PWMU.CO – Industri rokok itu drakula ekonomi disampaikan oleh Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Jakarta Dr Mukhaer Pakkanna SE MM.
Hal itu dikupas dalam Gelar Amal Budaya Muhammadiyah untuk memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2020 dengan tema Menyongsong New Normal dengan Budaya tanpa Tembakau menuju Generasi Emas via aplikasi Zoom pada Sabtu (30/5/2020).
Indian Awal dari Rokok
Mukhaer Pakkanna mengajak untuk flashback sejarah tembakau dan rokok di dunia yang dampaknya ke Indonesia. “Suku Indian di Amerika sebagai suku pertama yang merokok untuk keperluan ritual seperti untuk memanggil dan memuja dewa,” ujarnya.
Pada abad ke-16, lanjutnya, tatkala orang Eropa menemukan benua Amerika, sebagian dari penjelajah Eropa itu ikut mencoba-coba menghisap rokok.
“Kemudian para penjelajah itu membawa rokok dan tembakau ke Eropa. Selanjutnya kebiasaan merokok mulai muncul di kalangan bangsawan di Eropa,” sambungnya.
Jika di Amerika suku Indian merokok untuk kepentingan ritual memuja dewa atau roh tetapi di Eropa merokok hanya untuk kesenangan dan berleha-leha.
Sejarah berikutnya pada abad ke-17 para pedagang Spanyol masuk ke Turki dan saat itu kebiasaan merokok masuk ke negara-negara Islam.
Dalam buku Nusantara A History of Indonesia, lanjutnya, sejarawan Belanda Maria Vlekke menyampaikan tanaman tembakau pertama kali dikenalkan di Asia lewat orang-orang Spanyol.
“Abad ke-16 masuk ke Filipina kemudian abad ke-17 masuk Nusantara. Dan tembakau mulai ditanam secara sporadis pada tahun 1600-an,” jelasnya.
Awal abad ke-19 tembakau berubah menjadi salah satu komoditas unggulan kolonial Belanda. Tembakau mulai ditanam secara masif dan ditanam secara tanam paksa.
“Kemudian kolonial monopoli tumbuhan berdaun lebar itu di tanah air. Kalaupun di luar kolonial orang-orang pribumi menanam di seputar Batavia. Itu sejarah masuknya tembakau dan rokok di Indonesia,” terangnya.
Bukan Budaya Asli Indonesia
Sekali lagi, ujarnya, rokok bukan budaya bangsa Indonesia. Bukan kearifan lokal bangsa Indonesia. “Ini untuk menganulir persepsi-persepsi banyak orang atau publik yang mengatakan rokok budaya lokal kita. Sejarah membuktikan itu impor dari Indian ke Eropa kemudian Filipina baru ke Indonesia,” tegasnya.
Studi hubungan rokok dengan kemiskinan. Terjadi surplus ekonomi masyarakat kelas bawah bergeser menjadi surplus ekonomi pemilik modal.
“Dalam pendekatan teori strukturalis terjadi di mana masyarakat miskin petani tembakau dan lain-lain berkontribusi signifikan mendongkrak surplus profitabilitas industri rokok besar,” paparnya.
Menurutnya ini mirip dengan sistem cultuurstelsel atau tanam paksa di zaman VOC Hindia Belanda. Dan itu masih diawetkan sampai empat dekade belakangan ini.
Kontribusi Perokok Miskin
“Di mana para orang terkaya di tanah air kita itu kaya raya dan belum bergeser karena kontribusi dari perokok miskin, petani tembakau, buruh industri rokok, anak-anak dan perokok pasif,” urainya.
“Inilah yang disebut dengan drakula ekonomi. Konglomerat kaya yang tidak pernah bergeser dalam lima besar terkaya itu menghisap ibarat vampir. Penghisap darah orang-orang miskin. Mirip dengan yang terjadi di zaman penjajahan Belanda,” imbuhnya.
Data teranyar belakangan ini harga rokok di Indonesia termasuk salah satu negara termurah. Setelah Pakistan, Vietnam, Nikaragua, Kamboja, Filipina dan Kazakhstan kemudian Indonesia. Komposisi perokok di dunia 80 persen adalah negara-negara miskin dan berkembang.
Jutaan Anak Terpapar Rokok
“Data profil kesehatan Indonesia tahun 2018 menyebutkan Indonesia memiliki komposisi penduduk muda didominasi oleh 33 juta anak usia dini. Sementara 90 juta penduduk Indonesia adalah perokok. Sehingga Indonesia dinobatkan peringkat pertama alias surganya para perokok di dunia,” ungkapnya.
Sebagai negara dengan jumlah perokok terbesar, ada 43 juta anak menurut riset ini terpapar. 11,3 juta diantaranya anak usia 0-4 tahun. “Anak yang terpapar asap rokok akan memiliki pertumbuhan badan tidak optimal dan terancam stunting,” tambahnya.
Selain itu, lanjutnya, harga rokok yang murah, mudah di akses atau dijangkau, maraknya iklan rokok, promosi dan sponsor rokok di tempat umum memberi kontribusi signifikan mempercepat bencana demografi.
Data Global Youth Tobacco Survey menunjukkan di tahun 2017 bahwa 3 dari 5 anak sekolah membeli rokok di warung atau toko tanpa ditolak oleh penjual. “Keterjangkauan harga dan akses menjadi pemantik meningkatnya tingkat prevalensi,” ujarnya.
Jihad Kendalikan Rokok
Fakta menyebutkan lebih dari 30 persen anak Indonesia merokok sebelum usia 10 tahun. Perokok usia 15-19 tahun meningkat 3 kali lipat dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini.
“Data-data di atas menjadi tantangan jihad mengendalikan tembakau dan jihad mengendalikan rokok di tanah air. Apalagi saat ini antar instansi lembaga pemerintahan belum ada kata sepakat dalam banyak hal kebijakan pengendalian tembakau dan rokok,” ajaknya.
Menurut Mukhaer Pakkanna Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan dan Kementerian Perdagangan seringkali tidak kompak.
“Tetapi bagaimanapun generasi masa depan kita harus diselamatkan demi Indonesia yang berkemajuan,” tuturnya. (*)
Penulis Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.