PWMU.CO– Intoleransi ekonomi dan budaya sekuler punya daya rusak tinggi memecah belah masyarakat dan menghapus identitas Indonesia.
Hal itu disampaikan Prof Dr Abdul Mu’ti dalam pidato pengukuhan guru besar di UIN Syarid Hidayatullah Jakarta, Rabu (2/9/2020).
”Intoleransi ekonomi ditandai oleh kesenjangan ekonomi. Terdapat sekelompok kecil masyarakat, bahkan individu, yang menguasai aset-aset ekonomi secara berlebihan dan terus-menerus melakukan ekspansi bisnis tanpa menghiraukan sebagian besar masyarakat yang hidup dalam kemiskinan,” kata Abdul Mu’ti yang juga Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Dia juga mengungkap, terdapat sekelompok kecil masyarakat dengan ideologi budaya sekuler secara sistematis melakukan penetrasi budaya kepada khalayak melalui media massa, media sosial, dan kebijakan negara.
”Tidak bisa dipungkiri, sedang terjadi hegemoni ekonomi dan tirani budaya di Indonesia. Intoleransi ekonomi dan budaya yang sesungguhnya memiliki daya rusak yang tinggi dan masif terhadap identitas dan persatuan bangsa tidak ditangani dengan serius,” tandasnya.
Padahal, sambung dia, pengalaman banyak negara menunjukkan betapa besarnya daya rusak dan kontribusi ketimpangan kesejahteraan, pemaksaan identitas, dan ketidakadilan politik-hukum terhadap kekerasan dan separatisme.
Di Indonesia, menurut Mu’ti, yang mendapat sorotan tajam hanya intoleransi keagamaan. Banyak pihak sangat khawatir dengan meningkatnya intoleransi keagamaan di dunia, termasuk di Indonesia.
”Padahal akar masalahnya kompleks, tidak tunggal, dan liniar. Termasuk sumber terjadinya kekerasan keagamaan adalah pendidikan agama Islam, materi, media dan sumber belajar, paham keagamaan guru, dan situasi sosial politik,” ujarnya.
Penelitian PPIM
Merujuk penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terhadap pelajar dan mahasiswa menunjukkan gejala tingginya intoleransi menemukan 58,15 persen pelajar dan mahasiswa cenderung berpandangan radikal.
Sebanyak 51,1 persen intoleran terhadap mereka yang seagama, dan 34,3 persen intoleran terhadap pemeluk agama lain. Secara umum sikap dan perilaku keagamaan masih moderat (74,2 persen), toleransi eksternal (62,9 persen), dan internal (33,2 persen).
”Maknanya, pelajar dan mahasiswa lebih toleran terhadap umat agama lain dibandingkan dengan mereka yang seagama, terutama terhadap paham dan aliran yang dianggap sesat seperti Syiah dan Ahmadiyah,” tuturnya.
Sikap dan pandangan tersebut dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu guru dan materi Pendidikan Agama Islam (PAI), akses keagamaan dari internet, serta persepsi terhadap islamisme dan kinerja pemerintah.
Temuan penelitian tersebut sejalan dengan survei terhadap pandangan keagamaan guru. Menggunakan alat implicit association test (IAT) survei PPIM (2019) menyimpulkan 63,07 persen PAI intoleran terhadap agama lain, sedangkan dengan alat ukur eksplisit level intoleransinya 56,90 persen.
Sikap guru PAI tersebut antara lain dipengaruhi oleh pandangan mekanisme, demografi, dan afiliasi terhadap Ormas Islam.
Dengan segala keterbukaan yang ada, Indonesia belum menjadi negara yang terbuka (inklusif). Merujuk data Social Progress Index (SPI) 2019, Indonesia masuk kategori negara eksklusif. Dengan skor 65, 62/100, Indonesia berada pada peringkat 85 dari 149 negara. Di antara skor yang terendah adalah aspek personal rights (52,92) dan inclusiveness (39,96).
Editor Sugeng Purwanto