Ketegasan Ki Bagus Aroma Kiai Dahlan ditulis oleh M. Anwar Djaelani. Dalam analisisnya sikap tegas Ki Bagus Hadikusumo sangat dipengaruhi oleh KH Ahmad Dahlan.
PWMU.CO – Ki Bagus Hadikusumo pejuang yang teguh. Sikapnya yang kukuh dalam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara—terutama kegigihannya dalam mempertahankan “Tujuh Kata” dalam Piagam Jakarta—sulit kita lupakan. Siapa gerangan tokoh yang turut membentuk pribadi yang patut kita teladani itu?
Ki Bagus Gantikan Mas Mansur
Di antara jejak perjuangan Ki Bagus Hadikusumo yang panjang, ada dua yang sangat menonjol. Pertama, Ki Bagus Hadikusumo dan Empat Serangkai. Ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Ketua Pengurus Besar (PB) Muhammadiyah 1937-1942 Mas Mansur termasuk salah seorang dari empat tokoh nasional yang sangat diperhitungkan.
Tiga tokoh lainnya adalah Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hajar Dewantara. Mereka terkenal dengan sebutan Empat Serangkai.
Keterlibatan Mas Mansur dalam Empat Serangkai mengharuskan dia pindah ke Jakarta, sehingga jabatan Ketua PB Muhammadiyah—kini Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah—diserahkan kepada Ki Bagus Hadikusumo.
Belakangan, kekejaman Pemerintah Jepang yang luar biasa terhadap rakyat Indonesia menyebabkan Mas Mansur tidak tahan dalam beraktivitas di Empat Serangkai.
Selanjutnya, Mas Mansur memutuskan untuk kembali ke Surabaya dan kedudukannya di Empat Serangkai digantikan oleh Ki Bagus Hadikusumo (suaramuhammadiyah.id). Ki Bagus Hadikusumo juga menggantikan posisi Mas Mansur sebagai Ketua PB Muhmmadiyah. Beliau memimpin tahun 1942-1953.
Ki Bagus Hadikusumo dan Dasar Negara
Jejak kedua, Ki Bagus Hadikusumo dan Dasar Negara. Beliau tercatat punya sejarah emas—setidaknya bagi kalangan Islam—dalam hal keuletannya memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Dia tegar untuk selalu mengaitkan keislaman dengan kebangsaan.
Perjuangan Ki Bagus Hadikusumo di pergerakan kemerdekaan Indonesia telah berlangsung lama. Walau sekilas, peran besar beliau itu terlihat lewat posisinya di Empat Serangkai yang telah sedikit disinggung di atas.
Sekarang, kita berkonsentrasi di sekitar momentum “perumusan akhir” Pancasila dan dasar negara. Peran Ki Bagus Hadikusumo di sini jelas tidak kecil. Dia, dari “faksi” Nasionalis-Islami, gigih memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Gerakannya itu dia lakukan lewat keanggotaannya di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Dalam perjalanannya, BPUPKI berubah menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan Ki Bagus Hadikusumo juga menjadi anggotanya.
Di kedua lembaga tersebut Ki Bagus Hadikusumo begitu lantang menyuarakan agar Islam dijadikan sebagai dasar negara. Sekaitan itu, terekam juga sikap tegasnya dalam menolak usulan pencoretan “Tujuh Kata” dalam Piagam Jakarta.
Luluh oleh Kasman Singodimedjo
Terkait jejak kepejuangan Ki Bagus Hadikusumo yang fenomenal, ada buku menarik berjudul Hidup Itu Berjuang: Kasman Singodimedjo 75 Tahun. Buku setebal 594 halaman itu berisi riwayat hidup Kasman, testimoni sejumlah sahabat, dan naskah pidato-pidatonya. Siapa Kasman Singodimedjo? Dia adalah anggota PPKI.
