Dakwah Kultural Muhammadiyah ditulis oleh Syafiq A. Mughni, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Guru Besar UINSA Surabaya.
PWMU.CO – Paling tidak, sejak Sidang Tanwir 2002 di Bali dan kemudian Sidang Tanwir 2003 di Makassar, dakwah kultural telah menjadi topik pembicaraan yang hangat di kalangan warga Muhammadiyah.
Muncul beberapa pertanyaan apakah Muhammadiyah akan berubah? Yakni mengakomodasi tradisi bidah dan khurafat-tahayul. Juga bagaimana implementasinya di dalam kegiatan dakwah, dan lain sebagainya.
Tulisan ini tentu tidak akan membahas kembali apa itu dakwah kultural dan segala masalah yang muncul di dalamnya. Tulisan ini akan menyorot salah satu aspek saja, yakni kearifan lokal yang telah menjadi kultur sebuah komunitas dan posisinya dalam menyikapi globalisasi.
Kearifan Lokal
Kearifan lokal (local wisdom) akhir-akhir ini menjadi subjek perbincangan yang semakin ramai di berbagai kalangan karena posisinya yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat.
Ia merupakan perwujudan dari nilai lokal (local value) yang dipandang positif karena fungsinya dalam menjamin harmoni dan solidaritas sosial serta dipandang efektif dalam transformasi sosial.
Kearifan sosial tentu saja harus digali dalam maknanya yang paling substansial dari tradisi lokal (local tradition) dan kemudian secara selektif ditarik ke dalam nilai-nilai keadaban.
Dengan kata lain, tidak semua tradisi lokal mengandung nilai keadaban, dan karena itu tidak semua tradisi lokal menjadi sumber bagi kearifan lokal.
Bagi kita, tradisi lokal harus terseleksi untuk ditransformasikan ke dalam kearifan lokal dan harus paralel dengan nilai-nilai ajaran Islam yang telah menjadi worldview (pandangan dunia) bagi setiap Muslim.
Ancaman Modernitas
Perjalanan sejarah pemikiran manusia bisa dipandang dalam bentuk dialektika. Pada abad-abad pertengahan, kehidupan manusia didominasi oleh pemikiran keagamaan, yang oleh August Comte disebut sebagai masa teologis.
Ajaran agama sangat mewarnai kehidupan manusia pada saat itu. Ukuran baik dan buruk, benar dan salah, ditentukan oleh ajaran agama.
Kalau cara pandang semacam itu dipandang sebagai sebuah tesis dalam dialektika, maka muncullah antisesis pada zaman berikutnya yang mengkritik bahwa agama pada abad-abad pertengahan itu sebagai penghambat kemajuan.
Antisesis itu menyatakan cara pandang yang absah adalah rasionalisme, yang dalam bahasa August Comte disebut sebagai positivisme. Orang lebih bergantung pada rasio atau ilmu pengetahuan untuk membangun cara berfikir dan bertindak.
Masa positivistik itu terjadi ketika modernitas berkembang dan menggusur tradisi yang dipandang menghambat kemajuan manusia. Dalam masa ini ilmu pengetahuan cepat berkembang yang kemudian terjadi sekularisasi dalam hampir seluruh kehidupan manusia.
Agama dan tradisi dipandang sebagai sesuatu yang absolut yang menghambat kemajuan. Jika modernitas semacam itu dipandang sebagai tesis—sebelumnya berupa antitesis—maka pada masa berikutnya muncul antisesis baru yang mengkritik modernitas sebagai sumber malapetaka.
Post Modernisme
Seorang intelektual Muslim, Seyyed Hosein Nasser, menulis sebuah buku berjudul The Plight of Modern Men, yang menggambarkan kehidupan manusia modern yang menderita akibat kegersangan spiritual dan kerusakan lingkungan.
Antitesis itu disebut orang sebagai post-modernity atau post-traditionality, yang selain mengkritik modernitas, juga memberikan kembali apresiasi terhadap agama dan tradisi.
Pada masa terakhir inilah wacana tentang pluralisme, multikultutalisme, dan kearifan lokal berkembang, yang pada dasarnya ingin menyatakan bahwa agama dan tradisi yang pernah dipersalahkan sebagai penghambat kemajuan sekarang dipandang sebagai modal budaya yang diperlukan bagi perbaikan kehidupan manusia.
Sebagaimana sering disebut bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Islam modern karena banyak sekali menyerap unsur-unsur modernitas dalam cara berfikir maupun pengelolaan organisasi.
Tetapi, modernitas Muhammadiyah bukanlah bersifat sekular karena agama tetap menjadi motivasi, ruh, dan jalan perjuangan dakwah Muhammadiyah.
Dengan demikian, ciri-ciri masa teologis masih tetap ada di dalamnya bersamaan dengan ciri-ciri masa positivistik. Agama dan modernitas diramu secara eklektik dalam Muhammadiyah sehingga menjadi gerakan yang memperkokoh agama dan sekaligus mendinamisasi instrumen-instrumen dakwah.
Ancaman Puritanisme
Di samping ancaman modernitas, tradisi, dan nilai-nilai lokal juga mendapatkan ancaman dari puritanisme agama.
Kecenderungan puritan dalam Islam, misalnya, telah menggusur tradisi-tradisi yang dipandang berbau bidah, tahayul, khurafat, dan syirik karena merusak akidah Islam yang murni.
Dalam praktiknya, gerakan puritan ini telah melancarkan serangan tanpa pandang bulu terhadap tradisi yang diyakini bertentangan dengan Islami murni, seperti ziyarah kubur, sedekah bumi, sedekah laut, tahlilan, dan slametan. Karena semuanya itu berbau sinkretik dan tidak bersumber dari ajaran Islam yang otentik.
Tradisi secama itu dipandang oleh puritanisme sebagai bentuk sikretisme, campuran ajaran-ajaran yang berasal dari Hindu, Budha, dan paganisme.
Cara berfikir puritan semacam itu pada masa berikutnya dikritik karena menyebabkan kegersangan spiritual dan hilangnya kearifan lokal.
Mengikuti cara pandang dialektika seperti tersebut di atas, maka kita melihat jika sinkretisme abad pertengahan adalah sesuatu tesis, muncullah puritanisme pada zaman modern sebagai antitesis.
Pada gilirannya, antitesis ini menjadi tesis, yang selanjutnya ditantang oleh tesis baru, yang mengritik puritanisme sebagai pemikiran yang menggusur tradisi dan spiritualitas secara membabi buta.
Muhammadiyah dan Kearifan Lokal
Dalam kesempatan ini perlu dipaparkan bagaimana Muhammadiyah memandang tradisi lokal. Rujukan yang paling baik sesungguhnya adalah produk Sidang Tanwir di Makassar 2007 yang mengesahkan dakwah kultural Muhammadiyah.
Pada prinsipnya, Muhammadiyah sangat menghargai tradisi lokal. Tetapi, jika tradisi itu mengandung penyimpangan dari akidah yang benar, maka Muhammadiyah melakukan purifikasi dalam arti menjauhkan diri dari tradisi yang mengandung unsur-unsur tahayul, bidah, khurafat, dan syirik.
Jika tradisi itu tidak mengandung unsur-unsur sinkretik, maka Muhammadiyah mendinamisasikan tradisi itu sehingga menjadi modal bagi pencepatan kemajuan manusia.
Posisi Muhammadiyah semacam itu menyiratkan penghargaannya terhadap budaya lokal, dan setelah melalui seleksi sebagiannya menjadi local wisdom.
Ini berarti bahwa sekalipun telah dikenal sebagai gerakan modernis yang menghargai rasionalitas, Muhammadiyah tetap menghargai tradisi yang positif dan posisinya sebagai kearifan lokal.
Demikian pula, sekalipun dikenal sebagai gerakan puritan, Muhammadiyah tidak berlaku semena-mena terhadap tradisi. Muhammadiyah hanya melakukan usaha purifikasi jika mengandung atau mempersubur sinkretisme.
Kerusakan Lingkungan
Kearifan lokal menjadi bahan wacana dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Berikut ini bebrapa contoh tentang bangkitan kesadaran terhadap pentingnya kearifan lokal.
Akibat industrialisasi yang terus berekspansi secara cepat, terjadilah kerusakan lingkungan. Polusi, banjir, tanah longsor dan pemanasan global (global warning) merupakan by product dari industrialisasi.
Bahkan sampai sekarang diyakini oleh para penganut developmentalisme sebagai satusatunya jalan menuju kemajuan dan kesejahteraan umat manusia.
Pengunaan bahan bakar, konversi lahan produktif menjadi real estate dan pabrik menyebabkan kesusakan lingkungan. Eksploitasi sumber daya alam atas nama pembangunan ternyata menimbulkan penderitaan di banyak tempat.
Itu semua menggambarkan bagaimana parahnya kerusakan lingkungan yang menimbulkan penderitaan masyarakat lokal akibat pembangunan yang tidak berorientasi pada kearifan lokal.
Contoh lainnya bisa dilihat dalam dimensi hubungan antarmanusia. Dalam tradisi Jawa yang sesungguhnya diwarnai oleh ajaran Islam, manusia diharuskan untuk menjalin silaturahmi.
