al baathil. Sebab teologi ini sesat dalam meletakkan dalil dan keliru memahami maknanya secara komprehensif di samping fragmentatif. Miskin wawasan realitas serta buta maqashid syariah.
Dalam suasana seperti ini umat hanya punya dua pegangan. Allah dan RasulNya, melalui fatwa ulama kredibel dan otoritas pemerintah melalui gugus tugas Covid 19, para ahli kebencanaan, para dokter dan ahli kesehatan yang profesional. Saatnya kita mengakui otoritas wahyu, ilmu dan sains.
Fatwa Shalat Jumat Diganti Shalat Duhur
Fatwa Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengimbau agar jamaah Muhammadiyah dan umat Islam pada umumnya menunaikan shalat Duhur di rumah masing-masing sebagai pengganti shalat Jumat di masjid.
Para takmir tidak perlu menyelenggarakan shalat Jumat. Adapun shalat fardhu berjamaah dapat diselenggarakan di rumah masing-masing.
Fatwa pada masalah berbeda menyangkut politik kenegaraan pernah disampaikan Ki Bagus Hadikoesoemo Ketua Pengurus Besar pada Muktamar Muhammadiyah 33 Palembang. Fatwa itu berbunyi Daarul Islam, negara Islam, pemerintahan Islam biarlah menjadi semboyan partai-partai politik Islam, dan beri izinlah kami buat mengembangkan tekad tujuan kami yaitu masyarakat Islam.
Kiai Hadji Ahmad Dahlan pernah berfatwa pada situasi kritis: Janganlah kamu berteriak-teriak membela agama dengan menyumbangkan jiwamu. Jiwamu tak usahlah kamu tawarkan. Kalau Tuhan menghendaki dengan jalan sakit atau tidak, tentu kamu akan mati. Tapi beranikah kamu menawarkan harta bendamu untuk kepentingan agama. Itulah yang lebih diperlukan untuk waktu sekarang ini.
Tapi bagaimana jika kemudian banyak jamaah salah kamar. Mengaku Muhammadiyah, pengurus, takmir, atau pimpinan malah mengambil fatwa dari ulama sebelah yang tidak kredibel kemudian digunakan untuk ’menantang’ fatwa ulama sendiri?
Ada orang tak patuhi fatwa mengganti shalat Jumat dengan shalat Duhur di rumah. Tapi dia terima fatwa membuat shaf renggang dengan melanggar perintah syariat harus merapatkan shaf. Ini artinya, orang itu bersikap ketidakpatuhan menuju ketidakpatuhan berikutnya.
Padahal kalau dia taat pada fatwa mengganti shalat Jumat dengan shalat Duhur maka dia lari dari ketaatan menuju ketaatan. Yaitu taat mengganti shalat Jumat dengan Duhur menuju taat menyelamatkan banyak orang.
Ada baiknya fatwa almarhum Buya Yunahar Ilyas ini direnungkan: Jika cocok dengan keinginan, kalian ikuti, tapi jika tak cocok, kalian bantah. Sesunguhnya kalian tidak mematuhi ulama tapi memanfaatkan ulama.
Wallahu taala a’lam. (*)
Editor Sugeng Purwanto