Di antara bagian paling penting dari buku itu adalah bagaimana sikap tegas Ki Bagus Hadikusumo dalam mempertahankan “Tujuh Kata” di Piagam Jakarta. Bahwa, Piagam Jakarta sebenarnya merupakan “Gentlemen’s Agreement” dari bangsa ini terkait rumusan Pembukaan UUD 1945. Piagam Jakarta telah diterima secara bulat pada sidang BPUPKI dan ditandatangani pada 22 Juni 1945.
Hanya saja, dalam perkembangannya, di sidang PPKI ada yang memasalahkan dasar “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Konon, ada yang mengajukan keberatan, bahwa “Tujuh Kata” itu dianggap potensial merusak keutuhan NKRI. Tentu saja, “faksi” Nasionalis-Islam di PPKI menolaknya karena telah menjadi kesepakatan sebelumnya.
Di PPKI, dalam serangkaian prosesnya, hanya Ki Bagus Hadikusumo yang tetap bersikukuh mempertahankan “Tujuh Kata” itu. Lalu, mengingat bahwa situasi politik kala itu sedang membutuhkan keputusan yang cepat. Ditambah adanya janji untuk membuat UUD yang permanen pada kurun enam bulan berikutnya. Juga mengakomodasi Islam sebagai dasar negara, Kasman—sebagai sesama anggota PPKI—ikut meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo untuk mengalah sementara. Singkat kisah, Ki Bagus Hadikusumo lalu bisa menerima.
Ternyata, janji untuk membuat UUD yang permanen sebatas janji. Tentu saja, keadaan ini membuat Kasman merasa bersalah atas apa yang telah dikerjakannya dahulu, pada 1945. Terlebih lagi, ini sangat mungkin, Ki Bagus Hadikusumo—yang gigih memperjuangkan Islam sebagai Dasar Negara—telah meninggal pada 1954.
Kasman Tebus ‘Kesalahan’
Kasman menyadari bahwa dirinya terbuai dengan janji Soekarno. Sebuah janji, yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat yang akan dapat memerbaiki kembali semua itu.
Seperti ingin menebus kesalahan pada peristiwa hilangnya “Tujuh Kata”, maka pada sidang Konstituante pada 2 Desember 1957, Kasman memanfaatkannya untuk menuntut dijadikannya Islam sebagai dasar negara.
Berikut petikan pidatonya:
“Saudara Ketua, saya masih ingat, bagaimana ngototnya almarhum Ki Bagus Hadikusumo yang pada waktu itu sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempertahankan agama Islam untuk dimasukkan ke dalam muqaddimah dan Undang-Undang Dasar 1945.
Begitu ngotot Saudara Ketua, sehingga Bung Karno dan Bung Hatta tidak dapat mengatasinya. Sampai-sampai Bung Karno dan Bung Hatta menyuruh Mr. TM Hassan sebagai putera Aceh menyantuni Ki Bagus Hadikusumo guna menentramkannya.
Hanya dengan kepastian dan jaminan bahwa 6 bulan lagi sesudah Agustus 1945 itu akan dibentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis Pembuat Undang-undang Dasar Negara guna memasukkan materi Islam itu ke dalam Undang-Undang Dasar, yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo untuk menanti.
Saudara Ketua, kini Juru Bicara Islam—Ki Bagus Hadikusumo—itu telah meninggalkan kita untuk selama-lamannya, karena telah berpulang ke Rahmatullah (pada 1954, pen). Beliau telah menanti dengan sabarnya, bukan menanti 6 bulan seperti yang telah dijanjikan kepadanya. Beliau menanti, ya menanti sampai wafatnya.
Beliau kini tidak dapat lagi ikut serta dalam Dewan Konstituante ini untuk memasukkan materi Islam ke dalam UUD yang kita hadapi sekarang ini …”
Aroma KH Ahmad Dahlan
Ketegasan Ki Bagus aroma Kiai Dahlan. Setidaknya, dari penampilan berupa sikap tegas Ki Bagus Hadikusumo di sidang PPKI, maka ulasan Nadjamuddin Ramly dan Hery Sucipto di buku Ensiklopedi Tokoh Muhammadiyah (2010: 118), ini benar. Bahwa, Ki Bagus Hadikusumo menyadari pentingnya peran ulama dalam masyarakat.
Bagi dia, ulama adalah pewaris para Nabi untuk memimpin umat melakukan amar makruf nahi munkar. Selain itu ulama harus terlibat di tengah-tengah persoalan masyarakat dengan cara membimbingnya menuju ke arah yang baik.
Intinya, dalam pandangan Ki Bagus Hadikusumo, ulama adalah sosok yang wajib senantiasa berada di dalam masyarakat dan aktif menyelesaikan semua masalahnya.
Melihat kiprah dan pandangan Ki Bagus Hadikusumo, di dalamnya terasa ada jejak pelajaran dari Ahmad Dahlan (1868-1923), sang pendiri Muhammadiyah. Pertama, Ki Bagus Hadikusumo punya prinsip yang benar dalam memandang posisi strategis dari seorang ulama.
Sangat mungkin, beliau selalu ingat dengan nasihat Ahmad Dahlan ini: “Jadilah ulama yang dapat mengikuti perkembangan zaman dan janganlah jemu bekerja untuk masyarakat” (Amir Hamzah, 1962: 10).
Kedua, Ki Bagus Hadikusumo teguh dalam memegang amanat. Jelas, posisi sebagai anggota BPUPKI dan kemudian PPKI adalah amanat yang harus ditunaikan dengan baik.
Sementara, di persoalan amanat ini, sangat mungkin Ki Bagus Hadikusumo tak bisa melupakan fragmen berikut ini.
Suatu saat, Ki Bagus Hadikusumo ditugaskan untuk menghadiri acara Muhammadiyah di Solo. Rupanya, dia ketinggalan kereta api. Lalu, kembali pulang dan melapor kepada Ahmad Dahlan.
“Apa kamu tidak mempunyai kaki untuk berjalan sedemikan rupa bisa sampai ke sana?” Jika ketinggalan kereta api, apa berarti tidak ada cara lain untuk bisa memenuhi tugas,” tanya Ahmad Dahlan bernada nasihat.
Bergegas, Ki Bagus Hadikusumo lalu menyewa mobil dan berangkat menuju Solo. Di sana—bisa diduga—dia ditunggu banyak orang. Ongkos sewa mobil itu pun, lalu diganti oleh pihak yang mengundang. Adapun dana pengganti itu, didapat dengan cara gotong royong.
Hikmah Jejak Ki Bagus
Secara umum, jasa-jasa Ki Bagus Hadikusumo tak ternilai, baik bagi negeri ini dan umat Islam. Peran Ki Bagus Hadikusumo lalu berbuah pengakuan dan penghargaan. Sebagai salah seorang perancang Pembukaan UUD 1945, Pemerintah RI pada 1995 menganugerahi Ki Bagus Hadikusumo “Bintang Republik Indonesia Utama”.
Secara khusus, setidaknya ada dua pelajaran berharga dari perjalanan hidup Ki Bagus Hadikusumo. Pertama, bagi umat Islam, kita diajari agar bisa dan berani memperjungkan Islam bahkan sampai di tingkat pengelolaan negara.
Kedua, bagi negeri ini—dalam hal ini untuk para pemimpin—hendaknya jangan mengulangi praktik tak jujur atas komitmen politik yang telah dibuatnya.
Alhasil, duhai sejarah kepadamu kami berguru! Semoga kami menjadi lebih arif dalam menapaki kehidupan yang penuh warna ini. Semoga kami bisa menjadikan Ki Bagus Hadikusumo dan Ahmad Dahlan sebagai teladan dalam beramar makruf nahi munkar, bahkan sampai di level negara. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Tulisan ini adalah versi online Buletin Umat Hanif edisi 38 Tahun ke-XXIV, 8 Mei 2020/15 Ramadhan 1441 H. Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan moblitas fisik.