Otak Buaya, Penyakit Penulis Pemula kolom oleh Ichwan Arif, Guru SMP Muhammadiyah 12 GKB Gresik, penulis buku Merawat Singa Kreatif.
PWMU.CO – Otak buaya bisa menjadi batu sandungan pertama bagi yang ingin memulai menulis. Bukan hanya akan melemahkan semangat saat memulai berkarya, otak ini akan menjadi virus mematikan.
Ibarat tubuh, imun kita sudah mulai digerogoti dari dalam tanpa disadari. Atau, seperti mau perang, strategi sudah terbaca musuh. Alih-alih mau menang, kalah pasti terjadi.
Mengutip detik.com otak buaya disebut juga croc brain kependekan dari crocodile brain. Menurut dokter bedah saraf Roslan Yusni Hasan dari Tahir Neuroscience Center RS Mayapada, otak buaya adalah bagian yang lebih dulu berkembang dibanding neocortex pada manusia.
Jika neocortex memungkinkan manusia menggunakan akal untuk bertindak, maka otak buaya bekerja secara emosional bukan rasional. Sistem kerja otak buaya ini juga dianggap paling bertanggung jawab atas mudahnya penyebaran kabar miring (hoax).
Dalam kesimpulan saya, otak buaya adalah pikiran negatif yang lahir dari dalam diri. Karakter pesimis sebelum memulai beraktivitas itulah wujudnya dari otak buaya ini. Optimis yang seharusnya muncul terkalahkan secara tiba-tiba.
Karakter malas, malu, takut, ragu-ragu, minder, ogah-ogahan, merinding, bahkan tidak percaya diri adalah wujudnya. Kata-kata itu bisa mem-bully diri sehingga karakter optimis yang seharusnya menjadi imun diri akan hilang.
Mem-bully diri sendiri inilah yang menjadi virus mematikan dibandingkan faktor yang datang dari luar. Mereka tidak berwujud tetapi bisa dirasakan dengan cepat dan ampuh. Tanpa sadar sadar, kebiasaan mem-bully ini sering kita lakukan sendiri.
Maka, akan muncul karakter kecemasan. Cemas mau melangkah, cemas mau berkarya, cemas mau tampil, bahkan cemas mau menorehkan ide-ide kita dalam sebuah tulisan.
Inilah yang dinamakan otak buaya. Otak yang penuh sifat pesimis, yang bisa memunculkan kecemasan. Inilah supertrap (jebakan) yang bisa memasukkan kita dalam jurang kegelapan, kegagalan terus-menerus.
Dalam menulis, otak buaya inilah yang sering membuat penulis terhenti tiba-tiba di tengah jalan. Karya tidak jadi, atau takut untuk menuangkan ide gagasannya kembali.
Tidak Punya Waktu
Ini adalah penyakit klasik bagi penulis. Kadangkala penyakit ini datang dengan cepat, secara terstruktur ketika tangan ingin menulis. Alih-alih mau memegang pena atau membuka laptop. Memandangnya saja sudah tidak nafsu duluan.
Setelah itu, muncul alibi yang muncul dalam otak kita, “Aku tidak punya waktu luang untuk menulis.”
Menulis, awalnya, memang perlu dipaksa sehingga waktu itu bisa bersahabat. Bukan sebaliknya, waktu yang mendekat.
Kita semua memiliki waktu, tinggal bagaimana bisa mempergunakan dengan tepat dan cepat. Jangan sampai waktu sudah ada, tapi yang menjalankan masih ogah-ogahan saja.
Kadang juga, muncul pemikiran lain. “Nanti saja. Malam nanti aku akan menulis ketika semua sudah tidur.” Otak udang itu sudah berwujud ‘nanti’. Inilah indikasi pekerjaan terus ditunda dan ditunda. Hanya memiliki peluang sangat kecil bisa direalisasikan.
Kata-kata ‘nanti saja’ atau ‘malam nanti saja’ rasa-rasanya akan kalah dengan aktivitas lain dan rasa kantuk yang menyerbu pelupuk mata kita.
Malu Dikatakan Tulisan Jelek
Bagaimana mungkin orang bisa menilai tulisan berkualitas atau tidak kalau kita belum menulis. Mereka tidak bisa memberikan penilaian kalau tulisan itu belum berwujud.
