Test Case dengan 6 Nyawa oleh Nurbani Yusuf, pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu.
PWMU.CO-Sebagian besar belok arah. Bukan Islam yang diperjuangkan tapi sibuk membela pemimpin yang dizalimi. Saya membayangkan syahidnya enam anggota FPI disambut gemuruh takbir dan pekik jihad seluruh umat Islam. Rezim ambruk. Demo besar dan rusuh. Ternyata tidak.
Yang saya pikirkan salah. Reaksi yang mengemuka hanya pers release tuntutan membentuk tim pencari fakta dan berakhir di pengadilan HAM. Apapun yang terjadi, aparat jelas sengaja: HAM ditabrak, SOP dilanggar, enam orang dibunuh tanpa pembelaan. Rezim sedang gambling semacam test case. Hanya ingin melihat reaksi balik.
FPI dan Rizieq Shihab sendirian tanpa dukungan umat Islam lain. Rezim sedang mengukur kekuatan dan nyali lawan. Yang menyedihkan lagi Rizieq Shihab dijerat dengan pasal kerumunan. Pasal ’tidak berkelas’ saya bilang. Mestinya makar atau subversif.
Tapi itu ’pilihan cerdas’. Dengan pasal kerumunan mencegah umat Islam tidak bersatu bahkan berbalik saling menyalahkan. Akan sangat berbeda jika dijerat dengan pasal makar atau subversif.
Enam syuhada FPI itu mestinya menjadi martir revolusi seperti halnya nyawa delapan jendral pahlawan revolusi dan 9 nyawa mahasiswa Trisakti. Perilaku politik umat Islam bisa saja berubah signifikan.
Ormas Dominan
Jangan harap berdiri negara Islam di Indonesia bila tak berasal dari buah pikir dua ormas besar. Muhamadiyah dan NU. Inilah dua jangkar NKRI. Pada keduanyalah NKRI berdiri hingga hari ini.
Sayangnya Muhammadiyah sudah yakin dengan konsep Darul Ahdy wa Syahadah dan NU pasang badan NKRI harga mati. Maka apapun ikhtiar mendirikan negara Islam seperti menatap tembok karang. Gagal dan hancur berkeping.
William Liddle dan Greg Barton menyebut, sejarah radikalisme Islam tak pernah sukses semenjak PRRI hingga Daarul Islam pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo. Semua lunas tinggal cerita heroik dan tragedi.
Bahkan puluhan gerakan sektarian semacam Jamaah Ansharut Tauhid, Mujahidin Indonesia Barat, Mujahidin Indonesia Timur, Jamaah Tawhid wal Jihad, Jazirah Al-Muluk Ambon, Ansharul Kilafah Jawa Timur, Gerakan Tawhid Lamongan, Khilafatul Muslimin, Laskar Jundullah pun hilang cerita.
Pun dengan FPI dan HTI. Dua terakhir mengais kembali semangat Daarul Islam. Sepi peminat dan miskin simpati. Psikologi umat Islam Indonesia memang jauh berbeda dengan umat Islam di Timur Tengah dimana isu sektarian bisa membakar amarah dan menghancurkan. Sebut saja Mujahidin dan Taliban di Afghan. ISIS di Suriah atau Salafi dan Syiah di Yaman.
Umat Sakau
Jadi benarkah isu sektarian dan SARA tak lagi diminati kecuali sedikit orang. Sektarian hanya melahirkan militansi, dan fanatisme tapi jauh dari maslahat? Lantas apa yang harus dilakukan? Negara tak bisa ditegakkan sendirian, tapi butuh kerja sama dan gotong royong dengan lain manhaj, bahkan lain iman.
Taruhlah FPI atau HTI jadi berkuasa menjadi rezim. Saya yakin NU akan menjadi oposan. Atau sebaliknya ketika NU berkuasa menjadi rezim, saya juga amat yakin FPI dan HTI akan menjadi oposan. Meski sesama muslim, tak ada jaminan bisa bersatu dalam satu rezim.
Sektarianisme telah menjadikan agama benar-benar seperti ’opium’. Untuk bumbu politik. Umat Islam banyak yang sakau dan mencakar saudaranya sendiri. Bahkan dirinya sendiri. Meminum darah egoisme dan nafsu politik temannya secara barbar.
Sebab itulah para founding fathers kita mengambil jalan tengah. Ki Bagus Hadikoesoemo dari Hoofdbestuur Muhammadiyah dan KH Wahid Hasyim dari NU bersepakat kompromi dengan kaum nasionalis menghapus tujuh kata dalam sila pertama Pancasila, agar semoea kita bersatoe dalam pikiran dan pergerakan. Meski banyak suku, bahasa dan agama. Wallahu ta’ala a’lm. (*)
Editor Sugeng Purwanto