Kiai Dahlan Serasikan Dagang-Dakwah, ditulis oleh M. Anwar Djaelani, peminat masalah sosial-keagamaan, tinggal di Sidoarjo.
PWMU.CO – Berdagang dan berdakwah, sering menjadi dua aktivitas yang berjalan serasi. Sangat banyak kisah manis, bahwa mereka yang menjalankan profesi sebagai pedagang sekaligus pendakwah yang sukses. KH Ahmad Dahlan, termasuk salah seorang yang bisa disebut
Kauman dan Batik
Pada masanya, di Kampung Kauman Yogyakarta, memang banyak kisah menarik sekaligus menggugah. Di awal 1900-an sebagian besar pemuka Islam—Abdi Dalem bidang keagamaan Kraton Yogyakarta—yang tinggal di Kampung Kauman, juga menyempatkan diri membuka usaha batik. Mereka memproduksi dan atau menjual batik.
Di antara yang bisa disebut aktif di dua kegiatan itu, adalah Ahmad Dahlan. Beliau pemuka agama, sebagai Khatib Amin di Masjid Gedhe Kraton Yogyakarta. Juga, seorang pedagang batik.
Bagi Ahmad Dahlan, posisi keagamaannya—termasuk setelah mendirikan Muhammadiyah pada 1912—tak membuat aktivitas berdagang batik yang dijalaninya menjadi kendor.
Sebaliknya, beliau bisa menjadikan dua aktivitas itu berjalan berseiring: Berdagang sambil berdakwah atau berdakwah seraya berdagang.
Menjadi pemandangan yang biasa, di saat berkeliling berdagang ke berbagai daerah, Ahmad Dahlan juga berdakwah. Beliau tak melewatkan kesempatan bertemu masyarakat banyak—yang sangat berharga itu—untuk juga mengadakan tabligh.
Ada hal lain yang tak kalah menarik. Bahwa, sungguh bisa menjadi teladan atas apa yang diperagakan pasangan suami-istri, Ahmad Dahlan dan Siti Walidah. Di satu sisi, dari keuntungan berdagang batik, Ahmad Dahlan menjadikannya sebagai salah satu penopang dakwah yang utama.
Sementara, di “belakang”—di Kampung Kauman—sang istri berposisi sebagai pengatur kelancaran produksi batik.
Dapat ditambahkan, Abdi Dalem Kraton Yogyakarta yang sekaligus aktif menjadi pedagang batik adalah hal lazim di Kampung Kauman Yogyakarta. Setidaknya, hal itu ada pada kurun 1900-1960.
Jaringan Dakwah
Ahmad Dahlan rajin mencari nafkah. Ia dikenal sebagai wirausahawan yang cukup sukses, sebagai pedagang batik. Seperti telah disebut di atas, profesi yang yang disebut terakhir itu banyak diseriusi oleh orang-orang yang tinggal di Kampung Kauman Yogyakarta.
Sambil berdagang, Ahmad Dahlan menyempatkan diri untuk juga bertabligh. Beliau mengunjungi banyak kota di Jawa, termasuk ke Jawa Timur. Saat di Jawa Timur, antara lain tercatat Ahmad Dahlan pergi ke Ponorogo, Pasuruan, Jember, Banyuwangi, Blitar, dan Malang. Di kota yang disebut terakhir, beliau ke Sumberpucung dan Kepanjen.
Taat berdagang dan berdakwah, Ahmad Dahlan mendapatkan sambutan yang baik. Banyak yang tertarik dengan sejumlah hal yang ada pada pribadi Ahmad Dahlan. Ketertarikan mereka setidaknya pada dua hal, yaitu performanya di saat berdagang dan kualitas tabligh-tabligh yang disampaikannya.
Sejumlah jamaah yang aktif mengikuti tabligh-tabligh Ahmad Dahlan, di kemudian hari lalu merintis berdirinya Muhammadiyah di tempat mereka masing-masing. Misalnya, di Sumberpucung, Malang.
Pendirian Muhammadiyah diinisiatifi oleh sebuah keluarga Mataram (sebutan untuk orang Yogyakarta yang bertempat tinggal di Sumberpucung). Hal serupa-dalam hal penggerak di masa awal-juga terjadi di Kepanjen (Malang), Blitar, dan Ponorogo.
Di tempat-tempat lain, Muhammadiyah juga berkembang berseiring dengan aktivitas dagang Ahmad Dahlan. Para inisiator pendirian Muhammadiyah di berbagai daerah bergerak atas dasar ketertarikan atas cita-cita gerakan dakwah yang dikenal sebagai pengusung ide pembaruan Islam.
Gerakan ini lebih menekankan kepada pendekatan rasional dalam memecahkan masalah keagamaan sepanjang dibenarkan oleh Islam (Hery Sucipto, 2010: 66).
Siapa Turut
Menjadi pendakwah, jelas mulia. Menjadi pedagang (yang jujur), terang terpuji. Perhatikan hadits berikut ini: “Seorang pedagang yang jujur, (kelak di Hari Kiamat akan dikumpulkan oleh Allah) bersama para Nabi, shiddiqin, dan para syuhada’.” (HR at-Tirmidzi).
Alhamdulillah, KH Ahmad Dahlan telah mengamalkan keduanya. Beliau sukses di dua aktivitas yang bisa dikerjakan secara berseiring itu. Jadi, mari kita teladani. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Artikel ini adalah versi online Buletin Jumat Hanif Edisi 51 Tahun ke-XXIV, 21 Agustus 2020/2 Muharam 1442.
Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan mobilitas fisik.