Benarkah Khilafah Itu Utopia? Ini Realitasnya oleh Slamet Sugianto, aktivis Islam di Surabaya.
Tulisan ini tanggapan terhadap tulisan Dr Sholikh Al Huda yang berjudul Khilafah HTI, Utopia di Atas Rekonstruksi Sejarah.
PWMU.CO-Kritik terhadap konsep khilafah sebagai ajaran Islam seringkali mencampuradukkan antara bahasan das sein, realitas, dan das sollen, seharusnya.
Tapi semakin ke dalam semakin asyik juga diurai. Seperti yang ditulis oleh Dr Sholikh Al Huda dari Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Diskusi khilafah dalam narasi opini niscaya merangsang geliat intelektual. Mengulik lebih dalam dan komprehensif. Daripada dengan pendekatan kekuasaan melalui instrumen perangkat hukum. Atau instrumen ormas yang berpotensi merealisasikan konflik horisontal.
Saya sepakat dengan Dr Sholikh Al Huda, hambatan terbesar memahami khilafah sebagai ajaran Islam dianggap sebuah utopia karena pertama, faktor realitas politik Indonesia cenderung nasionalis multikultural hingga berujung adanya Darul Ahdi dan Dar as-Syahadah sebagai perwujudan cita-cita membangun Indonesia sebagai negara yang baldatun thayibatun war rabbun ghafur.
Kedua, disparitas pemahaman dan sikap terkait posisi relasi agama dan politik di Indonesia secara ideal. Setidaknya ada tiga pandangan posisi Islam pada wilayah politik yaitu pandangan sekuler, integral dan substansial. Secara faktual yang lebih dominan menjadi mainstream pemikiran adalah kelompok sekuler dan substansial.
Ketiga, Sholikh mengakhiri penjelasannya dengan mengungkap tidak dipungkiri adanya keragaman model pemerintahan dalam sejarah Islam yang tercermin dari berbedanya sistem peralihan kekuasaan.
Hingga sampai pada kesimpulan fakta beralihnya sistem ketatanegaraan atau pemerintahan Islam menjadi kerajaan sebagaimana klaim yang dinarasikan sejurus dengan narasi yang dikehendaki dalam koridor kepentingan war on radicalism. Dalam bentuk pengaburan dan penguburan fakta sejarah yang lebih berakar pada Islamofobia
Fakta Praktik Demokrasi
Dari tiga faktor yang diungkap oleh Sholikh Al Huda gampang saja sebenarnya menakar khilafah sebagai sistem ketatanegaraan apakah kompatible dan adaptible dengan kenyataan kekinian dalam lintasan sejarah.
Apalagi tuduhan narasi khilafah yang ahistoris dengan konteks kesejarahan Indonesia atau nusantara tidak ditemukan basis argumentasinya.
Saat muncul film Jejak Khilafah di Nusantara, respon berlebihan terhadap keberadaan film seolah secara tersirat mengungkap kekhawatiran terkuaknya kebenaran fakta sejarah khilafah. Sekaligus menghapus tuduhan ahistoris. Hingga menjadi fenomena pembentuk opini publik secara masif dan meluas.
Untuk faktor yang pertama sebenarnya tinggal menyodorkan wujud aktual faktualnya seperti apa. Apakah dengan sistem ketatanegaraan demokrasi sekarang lebih tampak sebagai sistem di bawah kendali oligarki wujud dari Darul Ahdi wa as-Syahadah?
Bagaimana sistem ekonomi, bagaimana sistem kebijakan fiskal, bagaimana sistem kebijakan moneter, bagaimana garis kebijakan hubungan internasionalnya. Apakah masih bertumpu pada sumber pendapatan pajak dan hutang ribawi?
Ini yang mesti dideskripsikan secara jelas dan detail agar terkuak karakteristik khas dari model sistem ketatanegaraan yang dimaksud. Di tengah realitas bahwa tampilan faktual demokrasi lebih banyak dibentuk oleh tampilan kebijakan publik rezim penguasa dari masa ke masa.
Adanya dugaan kuat praktik inkonstitusional kediktatoran. Atau seperti apa model sistem ketatanegaraan yang ideal sambil menunggu proses metamorfosanya demokrasi dari bersifat formalitas menjadi substansialitas Islam. Sebagaimana harapan dan bayangan para pengikut dan propagandisnya. Meski agak muskil dan utopis menunggu wujud ideal faktualnya.
Pemikiran Islam Berkembang
Untuk faktor kedua, hanya soal waktu seiring dengan berjalannya pemikiran yang berkembang. Islam lebih mengenal nomenklatur kesatuan tidak terpisah. Nama dan isi, substansi dan formalitas, syariah dan akidah. Semuanya adalah kesatuan tidak terpisah.
Kegagalan secara intelektual menemukan dan menggali model sistem ketatanegaraan ideal menurut Islam baik dalam aspek prinsip-prinsip substansi maupun prinsip-prinsip operasionalisasi yang memiliki kekhasan, harusnya tidak menutup ruang memahami secara terbuka.
Tanpa harus menyebut dan menuduh dengan statement pemaksaan. Semuanya dalam tataran perang pemikiran. Tidak ada paksaan apalagi menggunakan kekuasaan. Bukankah yang dekat memiliki kekuasaan adalah penguasa.
Terakhir faktor ketiga, menggambarkan kegagalan Sholikh untuk mendiagnosa gambaran faktual sistem kerajaan dalam khasanah peradaban Islam. Seolah sama dengan fakta kerajaan dalam sejarah Eropa.
Bisa dipahami jika dirunut dari akar pemikiran politik sebagaimana yang dijelaskan dan diajarkan Ali Abdur Raziq. Yang memiliki kesamaan pandangan menyebut praktik kekhilafahan Islam Abbasiyah dan Utsmaniyah sebagai kerajaan. Dengan hanya melihat dari sisi peralihan tampuk kepemimpinannya saja. Lalu mencoba mengabaikan unsur pokok dan dominan dalam sistem ketatanegaraan khilafah yang bertumpu kepada syara’ sebagai referensi utama dalam pengelolaan dan penyelenggaraan negara.
Dimana syara’ menjelaskan ketentuan seputar persoalan struktural dan fungsional kelembagaan negara. Alhasil narasi membangun argumentasi khilafah sebagai utopia akan berhadapan dengan keniscayaan realita sesuai dengan kehendak Sang Maha Kuasa.
Benarkah khilafah itu utopia? Realitas perjuangan mewujudkannya akan menjadi kepastian sejarah masa depannya. (*)
Editor Sugeng Purwanto