AMM, Mana Suara Kritismu tulisan Muhammad Alifuddin, Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sulawesi Tenggara.
PWMU.CO– Suasana hiruk-pikuk sosial politik sekarang ini, suara Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) terdengar sayup-sayup sepoi. Padahal kelompok pemuda lainnya sudah bersuara lantang dan kritis. Misalnya, HMI, BEM Perguruan Tinggi, PII, Pemuda Persis bersuara atas penembakan enam laskar FPI dan kasus korupsi.
Suasana ini berbeda ketika peristiwa penembakan Siyono, guru ngaji di Klaten yang dituduh teroris, oleh Densus 88. Pada saat itu suara Pemuda Muhammadiyah seolah tanpa rasa takut tampil mencari keadilan atas kematiannya. Ikut membantu investigasi hingga advokasi keluarga korban.
Begitu juga ketika peristiwa penembakan Randi, mahasiswa Universitas Halu Oleo Kendari saat demonstrasi menolak RUU KPK pada 26 September 2019. Aktivis IMM bersuara lantang dan mengadakan advokasi. Hingga akhirnya pada 1 Desember 2020, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis 4 tahun penjara kepada polisi penembaknya.
PP Muhammadiyah lewat suara Sekretaris Umum Abdul Mu’ti pun bersikap kritis atas keputusan pemerintah membubarkan FPI supaya bersikap adil. Sikap itu bisa menjadi dasar berargumen bagi pimpinan Muhammadiyah di daerah ketika polisi datang minta mendukung tindakan yang berbau FPI.
Jabatan Komisaris
Menunggu suara kritis AMM yang masih belum terdengar, tiba-tiba muncul berita Ketua Pemuda Muhammadiyah Sunanto diangkat Menteri BUMN menjadi komisaris utama PT Istaka Karya. Anak perusahaan BUMN yang bangkrut. Begitu juga Ketua Umum IMM Najih Prastiyo menjadi komisaris PT Angkasa Pura Hotel.
Berita itu seolah menjawab pertanyaan ke mana saja suara AMM tak terdengar lantang di tengah hiruk-pikuk masalah sosial politik sekarang ini. Sebab apa mereka sudah kehilangan pikiran kritis dan daya nalarnya. Seperti yang disampaikan oleh Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas ”Hanya karena Menginginkan Jabatan Komisaris, IMM Kehilangan Nalar Kritis…”
Jabatan komisaris utama anak perusahaan BUMN yang bangkrut sebenarnya bukanlah penghormatan. Tapi merendahkan marwah Pemuda Muhammadiyah kalau dibandingkan dengan jabatan Yaqut Cholil Qoumas, Ketua Pemuda Ansor, yang diangkat menjadi Menteri Agama.
Sadar atau tidak sadar, Ketua Pemuda Muhammadiyah Sunanto maupun Ketua Umum IMM Najih Prastiyo telah membenamkan kewibawaan organisasi dengan menukar sikap kritis hanya demi jabatan kaleng-kaleng. Padahal Sekum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti yang ditawari jabatan wakil menteri pendidikan dan kebudayaan ditolak. Mengapa Sunanto dan Najih Prastiyo tak mau belajar bersikap seperti seniornya itu?
Realitas ini semoga menyadarkan seluruh elemen Muhammadiyah, bahwa kader-kader mudanya kini mengalami problem serius soal kecerdasan berpikir kritis maupun komitmen menjaga marwah organisasi.
Bargaining Position
Sejak awal organisasi didirikan, para tokoh persyarikat sangat sadar dengan potensi bargaining position Muhammadiyah dalam ruang politik kenegaraan. Karena komitmen memelihara marwah persyarikatan maka pimpinan tak mau terlibat dalam urusan politik praktis kecuali melalui suara partai yang disepakati.
Sikap ini menjadikan Muhammadiyah bisa menjadi independen dalam ruang dakwah amar makruf nahi mungkar di mana saja dan dengan siapa saja. Pimpinan Muhammadiyah bisa memilih untuk menolak atau menerima tawaran jabatan atau pengaruh dari penguasa.
Teringat tokoh Muhammadiyah seperti Ki Bagus Hadikusumo yang menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Ketika didesak untuk menghapus tujuh kata sila pertama dasar negara, sangat ngotot menolak.
Tapi ketika didesak untuk berkompromi politik, Ki Bagus masih berjuang dengan prinsip kecerdasan berpolitik dan akidah untuk mempertahankan nilai tauhid sehingga sila pertama berbunyi Ketuhanan Yang Mahaesa. Jika tidak punya prinsip dalam bargaining politik maka sila pertama itu boleh jadi hanya berbunyi: Ketuhanan.
Pengalaman ini memberi pelajaran jika kita tidak cerdas dalam bernegara, persyarikatan ini semakin banyak diisi oleh penumpang yang ingin mencari hidup di Muhammadiyah. Ambisi mendapatkan jabatan di Ortom bahkan dengan cara money politics dengan itung-itungan bisa dipakai bargaining position di luar.
Jangan melupakan pesan KH Ahmad Dahlan. Hidup-hidupkanlah Muhammadiyah. Jangan mencari hidup di Muhammadiyah. (*)
Editor Sugeng Purwanto