PWMU.CO – Unik, di Sidang Konstituante Kasman Singodimedjo Bahas Persamaan Hak Pria-Wanita? Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dr Sudarnoto Abdul Hakim MA punya jawabannya.
Hal itu dia sampaikan saat menjadi pembicara dalam acara Launching dan Diskusi Buku Hidup Itu Berjuang: Kasman Singodimedjo Ke-116 Tahun dan Peresmian Aula Mr Kasman Singodimedjo Fisip Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Selasa (22/12/2020).
Sudarmoto menjadi pembicara dalam diskusi yang digelar secara luring dan daring melalui Zoom Clouds Meetings bersama pemerhati sejarah dan politik Islam Drs Lukman Hakiem dan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Poltik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Dr Ma’mun Murod Al-Barbasy MSi.
Sudarmoto menjelaskan, dalam lampiran buku halaman 451 dan beberapa halaman berikutnya ada dimuat pidato Mr Kasman Singodimedjo dalam Sidang Konstituante tentang dasar negara yang disampaikan pada bulan Desember 1957.
“Ini menarik sekali. Tampak dengan jelas, lugas, argumentasi-argumentasi yang disampaikan oleh Pak Kasman terkait dengan beberapa topik yang menyangkut tentang dasar negara,” terangnya.
Bahkan, sambungnya, dengan tidak segan-segan beliau menyebutkan sejumlah tokoh dari partai-partai lain. Dari PNI, dari PKI, kemudian dari tokoh-tokoh non-Muslim dan sebagainya dalam rangka membangun argumentasi Pak Kasman di dalam Sidang Konstituante.
“Yang menarik, pidato Pak Kasman itu dimulai dengan uraian tentang persamaan wanita dan pria. Ini unik. Pada saat Pak Kasman mulai pidato, bayangan saya—kalau waktu itu menjadi anggota Konstituante—agak bingung juga apa hubungannya bicara tentang Konstituante kok bicara tentang wanita dan pria,” ujarnya.
Tapi menurutnya itu adalah entry point yang menarik. Kasman membawa isu tentang perempuan dan laki-laki karena selama ini—tidak saja dalam tradisi pemikiran atau budaya Barat tapi juga dalam perkembangan pemikiran di Indonesia dan agama-agama di Indonesia—jelas sekali gambaran hak-hak perempuan yang tidak diberikan.
“Karena itu kalau kita bawa ke konteks yang sekaran ini itu gerakan feminisme, gerakan gender itu kuat sekali. Nah saya kira Pak Kasman tidak bermaksud untuk mendiskusikan atau memperdebatkan tentang wacana posisi perempuan dan laki-laki,” kata dia.
Sudarmoto menangkap bahwa semangat yang disampaikan oleh Kasman Singodimedjo adalah perempuan dalam konteks sumber-sumber hukum Islam.
“Nah ini saya kira penting ketika Pak Kasman mulai masuk ada isu perempuan sebagai bagian salah satu contoh saja terjadinya kesalahpahaman banyak orang, banyak tokoh, apalagi dari kalangan mereka yang anti-Islam. Yang anti-Islam itu ya ateis, yang anti-Islam itu ya kalangan sekuler, yang anti-Islam itu ya mungkin non-Muslim,” ujarnya
“Jadi Pak Kasman ingin masuk pada point bahwa saat sekarang ini yang terjadi di kalangan anggota Konstituante dan para tokoh-tokoh non-Muslim, itu tentang Islam,” dia menambahkan.
Nah, lanjutnya, itu yang harus diluruskan karena kesalahpahaman atau ketidakmengertian tentang Islam dalam konteks Indonesia ini akan berpengaruh terhadap pandangan-pandangan non-Muslim, apalagi anti-Islam, terkait dengan posisi politik Islam di Indonesia.
Anti-Islam Terbukti sampai Hari Ini
Pandangan anti-Islam yang ditentang Kasman Singomedjo itu menurut Sudarnoto belum mati sampai saat ini. “Pemikiran-pemikiran ini dikembangkan oleh kelompok-kelompok yang anti-Islam yang hari ini, itu (disebut) islamophobia, gerakan anti-Islam, berkembang luas di banyak negara termasuk di Indonesia,” ujarnya.
