Virus Corona Khalifah Alam Semesta? Kolom oleh Pradana Boy ZTF Dosen Hukum Islam, Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
PWMU.CO – Dalam menggambarkan situasi wabah yang melanda seluruh belahan dunia saat ini, Radio BBC London merilis sebuah video singkat yang berisikan untaian kalimat-kalimat puitis nan indah.
Meski singkat, video itu mengandung makna yang mendalam, menggugah kesadaran nurani, dan mengajarkan pelajaran-pelajaran penting tentang hakikat keseimbangan hidup di alam semesta. Lebih khusus lagi, tentang hubungan manusia dengan sesama ciptaan Tuhan. Berikut petikannya:
Lockdown
Yes, there is fear
Yes, there is isolation
Yes, there is panic buying
Yes, there is sickness
Yes, there is even death
But, they say that in Wuhan
after so many years of noise
you can hear the birds again
They say that after just a few weeks of quiet The sky is no longer thick with fumes
But blue and grey and clear
Lockdown
Ya, ada ketakut
Ya, ada pengasingan
Ya, ada belanja karena kepanikan
Ya, ada kesakitan
Ya, bahkan kematian pun ada
Tetapi, mereka mengatakan bahwa di Wuhan
setelah sekian tahun kebisingan
Anda bisa mendengar burung [berkicau] lagi
Mereka mengatakan bahwa setelah beberapa pekan tenang
langit tak lagi tebal dengan asap
Tetapi biru, abu-abu dan bersih
Ungkapan Jujur
Ungkapan ini jujur. Tidak mengada-ada. Bukan pula mengajak berkeluh kesah. Sebaliknya, menabur energi positif. Di tengah wabah global yang mencekam, memang banyak pihak yang bermain peran sebagai pemberi kabar sedih dan ancaman.
Mereka lebih senang menggiring orang kepada keraguan, bukan menumbuhkan harapan. Seyogianya, dalam situasi seperti ini selalu diselipkan optimisme dan imajinasi positif agar pikiran tidak selalu terbawa pada bayangan-bayangan suram kehidupan.
Memang singkat! Namun, kalimat di atas dengan sangat jitu memotret sisi lain dari bencana global ini; yakni sebuah dimensi yang mungkin tak banyak disadari. Itulah sisi hikmah.
Ini wajar. Memang tak semua mata mampu menangkap hikmah. Karena hanya mata hati bening yang mampu mencandranya. Puisi di atas tak mungkin lahir dari mata hati bertabur debu.
Puisi itu menyentakkan kesadaran. Wabah Corona telah menampar kepedulian manusia akan keseimbangan ekologi. Meskipun seringkali luput dari kesadaran manusia, wabah ini perlahan tengah membawa alam kepada kenormalannya.
Wabah Corona memang telah menghadirkan ketakutan bagi penghuni bumi, tetapi tanpa direncanakan, langit seolah tersenyum karena asap tebal tak lagi membebaninya dengan polusi. Inilah ironi, manusia penghuni bumi berulah di luar kenormalan, dan langit pula yang turut menanggung ketidakseimbangan.
Ini semua terjadi karena selama ini manusia terlampau asyik terbuai oleh kedigdayaan, sehingga alam diperlakukan bukan sebagai mitra kehidupan. Namun sebagai objek eksploitasi untuk memuaskan aneka hasrat keduniaan.
Corona dan Hikmah Keseimbangan Alam
Akibatnya, alam tak lagi berimbang. Perilaku seperti ini adalah akibat dari pandangan yang bertumpu pada prinsip anthropocentrism bahwa manusia adalah sebagai poros utama alam semesta; dan karena itu merasa berhak menjadi penguasa dan bebas mendulang segala.
Sebagai misal, tingkat kebutuhan manusia pada konsumsi pangan dan kebutuhan akan energi menunjukkan kecenderungan peningkatan dari zaman ke zaman. Namun, pendemi global Corona yang mengakibatkan aneka pembatasan perjalanan, telah menjadikan konsumsi bahan bakar berkurang.
Tak main-main tingkat penurunannya, sehingga akibat nyatanya bisa dirasakan pada permintaan minyak di tingkat dunia. Rendahnya permintaan minyak itu pula yang telah membawa Rusia dan Arab Saudi gagal bersepakat tentang harga.
Akibatnya, harga minyak menjadi sangat rendah. Kini, harga minyak global adalah US$25 per barel, sementara pada tahun 2008 harga tersebut adalah US$140.
