PWMU.CO– Mati di hari Jumat, apakah ada keistimewaan jaminan surga? Mengenai masalah ini ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم– : مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلاَّ وَقَاهُ اللَّهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ
Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: ”Tidaklah seorang muslim mati pada hari Jumat atau malam Jumat kecuali Allah akan melindunginya dari adzab kubur.” (Sunan at-Tirmidzi/vol. III/hadits ke 1074)
Secara lengkap sanad dari hadits ini adalah at-Tirmidzi dari Muhammad bin Basysyar dari Abdurrahman bin Mahdi dan Abu Amir al-Aqadi dari Hisyam bin Sa’ad dari Sa’id bin Abi Hilal dari Rabiah bin Saif dari Abdullah bin Amr bin Ash.
Para ulama hadits berbeda pendapat tentang status hadits ini. Imam at-Tirmidzi (w. 360 H) sendiri yang meriwayatkan hadits ini dalam kitab Sunan at-Tirmidzi menilainya sebagai hadits gharib karena diriwayatkan oleh satu orang saja dan munqathi’ karena sanadnya tidak bersambung (laisa bi muttashil).
Menurutnya, tokoh yang bernama Rabiah bin Saif (w. 120 H) dari generasi tabiut tabiin yang meriwayatkan hadits ini tidak pernah bertemu dengan sahabat Nabi Abdullah bin Amr bin Ash (w. 63 H), sehingga ada satu perawi dari tingkatan tabiin yang hilang.
Status gharib yang diberikan oleh at-Tirmidzi ini kemudian diteruskan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) seorang ulama hadits yang wafat di Mesir dengan label dhaif dalam kitabnya Fathul-Bari (vol. IV/hal. 467).
Status Munqathi
Mengenai status munqathi (terputus perawi dari kalangan tabiin) pada hadits ini, berdasarkan penelitian kami ditemukan bahwa sesungguhnya Imam at-Tirmidzi dalam kitabnya yang lain, Nawadir al-Ushul (sebuah kitab hadits yang mengkompilasi hadits-hadits dhaif), meriwayatkan hadits ini secara muttashil (bersambung).
Nama tokoh dari generasi tabiin yang bertemu dengan Rabiah bin Saif dan meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Amr bin Ash yang sebelumnya hilang dalam Sunan at-Timidzi adalah Iyadh bin Aqabah al-Fihri dan Ali bin Ma’badh (at-Tirmidzi, Nawadir al-Ushul, vol. IV, hal. 161). Imam al-Qurtubhi (w. 671 H) dalam at-Tadzkirah (hal. 167) dan Ibnu Qayyim (w. 751 H) dalam ar-Ruh (hal. 161) demikian juga membantah status munqathi untuk hadits ini.
Namun, jika hadits ini selamat dari tadh’if (pendaifan) dari aspek ketersambungan mata rantai perawinya (ittishal as-sanad), hadits ini ternyata masih memiliki problem lain, yaitu dari sisi kredibilitas perawi.
Dari rangkaian para perawi tersebut di atas, Saif bin Rabi’ah adalah sosok yang bermasalah di kalangan ulama hadits. Imam al-Bukhari memberikan komentar bahwa padanya ada kemunkaran (lahu manakir) (lihat at-Tarikh al-Kabir, vol. III, hal. 290).
Ibnu Hibban menyebutnya kana yukhtiu katsiran (ia banyak berbuat salah dalam meriwayatkan hadits) (lihat ats-Tsiqat, vol. VI, hal. 301). Komentar Ibnu Yunus terhadapnya sama dengan komentar al-Bukhari, dan an-Nasai melemahkan hadits-haditsnya (Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzibu al-Tahdzib, vol. III, hal. 221, adz-Dzahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqdi ar-Rijal, vol. III, hal. 67).
Riwayat Ahmad bin Hanbal
Hadits yang serupa dengan sedikit perbedaan redaksi juga diriwayatkan oleh Ahmad (w. 241 H) dalam Musnad (hadits ke-6582, 7050), Abu Ya’la dalam Musnad (hadits ke-4113) dan Abd bin Humaid juga dalam Musnad-nya (hadits ke-323).
Namun, karena hadits-hadits tersebut juga berstatus dlaif, maka ia tidak bisa mengangkat derajat hadits ini naik menjadi hasan.
Pada hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abd bin Humaid terdapat sosok bernama Baqiyah bin Walid yang dikomentari oleh Ibnu Hajar bahwa hadits-haditsnya munkar (karena ia sering lupa atau banyak melakukan kesalahan atau seorang fasik) dan ia banyak menyembunyikan cacat hadits (mudallis) (Lisan al-Mizan, vol. VI, hal. 184, Tabaqah al-Mudallisin, vol. I, hal. 49).
Dalam sanad Abu Ya’la terdapat Yazid ar-Raqasyi yang dikomentari ahli hadits bahwa ia adalah seorang yang selalu terobsesi dengan perbuatan ibadah serta kalimat-kalimat yang baik, namun sayang sekali ia tidak memiliki kemampuan mengetahui dan membedakan mana yang hadits dan mana yang bukan hadits (Ibnu Abi Hatim, al-Majruhin, vol. 3, hal. 98)
Dalil Quran
Dalam surat al-Zalzalah (99) ayat 7-8, Allah membalas semua perbuatan manusia tanpa memandang hari kematian.
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ . وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَه
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.
Kesimpulan tarjih tentang keutamaan mati di hari Jumat dasarnya lemah, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah (argumentasi).
Diringkaskan dari tarjih.or.id.
Editor Sugeng Purwanto