“Jadi Islamophobia itu ternya belum mati. Rasa-rasanya, feeling saya ketika Islam terus memainkan peran yang siginifikan di dalam kehidupan masyarakat, apalagi terkait dengan soal-soal politik dan kebangsaan. Saya kira gerakan-gerakan yang saya sebut, atau Pak Kasman, sebut sebagai anti-Islam itu akan tumbuh. Dan ini benar-benar peringatan dari Pak Kasman. Ternyata hari ini juga masih terlihat,” terangnya.
Dia mencontohkan soal heboh rancangan undang-undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Menurut dia, RUU HIP yang semula dimaksudkan untuk meningkatkan status BPIP di bawah undang-undang itu ternyata membawa semangat anti-Islam.
“Karena itu apa yang diserukan oleh tokoh-tokoh Muslim, di MUI, Muhammadiyah, NU dan beberapa tokoh lainnya, itu sangat beralasan. Dan Ini sudah menjadi sentimen publik bahwa ternyata gerakan anti-Islam—atau saya lebih suka menyebutkan sekulerisme radikal—masih ada,” ujarnya.
Dia menambahkan, bahwa gerakan sekuler itu bisa radikal sekali seperti yang terjadi di India. “Atas nama demokrasi, tapi begitu yang menang adalah kelompok Hindu, itu menjadi kelompok yang ektrem. Banyak perlakuan tidak adil, tidak manusiawi, terhadap umat Islam yang minoritas. Apalagi perdana menteri mengajukan RUU yang membatasi hak warga negara Muslim di India,” kata dia.
Jadi, sambungnya, Muslim di India itu second class alias warga kelas dua. Beberapa masjid dirobohkan dan dijadikan kuil. Ekonomi diboikot. Pedagang-pedagang Muslim diboikot. “Sampai hari ini. Saya kira kasus yang serupa juga muncul di Perancis, seperti kejadian tempo hari,” ujarnya.
“Nah ini yang saya sebutkan kelompok-kelompok islamophobia, gerakan-gerakan anti-Islam atas nama demokrasi. Nah saya menyebutkan sebagai gerakan sekularisme radikal. Saudara kandung, paling tidak, dengan ateisme,” tambahnya.
“Jadi, Pak Kasman itu melihat gejala-gejalanya pada waktu itu dan sekarang terjadi. Ini jadi peringatan penting. Karena itu apa yang dilakukan Pak Kasman dalam Sidang Konstituante dia berusaha dengan sangat kritis menyebutkan satu-satu tokoh. Siapa yang anti-Islam, siapa yang dari PKI, dari PNI dan beberapa tokoh lain tentang Islam. Kekhawatiran itu ada dan beralasan. Apalagi ada narasi bahwa Islam itu adalah agama yang datang dari luar atau barang impor,” terangnya.
Narasi itu, menurut Sudarnoto, digunakan oleh dua kelompok. Pertama, kalangan Islam umum atau penganut sekulerisme. Kedua, kelompok-kelompok non-Muslim untuk menolak kehadiran Islam, apalagi jika itu akan menjadi bagian penting dari dasar-dasar negara Indonesia.
“Jadi memang ada gerakan sistematik yang oleh almarhum Pak Kasman itu dilihat dengan gamblang termasuk dalam proses-proses politik termasuk di Konstituante bahkan juga dalam sidang-sidang sebelumnya,” jelasnya.
Sudarmoto menjelaskan, soal Islam itu impor juga dipatahkan oleh Kasman Singodimedjo. Bahwa masuknya Islam dengan Kristen itu beda. Islam masuk di Indonesia secara damai dengan pendekatan kultural.
“Teori Pak kasman tentang hadirnya Islam di indonesia, yang kemudian menjadi bagian penting dari masyarakat dan budaya atau kepribadian bangsa ini karena ada teori bahwa Islam itu dikembangkan dengan penetration pacifique (perembesan damai),” ujarnya.
Unik, di Sidang Konstituante Kasman Singodimedjo Bahas Persamaan Hak Pria-Wanita.
Penulis/Editor Mohammad Nurfatoni.