Inilah letak masalahnya. Otak buaya sudah berwujud kecemasan terlebih dahulu. Cemas inilah yang akan mematikan ide dan gagasan yang sebenarnya bisa dikeluarkan, bisa ditulis.
Malu dikatakan tulisan jelek itu akan membunuh motivasi. Dia akan terus menjebak niatan menulis. Setiap kali memulai, setiap kali menuliskan kalimat, keragu-raguan itu terus membayang. Yang ada adalah tulisan kita tidak pernah selesai atau mandek di tengah jalan.
Penulis yang sudah memiliki nama besar pun dulunya seperti itu. Bedanya adalah mereka bisa mengalahkan otak buaya dengan baik. Dia berhasil menajemeni dengan maksimal sehingga muncullah motivasi mematikan bully yang muncul dari pikiran sendiri.
Rumusnya, mulailah dengan prasangka baik. Yakinlah bahwa tulisan yang kita tuangkan tersebut memiliki nilai guna. Kuatkan diri supaya energi dalam setiap jari-jari bisa lancar dalam menyelesaikan karya.
Otak buaya itu akan kalah dengan sikap optimis. Malu dikatakan tulisan jelek, harus kita buang jauh-jauh. Hadirkan status diri, ‘kita bisa’, sehingga inilah yang akan melancarkan proses kreatif dalam menulis.
Takut Dikritik Pembaca
Besi itu bisa dikalahkan dengan karatnya. Kita hanya bisa dikalahkan dengan perasaan-perasaan yang muncul dari dalam diri. Inilah yang dinamakan rasa pesimis. Orang sehebat apapun akan terjungkal manakala rasa pesimis itu ada dalam otaknya.
Kita bisa sukses salah satunya berkat dari kritikan orang. Inilah sebuah penilaian. Dari proses ini kita akan mengetahui kelemahan-kelemahan tulisan kita.
Maka, muncullah jiwa mengevaluasi, memperbaiki. Nah, kalau kita bisa melewati fase ini, perbaikan-perbaikan dalam bertumbuh lebih baik, lebih super bisa kita lakukan.
Tanamkan pola pikir, kritik tulisan saya habis-habisan, sedetail-detailnya. Kata, kalimat, tanda baca, struktur, ide dasar, sistematis penyajiannya, bangunan paragrafnya, dan lain sebagainya.
Setelah itu, gunakan prinsip, “Setelah itu, tulisan saya akan lebih baik.” Inilah langkah untuk menghentikan pergerakan otak buaya yang sering menyerang kita secara tiba-tiba, serangan fajar.
Hanya orang yang takut dikritik, karyanya tidak akan pernah mentas jadi lebih baik. Maka, mintalah kritikan sehingga itu menjadi proses pendewasaan karya sekaligus pendewasaan pola pikir kita.
Strategi Kalahkan Otak Buaya
Strategi yang cospleng melangalahkan otak buaya adalah pertama, meningkatkan imun optimis. Mulailah dari diri bahwa waktu itu banyak. Waktu akan bersahabat kalau kita bisa menjalani dengan baik.
Sisihkan waktu, rancang dengan baik, sehingga waktu yang hanya 30 menit, 1 jam atau lebih bisa lebih berkualitas untuk berkarya. Jangan sampai punya waktu lebih tapi tidak memiliki kualitas.
Kedua, malu itu bisa dilawan dengan rasa percaya diri. Ini sangat penting yang harus dimunculkan. Orang yang percaya diri, maka dalam dalam dirinya ada aliran optimis. “Semua orang pernha merasakan jatuh atau gagal. Tapi yang jadi pemenang adalah bukan berapa kali gagal, tetapi berapa kali dia bangkit.”
Tidak perlu malu. Menulis saja. Orang-orang yang malu itu adalah orang-orang yang tidak pernah menulis.
Ketiga, menulislah sesuai dengan passion. Langkah ini bisa menjadikan tulisan berkualitas. Aliran inilah akan menjadi kekuatan yang bisa mengalahkan ketakutan. Bertumbuh dengan kritikan akan membesarkan hati. Kita tidak akan kerdil dari kritikan. Malah kritikan itu akan menjadi pupuk yang menghijaukan daun-daun dan akar tulisan.
Semangat untuk mengalahkan otak buaya. Kita tunggu, karya kita akan bisa lebih baik dan lebih baik. Selamat mencoba dan berkarya! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.