Alam Lebih Ramah
Kenneth Gillingham, profesor bidang lingkungan dan energi di Universitas Yale, Amerika Serikat, menyebutkan bahwa akibat wabah Corona ini, emisi polusi udara mengalami penurunan yang dramatis.
Ini bukti bahwa tanpa disadari, Corona telah mengembalikan alam kepada keseimbangan. Sesungguhnya, keseimbangan adalah tugas Ilahiyah yang dibebankan kepada manusia, lantaran manusia telah bersedia mengemban amanat, tentu saja termasuk merawat semesta (al-Ahzab: 72).
Namun dorongan hasrat hedonisme material, telah menjadikan manusia abai akan fungsi mulianya itu. Maka, tak diragukan, di antara fungsi kekhalifahan manusia di bumi adalah menegakkan keseimbangan; karena keseimbangan adalah hukum Ilahi. Al-Qur’an menyebut keseimbangan itu sebagai al-mizan.
Allah berfirman dalam Surat al-Rahman, ayat 7-9: “Dan langit telah ditinggikan-Nya, dan Dia ciptakan keseimbangan (al-mizan). Agar kamu jangan merusak keseimbangan (al-mizan). Dan tegakkanlah keseimbangan (al-wazna) dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan (al-mizan) itu.”
Virus Corona Khalifah Alam Semesta?
Jika demikian, kini khalifah alam semesta manusia ataukah Corona yang menjalankan fungsinya?
Profesor Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, menafsirkan kata al-mizan pada ayat di atas sebagai keseimbangan yang berkaitan dengan alam raya. Bahwa Allah menciptakan alam raya ini disertai dengan berbagai gaya yang ada pada benda-benda langit.
Jika harus ditafsirkan lebih jauh, maka keseimbangan yang berkaitan dengan alam ini maknanya adalah menyeimbangkan siklus ekologi alam semesta, seperti telah disinggung di muka.
Pada ayat lain, al-Quran juga menyebutkan: “Dan Kami telah menghamparkan bumi dan kami pancangkan padanya gunung-gunung serta Kami tumbuhkan di sana segala sesuatu menurut ukuran (mauzunin).” (al-Hijr: 19).
Dua ayat di atas memuat tiga istilah yang merujuk kepada makna keseimbangan atau yang serupa, yakni: al-mizan, al-waznu, dan mauzunun. Karena misi penciptaan manusia adalah menjadi khalifah di bumi; maka, secara sederhana bisa diambil kesimpulan, salah satu implementasi dari tugas sebagai penjaga keseimbangan alam raya ini adalah dengan memelihara bumi.
Mengutip hadits yang menyebut “Setiap jengkal bumi adalah masjid,” Ibrahim Abdul-Matin, seorang penulis Muslim asal Amerika Serikat memahaminya sebagai isyarat bahwa bumi adalah suci sebagaimana masjid.
Dalam konteks ini, saya meyakini gerakan go green yang belakangan mulai marak dilakukan dan dikampanyekan para aktivis lingkungan, pada hakikatnya adalah salah satu implementasi dari tugas kekhalifahan manusia sebagai penjaga al-mizan itu.
Karena itu, Muslim hendaknya menjaga bumi dan menghormatinya sebagaimana menjaga dan menghormati masjid yang suci. Jika itu terjadi, maka keseimbangan ekologis di alam raya ini sama sekali bukan impian. Dan akan terjawab pertanyaan Virus Corona khalifah alam semesta.
Prinsip Anthropocosmic
Dari sini jelas bahwa Islam tidak mengenal prinsip anthropocentrism secara berlebihan. Sebaliknya, meminjam istilah Tu Weiming, Direktur Harvard-Yenching Institute, Universitas Harvard, hubungan manusia dan alam semesta ini bersifat anthropocosmic.
Bahwa manusia dan alam semesta pada hakikatnya adalah entitas tunggal yang tidak mungkin dipisahkan. William Chittick, penulis tema-tema sufisme Islam, memandang doktrin tauhid yang merupakan poros ajaran Islam, juga memiliki korelasi tentang cara Islam memandang hubungan manusia dan alam semesta. Keduanya berhubungan dalam konteks ketundukan transendental sebagai makhluk Tuhan.
Di luar derita dan kerugian, wabah Corona telah membawa manusia kepada kesadaran baru akan pentingnya memainkan peran al-mizan dan harmoni dengan alam semesta.
Semua berharap Corona segera berlalu. Tetapi, kehadirannya telah menjalankan peran tak langsung sebagai pembawa peringatan pemegang tonggak kekhalifahan manusia atas semesta. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.