Jika diteliti secara seksama dalam berbagai hadits, setidaknya ada hadits serupa dengan jalur sanad yang berbeda. Dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Bayhaqi. Bunyinya adalah sebagai berikut:
… حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ حَدَّثَنَا الْحُرُّ بْنُ الصَّيَّاحِ عَنْ هُنَيْدَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنِ امْرَأَتِهِ عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ
Sesungguhnya Rasulullah saw berpuasa 9 dari bulan Dzulhijjah, puasa hari Asyura, dan puasa tiga hari setiap bulan
Jika diringkas, urutan perawi (sanad) dalam hadits itu adalah Nabi Muhammad – ”sebagian istri Nabi” – istri Hunaydah bin Khalid – Hunaydah bin Khalid – Hurr bin al-Shayyah – Abu ‘Awanah. Setelah itu, dari Abu ‘Awanah ada 3 perawi, yaitu Musaddad, Suraij dan ‘Affan. Pada dasarnya, Hunaydah bin Khalid, Hurr bin al-Shayyah, dan Abu ‘Awanah adalah perawi yang terpercaya. Hanya saja 2 perawi sebelum Hunaydah berstatus mubham dan majhul. Rawi mubham (tidak disebutkan nama perawi) itu adalah “sebagian isteri Nabi saw”, dan majhul (tidak diketahui kepercayaannya sebagai perawi hadits) pada istri Hunaydah bin Khalid.
Siapa yang dimaksud dengan “sebagian istri Nabi” ini? Jika merujuk pada jalur sanad satunya yang sudah dibahas sebelumnya, bisa saja “sebagian istri Nabi itu” adalah Hafshah bin Umar bin Khattab. Namun, metode ini tidak bisa dibenarkan karena hadits yang sudah dibahas tadi sudah berstatus “lemah” atau dla’iif. Hadits dlaif tidak bisa dijadikan penguat (syahid) untuk menilai hadits yang lain.
Baiklah, jika misalnya semua riwayat dari sahabat (apalagi istri Nabi) dikategorikan bisa diterima karena kesepakatan ulama hadits: semua sahabat Nabi adalah tsiqqah dan dlabit. Yang jadi pertanyaan adalah perawi yang berada di tingkat kedua, yaitu istri Hunaydah. Pertanyaannya, “siapa” istri dari Hunaydah yang meriwayatkan hadits dari istri Nabi itu?
Pada kenyataannya, hingga sekarang, istri Hunaydah ini tidak dikenal sama sekali identitas dirinya. Bahkan untuk nama, apakah istri Hunaydah hanya seorang, dan lain sebagainya, belum ditemukan sama sekali. Tidak ada satupun sumber biografis yang dilacak sejauh ini menyebutkan identitasnya. Sebagaimana kesepakatan para ulama hadits, perawi yang disebutkan namanya namun tidak disebutkan identitasnya (majhul ‘ain), tidak bisa diterima kredibilitasnya dalam hadits.
Kemudian ada pula yang menyatakan bahwa “kemajhulan” istri Hunaydah ini tidak bisa menggugurkan hadits karena Hunaydah bin Khalid yang tsiqqah itu hidup sezaman dengan Hafshah putri Umar bin Khattab. Hal ini diperkuat dengan biografi ibunya Hunaydah yang memang bekas budak Umar Ibn al-Khattab. Kemudian dikonstruksikan seakan-akan Hunaydah sangat dekat dengan keluarga Umar, termasuk anaknya Hafshah sehingga banyak mengetahui riwayat yang bersumber kepada Hafshah.
Sudah tentu alasan semacam ini tidak bisa diterapkan dalam menyelidiki ketsiqqahan para perawi hadits. Sebab, sanad yang diselidiki hanya sebatas “yang tertulis” dalam konstruksi hadits. Kecuali jika ada jalur sanad lain yang lebih baik, maka barulah hadits ini bisa terangkat. Justru hal ini menunjukkan 2 hadits itu adalah mudhtarib. Sebab, sebagian riwayat menyebutkan Hunaydah dari istrinya dari sebagian istri Nabi, sedang riwayat lain menyebutkan dari Hunaydah langsung dari Hafshah.
Kesimpulannya, hadits tentang puasa awal Dzulhijjah ini, baik tanggal 1-8 ini tidak bisa dijadikan hujjah karena menyalahi periwayatan hadits yang shahih. Sebab, dalam hadits yang pertama ada perawi yang bernama Abu Ishaq al-Asyja’i yang majhul, yang karenanya tidak bisa dijadikan hujjah. Sementara untuk hadits yang kedua, masih dari sisi sanad, ternyata selain ada perawi yang mubham (tidak disebutkan namanya), juga ada perawi yang majhul (tidak diketahui riwayat hidup dan juga tingkat ketsiqqahan dan kedlabitannya).
Belum lagi berbicara pada “matan” hadits, di situ juga banyak masalah yang problematik. Dalam hadits kedua misalnya, menggunakan kata “tis-’i Dzilhijjah”, yang secara lahiriyah berarti “Sembilan Dzulhijjah”. Pertanyaannya, apakah “9” itu berarti 9 hari awal Dzulhijjah atau akhir Dzulhijjah atau bahkah hari-harinya berbeda yang penting masih bulan Dzulhijjah?
Problem lainnya juga muncul ketika redaksi hadits (matan) ada yang menyebutnya dengan “10 hari Dzulhijjah” dan “9 hari Dzulhijah”. Padahal jika “10 hari Dzulhijjah” awal, sudah tentu haram hukumnya berpuasa tanggal 10 Dzulhijjah. Belum lagi jika dua hadits itu disandingkan dengan hadits lain yang jelas keshahihannya, maka semakin banyak problem yang muncul.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ وَإِسْحَقُ قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا وَقَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَائِمًا فِي الْعَشْرِ قَطُّ
Diriwayatkan dari ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Saya tidak pernah melihat Rasulullah saw puasa pada sepuluh hari (pertama bulan Zulhijjah). (HR Muslim)
Dengan demikian, karena terkait ibadah, maka seyogyanya hadits yang dijadikan hujjah (dasar) memang benar-benar hadits yang shahih dari aspek sanad maupun matan. Hingga saat ini, hadits shahih tentang puasa di bulan Dzulhijjah, adalah puasa pada tanggal 9 Dzulhijjah yang lazim dengan sebutan Puasa Arafah.
Sudah tentu juga puasa Hari Senin dan Kamis, serta Dawud, yang itupun juga gugur ketika bertepatan pada tanggal 10, 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Sebab, 4 hari ini menjadi pengecualian bolehnya puasa di bulan Dzulhijjah. Wallahu a’lam bi al-Shawab. (kholid abu abqarayya)