PWMU.CO– Dokter Sutomo diskusi ketuhanan dengan Mas Mansur mengungkapkan agama pendiri Budi Utomo ini. Walaupun dia merintis pendirian poliklinik Muhammadiyah di Yogyakarta dan Surabaya serta menjadi medische adviseur hingga wafatnya tapi dia bukanlah pengikut persyarikatan ini. Sekadar membantu.
Itu terbaca dari tulisan Mas Mansur saat menceritakan diskusi ketuhanannya dengan dokter Sutomo sejak tahun 1923. Tulisan itu dimuat dalam Majalah Pengandjur yang terbit Juli 1938 mengenang wafatnya Sutomo di Surabaya pada 30 Mei 1938.
Pertama kali berkenalan dengan dr Sutomo tahun 1923 ketika berumah di Palmenlaan Surabaya (Jl. Panglima Sudirman). Kemungkinan saat di Indonesische Studie Club. Pertemuan pertama itu mengesankan Sutomo karena mempunyai teman diskusi perkara yang dalam-dalam hingga pukul 3 tengah malam.
Suatu hari keduanya bicara tentang ketuhanan. Dia memahami tuhan lewat filsafat yang percaya bahwa alam semesta ini berasal dari tuhan. Tuhan menjelmakan zatnya pada segala benda.
Mas Mansur pun menerangkan filsafat Islam yang sama dengan paham wihdatul wujud itu. Seperti Ibnu Arabi dalam kitab Futuhat al-Makkiyah, Muhammad Abduh dalam tarikh Risalat al-Waridhat, dan Farid Wajdy dalam kitab Dairatul Ma’arif.
Ketika tahu kepercayaannya sama dengan tokoh-tokoh filsafat Islam itu, Sutomo langsung menangis. ”Menagis tersedu-sedu disebabkan sukacita yang tidak terhingga karena filsafatnya sesuai benar dengan keyakinannya,” tulis Mas Mansur.
Lalu dia melanjutkan, dengan air mata bercucuran Sutomo berkata,”Tuan Mansur, itu benarlah keyakinan saya. Itulah kepercayaan yang mengalir bersama darah dalam segala urat di tubuh saya. Sungguh sesuai, sesuai benar. “
Perasaan Sutomo berbuncah saking haru dan gembiranya. Kedua belah tangannya menutup mukanya untuk menahan perasaannya. Mansur menduga Sutomo banyak membaca buku filsafat Budha tentang manunggaling kawula gusti itu.
Kaget Saat Mansur Tak Sependapat
Tatkala diterangkan bahwa Mansur tak sepaham dengan tiga filsuf muslim itu, Sutomo membelalakkan matanya dan tercengang. ”Mengapa Tuan Mansur tidak setuju?,” tanyanya. ”Bukankah itu sudah yang sebenar-benarnya, yang sebetul-betulnya?”
Mansur menjawab,”Bagi tuan dan yang sependapat agaknya itu sebenar-benarnya. Tapi bagi saya sendiri tidak mau dengan filsafat demikian. Jiwa saya tidak sanggup membenarkannya. Sebab semuanya itu jauh berlawanan dengan pelajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad, jauh berbeda dengan Quran yang diturunkan Tuhan.”
Itu filsafat, sambung Mansur, mengandung paham bahwa sebelum semua benda ada, asal benda sudah ada yaitu Tuhan. ”Keyakinan saya tidak begitu Tuan Sutomo. Segala benda itu asalnya tidak ada. Kemudian diadakan. Yang mengadakan ialah Tuhan. Jadi berbeda di antara Tuhan yang menjadikan dan alam yang menjadikan. Tuhan kholiq, alam makhluq. Itulah yang sesuai dengan firman Allah dan sabda Nabi,” jelas Mansur.
Mansur menambahkan, para filsuf itu membiarkan pikiran dan perasaannya bebas tiada bertepi. Memikirkan zat Tuhan sedalam-dalamnya. Sedangkan Nabi melarang memikirkan zat Tuhan.
”Fisafat Tuan mengujudkan persamaan di antara Tuhan dengan dalam hakikat. Keyakinan saya menyebabkan saya menjadikan saya tunduk mengabdi kepada Tuhan, kepada yang menjadikan saya. Kepercayaan saya menjadikan saya harus tunduk taat menurut perintahnya. Sedang tuan dengan kepercayaan tuan tidak hajat kepada pengabdian, tapi hanya memenitngkan perasaan semata-mata,” kata Mansur.
”Betul demikian keyakinan saya kiai. Menurut filsafat saya, kita manusia ini ialah penjelmaan Tuhan yang paling akhir, yang kemudian harus langung kembali menjadi aslinya. Menjadi zat Tuhan yang mula-mula. Supaya kita dapat kembali dengan langsung menjadi Dia, hendaklah kita memakaikan sifatnya yakni rahman dan rahim,” jawab Sutomo.
Prinsipnya Berbuat Baik
Kata Mansur, filsafat itulah yang menyebabkan Sutomo tidak memenitngkan sembahyang. Filsafat yang menyebabkan Sutomo tidak mementingkan segala upacara ibadah. Hanya suka bersemedi. Merasakan nikmat ketenangan kembali.
Terhadap sesama manusia, Sutomo berpendirian , aku sama dengan dia, dia sama dengan aku. Aku dan dia satu dalam hakikat, yakni penjelmaan Tuhan yang sadar. Dari situ dia berpaham harus berbuat baik kepada sesama manusia.
Itulah yang menyebabkan Sutomo sangat peramah dan pemurah, menyebabkan halus dan tinggi budi pekertinya kepada siapa saja. Kepada babu dan jongosnya ,dia memanggil ibu atau bapak, kakak atau adik. Bahkan kepada pasiennya dia merawat dengan baik sampai-sampai merasa dirawat melebihi orangtuanya. Padahal pasien ini kalangan miskin.
Saking baiknya dia, seringkali ditipu orang soal uang atau hartanya. Namun untuk masalah politik, dia teguh dengan pendiriannya dan mendebat kalau tak sependapat dengan prinsipnya. Kebaikan dokter Sutomo banyak dikenang orang. Ketika dia wafat, banyak orang memadati jalan mengiringi jenazahnya ke pemakaman di Gedung Nasional Indonesia (GNI) Jl. Bubutan. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto