PWMU.CO – Dalam beberapa hari terakhir beredar berbagai broadcast di media sosial (medsos) yang mengajak umat Islam untuk berpuasa di awal bulan Dzulhijjah. Selain Puasa Arafah pada 9 Dzulhijjah, ajakan itu juga menyertakan puasa di tanggal 1 sampai 8 Dzulhijjah, disertai dengan berbagai bahasan tentang keutamaannya. Pertanyaannya, apakah memang ada dalil shahih yang bisa dijadikan hujjah untuk berpuasa pada tanggal 1 sampai 8 Dzulhijah ini?
(Baca juga: 6 Adab Menyembelih Hewan Qurban)
Merujuk berbagai kitab hadits, riwayat yang sering dijadikan landasan puasa awal Dzulhijah ini adalah sebagai berikut:
أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : صِيَامَ عَاشُورَاءَ ، وَالْعَشْرَ ، وَثَلاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَالرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْغَدَاةِ
Empat hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw, yaitu: puasa Asyura, puasa sepuluh hari (bulan Dzulhijjah), puasa tiga hari setiap bulan, dan shalat dua rakaat sebelum shalat subuh
Hadits ini setidaknya dikeluarkan oleh 4 Imam. Yaitu Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabiir nomor 354 dan 396, kemudian Imam Nasa’i dalam al-Sunan al-Kubra li an-Nasa’i nomor 2.724 dan Sunan an-Nasa’i nomor 2.373. Kemudian juga termaktub dalam Musnad Ahmad nomor 25.254 serta 26.459, Musnad Ahmad bin Hanbal nomor 26.502, serta Shahih Ibnu Hibban nomor 6.422.
Meski tertulis dalam berbagai kitab hadits, ternyata jalur periwayatannya bersifat tunggal sejak thabaqat (tingkatan perawi) pertama hingga thabaqah keenam. Yaitu Hafshah bin Umar bin Khattab (istri Nabi Muhammad saw) kemudian Hunaydah bin Khalid al-Khuzaa’i, Al-Hurr bin al-Shayyah, Amru bin Qays al-Mulaa’i, Abu Ishaq al-Asyja’i, hingga Hasyim bin al-Qaasim.
Namun, layaknya “dalil” yang dibukukan satu abad setelah kewafatan Nabi Muhammad saw, ulama hadits pun memberikan “catatan” tentang nilai hadits dengan metode yang dikenal “Takhriij al-Hadiits”. Sebuah metode pengujian validitas hadits dengan menelusuri biografi semua periwayat dan kuat-lemahnya hafalan mereka. Ia digunakan untuk mengetahui ketersambungan mata rantai sanad antarperawi, serta mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan kecacatan maupun keadilannya (al-jarh wa al-ta’dil).
Konstruksi hadist secara sederhana tersusun atas pengantar pemberitaan (sanad) dan inti berita (matan). Mudahnya, sanad adalah “tokoh” yang disebut dalam urut-urutan hadits sejak zaman Nabi Muhammad saw hingga sampai orang yang membukukan hadits tersebut. Sebab, sebelum dibukukan, dalam kurun 1 abad lebih, penyampaikan hadits lebih mengandalkan pada “perkataan” tokoh yang menyampaikannya. Ilustrasi sanad bisa digambarkan sebagai berikut: Pencatat hadits > Penutur 5> Penutur 4> Penutur 3 > Penutur 2 > Penutur 1 (sahabat Nabi) > Rasulullah.
Dengan demikian, posisi sanad dalam hadits berfungsi untuk membuktikan proses kesejarahan terjadinya hadist. Sementara matan (isi) hadits mempresentasikan konsep ajaran. Sanad berbicara tentang “siapa-siapa” yang mengutip/meriwayatkan hadits, sementara matan terkait dengan “apa” yang disampaikan dalam hadits itu.
Dilihat dari ketersambungan sanad (ittishal al-sanad), hadits tentang “puasa awal Dzulhijjah” ini berstatus marfu’ atau tersambung sampai Nabi Muhammad. Dilihat dari sedikit-banyaknya perawi dalam setiap tingkatan (thabaqah), hadits ini berstatus Ahad, bahkan Ahad Gharib. Sebab, pada thabaqah pertama, hadits ini hanya diriwayatkan oleh satu sahabat, yaitu Hafshah bin Umar bin Khattab (istri Nabi Muhammad saw).
Dari sisi kredibilitas perawi, hadits yang diriwayatkan oleh 4 imam ini ternyata kurang memenuhi syarat sebagai “hadits shahih”. Memang dalam thabaqah pertama (Hafshah) memang tidak ada masalah. Hafshah yang juga istri Nabi sudah tentu tergolong orang tsiqqah dan dlabit, yang riwayat darinya bisa dipertanggungjawabkan. Begitu juga pada thabaqah kedua (Hunaydah), banyak ulama hadits yang menilainya sebagai orang tsiqqah sehingga bisa diterima periwayatannya.
Begitu juga pada thabaqah ketiga (Hurr bin Shayyaah) juga dinilai sebagai perawi yang tsiqqah dan shalih al-hadiits (al-Jarh wa at-Ta’diil Juz 3 hal 277 dan Tahdiib al-Kamaal Juz 5 hal 514). Sementara pada thabaqah keempat (Amru bin Qays al-Mulaa’i) juga dinilai tsiqqah sebagaimana tertulis dalam “al-Jarh wa at-Ta’diil” Juz 6 hal 255, “Tahdiib al-Tahdiib” Juz 8 hal 82, “Tahdiib al-Kamaal” Juz 22 hal 201-202, “Miizaan al-I’tidaal” Juz 3 hal 284.
Problem sanad baru muncul pada perawi thabaqah kelima, yaitu Abu Ishaq al-Asyja’i al-Kufiy. Informasi biografis tentang Abu Ishaq ini tidak banyak ada dalam kitab-kitab rijaal al-hadits (para perawi hadits). Hanya disebutkan bahwa namanya adalah Abu Ishaq al-Asyja‘i berasal dari Kufah.
Dalam berbagai riwayat, dan hanya satu murid yang meriwayatkan haditsnya, yaitu Hasyim bin al-Qasim yang sering dipanggil Abu an-Nadlr. Selain itu, dia hanya meriwayatkan 1 hadits tentang Puasa Awal Dzulhijjah ini dari Amru bin Qays al-Mulaa’i (Tahdiib al-Tahddib Juz 12 hal 8). Artinya, meski Amru bin Qays al-Mulaa’i punya banyak murid yang terpercaya dalam periwayatan hadits, ternyata tidak ada yang meriwayatkan hadits puasa awal Dzulhijjah ini selain Abu Ishaq al-Asyja’i.
Posisi Abu Ishaq yang tanpa keterangan nama asli dan juga kredibilitasnya ini dalam hadits disebut sebagai majhul. Terhadap riwayat seperti ini, apalagi untuk masalah ibadah, maka riwayatnya tidak diterima karena tergolong hadits dla’if. Kedla’ifan tentang ke-majhul-an Abu Ishaq al-Asyja’i ini secara jelas termaktub dalam al-Mughni fi adl-Dlu‘afa’ juz 2 hal 769 dan al-Muqtiniy fi Sard al-Kunny juz 1 hal 74.
Kesimpulannya, status hadits tentang awal puasa ini dilihat dari sisi sanad menyalahi periwayatan hadits yang shahih. Dengan kata lain, statusnya adalah hadits dla’if (lemah), dan karenanya tidak bisa dijadikan hujjah dalam masalah ibadah. Lantas apakah kemudian ada hadits lain yang menguatkan hingga bisa mengangkat hadits –minimal– berubah menjadi hasan?
Selanjutnya halaman 2…