Djazman Al Kindi ditulis oleh Qosdus Sabil, aktivis IMM yang sekarang aktif sebagai penasihat PRM Legoso-Ciputat. Menguraikan pengalamannya bersama pendiri IMM ini.
PWMU.CO– Djazman Al Kindi di mata aktivis mahasiswa ada yang membedakan dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya. Setiap aktivis berkunjung ke rumahnya, Mohammad Djazman Al Kindi, begitu nama lengkapnya, pasti mengajak makan bersama.
Pada suatu waktu, saya bersama Muazar Habibi (sekarang Prof Dr HMA Muazar Habibie, pengasuh Lentera Hati Boarding School Lombok-NTB) berkunjung ke rumahnya. Saat itu Pak Djazman lebih banyak menetap di Kaliurang. Namun, untuk menerima kami meminta bertemu di rumahnya di Jl. Nyai Ahmad Dahlan Kota Yogya. Bersama istrinya, Bu Ellyda, memilih turun ke kota.
Malam itu hujan gerimis, saya dan Muazar berjalan kaki dari Gedung PP Muhammadiyah KHA Dahlan tempat kami menginap sejauh kurang lebih 300 meter menuju rumahnya. Usai diskusi panjang, Bu Ellyda menyuguhkan bakmi godhog Yogya yang nikmat.
Irwan Setiabudi, aktivis IMM Peternakan Universitas Brawijaya menuturkan pengalamannya bertandang ke rumah Pak Djazman. ”Aku pernah bersama Pradana Boy ke rumah Pak Djazman. Usai diskusi diajak makan dahulu sebelum pulang. Kami juga diantar sampai terminal disopiri Pak Djazman sendiri,” tuturnya.
Kadang para aktivis diterima di rumah Kaliurang. Didampingi Bu Ellyda, para mahasiswa dibawa ke rumah makan di daerah Kaliurang. Sembari makan, kami bercerita pengalaman berorganisasi dan pemikiran keislaman.
Inilah akhlak pimpinan Muhammadiyah kepada kader muda. Hubungan yang terbangun bukan sekadar sebagai senior-junior. Namun memberikan teladan kemuliaan dan perhatian.
Pak Djazman sering berpesan, ”Saya sudah punya anggaran khusus untuk mendatangi undangan IMM. Jadi tidak usah berpikir untuk nyangoni saya. Saya insyaallah pasti akan datang, berangkat sendiri menghadiri acara kalian.”
Perhatikan Kaderisasi Sejak Mahasiswa
Pak Djazman selalu gembira mendengarkan kader-kader persyarikatan datang memberi kabar tentang perkembangan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan para alumninya. Ya dialah pendiri organisasi kemahasiswaan ini tahun 1964 bersama rekan-rekan aktivis mahasiswa UGM dan IAIN Yogya.
Dia memberi tanggapan serius kalau mendengar ada rektor yang menghambat pembinaan aktivitas IMM di kampus Muhammadiyah. Pimpinan seperti itu dinilai tak paham organisasi dan mengabaikan kaderisasi Muhammadiyah.
Pak Djazman memperhatikan kaderisasi kepemimpinan Muhammadiyah sejak masa mahasiswa. Selain lewat IMM, dia juga membangun Pondok Pesantren Hajjah Shobron yang diintegrasikan dengan Universitas Muhammadiyah Solo (UMS).
Para santri pondok direkrut lewat pendaftaran dan seleksi oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) se Indonesia. Santri utusan daerah ini yang dikader keilmuan dan kepemimpinan muslim. Mereka mengaji al-Quran dan hadits di pondok, juga belajar di Fakultas Ilmu Agama Islam di UMS.
Pak Djazman mengingatkan para aktivis selalu bersikap dan berpikir kritis. Bekerja lebih keras menyiapkan segenap komponen Muhammadiyah untuk memperbaiki masyarakat dan negeri ini. Dia berharap anak-anak muda ini yang melanjutkan transformasi kepemimpinan di tubuh Persyarikatan.
”Kepemimpinan yang lahir dari rahim Persyarikatan dapat tampil memberi warna dalam kancah kebangsaan dan kenegaraan Indonesia,” katanya.
Menurut dia, Muhammadiyah mengambil peran kritik terhadap pemerintah secara high politics. Politik dengan mendasarkan pada nilai. Sejak dulu itu merupakan sikap moral politik Muhammadiyah. Bukan sebagai partisan politik.
”Kritikan sekeras apa pun hanya seruan moral tidak akan memiliki kekuatan apa-apa terhadap perubahan perilaku politik rezim. Untuk mengubah perilaku birokrat harus masuk ke dalam struktur kekuasaan. Di situlah peran kepemimpinan kader-kader Muhammadiyah harus disiapkan,” tuturnya.
Antara IMM dan HMI
Di kalangan aktivis HMI, saya mendapat banyak cerita Akbar Tanjung, tokoh yang paling perhatian kepada kader aktivisnya. Bang Akbar berusaha menghadiri undangan kader HMI ke pelosok negeri ini. Juga memberi beasiswa kepada aktivisnya. Kalau di IMM, sosok itu adalah Djazman Al Kindi.
Pak Djazman sering mengingatkan,”Hentikan selalu membanding-bandingkan IMM dengan HMI. Karena keduanya jelas berbeda. Sejarahnya juga berbeda.”
IMM lahir karena amanat Muhammadiyah yang ingin proses pengaderan mahasiswa-mahasiswanya ditangani sendiri. Berdirinya IMM tidak dipengaruhi faktor HMI yang hendak dibubarkan oleh rezim Orde Lama.
IMM didirikan oleh Djazman Al Kindi bersama aktivis mahasiswa saat itu seperti Rosyad Shaleh, Amien Rais, Yahya Muhaimin, Ellyda, Sudibyo Markus, dan lainnya.
Djazman muda sangat dikenal oleh Bung Karno yang mengetahui bibit bebet dan bobotnya yang masih cucu langsung dari KH Ahmad Dahlan. Saat pendirian IMM Bung Karno menuliskan restunya.
Pak Djazman sering mengingatkan, agar aktivis mahasiswa selalu berinovasi dalam menggerakkan potensi kader-kadernya. Kader IMM harus mewaspadai atas hilangnya objektivitas arah gerakan kebangsaan, akibat terpengaruh oleh aktivitas senior organisasi.
IMM telah mengarungi sejarahnya sendiri menjadi sebuah organisasi yang selalu kritis, bahkan terhadap internalnya di Muhammadiyah. Menjadi biasa saja jika menemukan junior IMM berbeda sikap politik dengan seniornya. (*)
Editor Sugeng Purwanto