Orang bertemu muka, bercanda, berbincang-bincang dengan keakraban. Mereka memiliki waktu yang longgar untuk bercengkerama sehingga hubungan batin menjadi kuat karena bisa melihat ekspresi teman atau tetangganya.
Tetapi, dalam kehidupan modern, akibat teknologi informasi, orang merasa cukup berkomunikasi dengan teknologi informasi, misalnya telepon atau media sosial.
Manusia modern telah kehilangan sentuhan-sentuhan keakraban sesama. Tradisi gotong royong di kampung-kampung tradisional sesungguhnya merupakan instituasi untuk menguatkan keakraban dan tanggung jawab sosial.
Ada nilai-nilai (values) yang tidak bisa digantikan oleh sistem baru, misalnya dengan urunan untuk membayar tenaga orang lain untuk mengerjakan tugas-tugas kolektif di suatu komunitas tertentu.
Tantangan Global
Dakwah kultural sesungguhnya melakukan dua proses sekaligus. Pertama adalah purifikasi dalam bidang akidah-ibadah, dan dinamisasi dalam bidang m’amalah-dunyawiyah.
Ini berarti bahwa Muhammadiyah membuka ruang yang sangat luas bagi pemanfaatan budaya lokal bagi kepentingan dakwah.
Di dalam masyarakat kita banyak media tradisional yang sesungguhnya tetap berfungsi dengan untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah. Namun demikian, harus dipertimbangkan efektivitas media itu.
Ada kemungkinan bahwa pemanfaatan media tradisional itu bahkan berlawanan dengan tujuan dakwah. Media atau alat seringkali mengendalikan tujuan sehingga tujuan itu sendiri menjadi kabur.
Di samping itu, efisiensi juga harus menjadi pertimbangan. Banyak resources dan energi yang terbuang untuk kepentingan media. Sedangkan terjadi pemborosan, yang pada hakekatnya itu berlawanan dengan tujuan dakwah yang mendorong adanya efisiensi dalam pemanfaatan resources. Jika tidak, akan terjadi israf (berlebih-lebihan) dan tabdzir (pemborosan).
Dalam rangka memproses tradisi lokal menjadi kearifan lokal yang berfungsi peningkatan kualitas hidup dalam makna yang luas, maka sesungguhnya kita bisa membedakan antara wadah dan isi, atau simbol dan makna.
Antara Simbol dan Isi
Dalam masyarakakat tradisional, wadah atau simbol memiliki posisi yang sangat penting. Orang bisa terlibat dalam konflik karena simbol. Karena itu, dakwah kultural sesungguhnya bisa berlangsung dengan simbol dan wadah yang tetap tetapi dengan memberikan makna yang berbeda.
Di sinilah proses desakralisasi dan demitologisasi atas simbol dan wadah harus dilakukan. Simbol yang sama diberi makna baru, dan wadah yang sama diberi isi baru.
Perkembangan sekarang ini menunjukkan bahwa globalisasi semakin hari semakin masuk ke dalam seluruh aspek kehidupan manusia dan seluruh kawasan di muka bumi ini.
Karena itu, tidak mungkin kita menolak globalisasi secara apriori. Yang penting adalah bagaimana kita mengambil segi-segi positif dari gejala globalisasi itu.
Banyak sisi-sisi positif dari ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, dan budaya yang perlu dimanfaatkan untuk meningkatkan derajat kehidupan umat.
Sejarah menunjukkan bahwa tidak ada kemajuan yang dicapai dengan cara isolasi diri, karena sikap itu justru akan memperlemah daya tahan sebuah komunitas yang menolak bersentuhan dengan komunitas lain.
Bergulat dengan globalisasi tidak serta-merta berati mengilangkan tradisi lokal atau kearifan lokal. Dalam wacana tentang pluralisme atau multikulturalisme terkandung semangat pengakuan dan penghargaan terhadap keragaman, termasuk lokalisme itu.
Karena itu, dakwah kultural menuntut kita untuk bukan saja melakukan inovasi tetapi juga terkadang preservasi simbol atau wadah sebagai tradisi lokal yang kemudian ditransformasikan ke dalam nilai-nilai Islam yang berkemajuan. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Atas izin penerbit Hikmah Press Surabaya, tulisan berjudul asli Dakwah Kultural dalam buku Mendekati Agama: Memahami dan Mengamalkan Islam dalam Ruang dan Waktu (2014) ini dimuat ulang oleh PWMU.CO dengan judul Dakwah Kultural Muhammadiyah.