PWMU.CO– RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) mengingatkan saya pada buku sekolah Pendidikan Moral Pancasila atau buku Panduan Penataran P4 saat masuk kuliah dulu.
Mungkin generasi sekarang belum pernah baca buku itu. Tapi RUU ini lebih komplet isinya mulai tujuan, fungsi, kriteria, gambaran ideologi Pancasila dan sendi kehidupan yang didibangun.
RUU HIP ini diajukan oleh Fraksi PDIP ke Badan Legislasi DPR. Tujuannya seperti ditulis dalam RUU itu sebagai kerangka landasan berpikir dan bertindak bagi penyelenggara negara dan masyarakat dalam bentuk Haluan Ideologi Pancasila.
Membaca sampai di Bagian II Pasal 4 menjumpai kalimat yang mengganjal. Bisa jadi keliru pemahaman. Yaitu pasal 4d. pedoman instrumentalistik yang efektif untuk mempertautkan bangsa yang beragam (bhinneka) ke dalam kesatuan (ke-ika-an) yang kokoh.
Ditulis: kesatuan (ke-ika-an).
Keikaan kalau diterjemahkan artinya keituan. Karena ika maknanya itu. Bukan kesatuan seperti dimaksudkan penyusun RUU. Kata ika masih dipakai dalam bahasa Jawa sekarang dengan pengucapan iko.
Jika penyusun RUU itu mengambil kata keikaan dari kalimat Bhinneka Tunggal Ika, yang bermakna kesatuan itu dari kata tunggal bukan ika.
Asal kalimat yang menjadi semboyan negara itu bhinna ika tunggal ika. Artinya, berbeda itu satu itu. Kata ika berbeda artinya dengan kata eka. Penyusun RUU ini mengira kata ika sama maknanya dengan eka.
Jadi pasal 4d seharusnya berbunyi pedoman instrumentalistik yang efektif untuk mempertautkan bangsa yang beragam (bhinneka) ke dalam kesatuan (ketunggalan) yang kokoh.
Tafsir yang Dipaksakan
Membaca lagi pada Bagian III Pasal 7 langsung teringat pidato Bung Karno 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI yang membahas filosofische grondslag negara.
Pasal 7 berbunyi (1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.
(2) Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.
(3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.
Penyusun RUU memaksakan tafsir Pancasila menurut kemauan sendiri bukan dari produk resmi PPKI yaitu Piagam Jakarta. Kalau membaca pidato Bung Karno pun sebenarnya Pancasila tidak seenaknya diperas-peras begitu.
Bung Karno mengatakan, kalau tidak suka dengan lima sila, maka bisa memilih trisila yaitu menjadi sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan. Kalau tidak suka dengan trisila. Kalau mau yang satu kata maka bisa diperas menjadi ekasila yaitu gotong royong.
Tapi pendapat dan tafsir Bung Karno itu ternyata tidak dipakai oleh PPKI dan Panitia Sembilan termasuk rumusan Pancasilanya. PPKI menghasilkan rumusan Pancasila dan UUD 1945 yang dikenal dengan nama Piagam Jakarta, 22 Juni 1945 yang ditandatangani 9 orang.
Rumusan hasil sidang pleno PPKI ini kemudian diubah di luar sidang lewat lobi yang dipaksakan Soekarno-Hatta pada 18 Agustus 1945 dengan menghilangkan tujuh kata dalam sila pertama. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.
Pengubahan di luar sidang itu sebenarnya inkonstitusional tapi akhirnya diterima oleh kelompok Islam. Ternyata hari ini pengubahan tafsir Pancasila mau diulangi lagi oleh kelompok nasionalis lewat RUU HIP ini.
Penolakan Keras
Tak pelak mendapat reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat mulai dari MUI, PBNU, Muhammadiyah, DDII, masyarakat Madura, PII, Purnawirawan TNI dan lainnya. Bahkan ditambahi kecurigaan RUU itu disusupi misi PKI. Karena sosio-demokrasi dan sosio-nasionalisme dianggap berbau komunis. Apalagi TAP MPRS No. XXV/1966 tak dimasukkan dalam konsideran.
Belum lagi kalimat Ketuhanan yang berkebudayaan dalam pasal 2. Itu menjadi perdebatan makna, apa maksudnya. Orang Islam pasti menolak kalimat itu. Sebab orang Islam memaknai tuhan dari penjelasan al-Quran, bukan definisi budaya.
Sampai di pasal 9 sebenarnya ini pasal berat bagi pemerintah. Sebab begitu RUU ini disahkan pasti pemerintah paling banyak melanggarnya. Hingga saat ini wujud masyarakat Pancasila itu belum bisa dilaksanakan pemerintah. Coba baca isinya.
Tata Masyarakat Pancasila mengandung unsur pokok:
a. tercukupi kebutuhan sandang, pangan, dan papan yang layak
b. tercapai tujuan pemeliharaan kesehatan dan pendidikan
c. tercipta lapangan kerja dan jaminan sosial
d. terwujud jaminan keamanan, kebebasan berpendapat dan berserikat.
Beruntung RUU ini dimaksudkan sebagai kerangka landasan berpikir dan bertindak bagi penyelenggara negara dan masyarakat dalam bentuk Haluan Ideologi Pancasila. Tidak memuat sanksi apabila melanggarnya. Bayangkan kalau ada sanksi, pasti tidak ada yang berani berebut menjadi pemerintah. Kecuali petualang politik. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto