PWMU.CO– Karakter saudagar sebenarnya sudah dimiliki oleh Persyarikatan Muhammadiyah yang kadernya mendirikan banyak amal usaha. Ini bisa menjadi modal untuk membangun jiwa bisnis.
Hal itu disampaikan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam bedah buku Mohammad Nadjikh Penggerak Saudagar Muhammadiyah secara online di Kantor PWM Jatim, Jumat (11/9/2020).
Haedar Nashir menjelaskan, orang suka menghitung aset Muhammadiyah yang mencapai triliunan itu tentu dari kekayaan amal usaha bukan dari kegiatan pengajian dan ceramah.
Kader Muhammadiyah, sambung dia, membangun ini semua lewat spirit reformasi. Kemudian diwariskan dengan semangat sense of development, jiwa membangun.
Dia mengatakan, amal usaha Muhammadiyah di seluruh Indonesia yang selama ini dipandang sinis oleh sebagian orang, sebenarnya telah menyerap ratusan ribu lapangan kerja dan memberikan manfaat lain dalam bentuk amal sosial.
”Asumsi radikalnya, jika amal usaha ini bubar, apa yang terjadi? Tanpa amal usaha, maka Muhammadiyah hanya menjadi organisasi yang berdebat soal fikih. Fikih itu penting, tapi tidak akan selesai,” tandasnya.
”Pak JK pernah mengatakan Muhammadiyah itu seperti holding company. Bayangkan kalau semua amal usaha seperti sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, dan lainnya digabung menjadi sebuah holding besar,” tuturnya.
Periode ini, tambah dia, berencana mengembangkan bisnis. “Lima tahun ke depan bisa punya modal untuk membangun saudagar baik dibina sejak kecil maupun besar,” ujar guru besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini.
Kader yang sekarang tidak menjadi saudagar janganlah disesali, ujar Haedar. Seperti Buya Syafi’i Ma’arif bisa menjadi saudagar ide yang punya tempat dalam persyarikatan ini.
Membangun Pusat Bisnis
Haedar mengaku senang mengenang jejak pengabdian almarhum Mohammad Najikh. Semasa hidupnya, almarhum melalui Majelis Ekonomi berhasil menerjemahkan jiwa kewirausahaan dengan kultur Muhammadiyah.
“Alhamdulillah sekarang gebrakannya membangun Jaringan Saudagar Muhammadiyah. Artinya lima tahun ke depan, kita bisa membangun pusat-pusat bisnis,” katanya.
Dia berharap para kader dan anggota Muhammadiyah mewarisi nilai-nilai sense of development, rasa membangun. Memang tidak bisa instan langsung jadi. Ada tahapannya.
Dia mencontohkan pembangunan Griya Suara Muhammadiyah sebagai upaya mewujudkan bisnis yang baik. Dari situ kemudian merambah kepada usaha percetakan. Di Yogya percetakan besar hanya ada satu milik non pribumi. Semua cetak di situ. Kita pernah merintis percetakan kecil tapi mati. Lalu dihidupkan lagi dengan nama Gramasurya yang masih eksis hingga kini.
”Dulu waktu kita mau cetak sendiri, percetakan besar itu minta waktu agar tidak langsung dihentikan,” tuturnya. Setelah bisnis ini sukses, ujar Haedar, merambah ke bisnis hotel.
Bisnis persyarikatan ini, menurut Haedar, membuat kita tidak merepotkan orang lain. Karena kita sudah selesai dengan kepentingan diri sendiri.
Menilai buku Mohammad Nadjikh Penggerak Saudagar Muhammadiyah, menurut Haedar, mestinya yang membahas para saudagar. ”Saya bukan saudagar tapi saudara. Buku ini juga banyak ditulis oleh saudara. Saudagarnya hanya Pak Dahlan Iskan, Bu Nurhayati Subakat, Sutrisno Bachir, Sulthon Amien…” komentar Haedar yang memicu tawa peserta. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto