Kelakar Gus Dur dan Puritanisme Muhammadiyah oleh Nurbani Yusuf, pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu.
PWMU.CO– Kelakar Gus Dur ini menarik disimak.”Pengurus NU itu kaya-kaya sedang NU-nya miskin. Kalau Muhammadiyah itu kaya sedang pengurusnya miskin-miskin.”
Tak perlu menilai mana di antara keduanya lebih baik. Pesan Kiai Ahmad Dahlan: Hidup-hidupilah Muhammadiyah juga bermakna agar setiap warga persyarikatan kuat secara ekonomi dan finansial, agar bisa menghidupi bukan dihidupi.
Para pimpinan dan pengurus persyarikatan bekerja keras tanpa memikirkan imbalan material. Semua dianggap setara yang membedakan adalah prestasi dan prestasi di depan Tuhan adalah takwa. Inilah semangat puritanisme yang digenggam erat.
Kiai Dahlan begitu tegas, agar setiap jamaah persyarikatan itu kaya, produktif, hemat dan bekerja keras agar bisa menghidupi tidak menjadi beban di persyarikatan apalagi terus merepotkan.
Di persyarikatan, semua bekerja tanpa memikirkan imbalan material. Samangat puritanisme sangat kental sebagai ruh yang mewarnai setiap aktivitas pemikiran dan aktivitas pergerakan.
Muhammadiyah bukan saja gerakan pemikiran tapi juga gerakan amal. Ini yang membedakannya dengan HTI, Salafi, FPI atau gerakan tarbiyah lainnya yang lebih mengedepankan pemikiran konseptual ketimbang amal.Muhammadiyah menjaga harmoni keduanya, pemikiran dan amal, dalam satu manhaj.
Puritanisme Kiai Dahlan
Max Weber dalam bukunya yang sangat terkenal Die Protestantiesche Ethik und der Geist des Kapitalismus (Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme) menjelaskan, setiap orang sudah ditakdirkan apakah masuk surga atau neraka bergantung hasil pekerjaannya ketika hidup di dunia tanpa mengabaikan imbalan materialnya.
Paham ini kemudian menjadi picu bangkitnya kapitalisme Eropa. Gerakan puritanisme yang digagas Martin Luther King dan Yohanes Calvin juga berpengaruh signifikan terhadap keberagamaan orang Protestan di kemudian hari.
Tak urung Weber meneliti dan menuliskannya dalam sebuah buku menarik tentang etika Protestan yang menjadi embrio lahirnya kapitalisme dan liberalisme di Eropa di penghujung abad tengah.
Sejak mula saya mengira bahwa gerakan puritan selalu punya benang merah dengan gerakan puritan lainnya, meski beda agama dan manhaj. Meski tak pernah ketemu karena kurun yang berbeda, puritanisme Calvinis dan puritanisme Kiai Dahlan mengandung kemiripan dan sebangun dalam pemikiran dan landasan etiknya.
Puritanisme Muhammadiyah juga tidak kalah menarik. Umat Islam menjadi progresif, maju, dan dinamis khas gaya puritan. Bahkan berbeda dengan tempat Islam berasal, yang tetap kaku dan tidak menarik. Islam di Indonesia lebih kenyal dengan kultur dan fleksibel dengan tradisi lokal. Islam terasa makin indah dan komplet.
Makin banyaknya amal usaha bukan tanpa implikasi negatif. Salah satunya adalah lahirnya kelas buruh di persyarikatan dengan berbagai latar pendidikan dan profesi yang bisa saja kehilangan semangat puritan sebab lebih mengedepankan imbalan materialnya.
Kepemimpinan juga mengalami migrasi dari kalangan swasta saudagar kaya dan petani produktif, bermigrasi menuju kalangan birokrat terdidik. Di samping kabar baik juga hal yang bisa menjadi penghambat dinamisasi pergerakan bila tidak melahirkan keseimbangan.
Al-Maun adalah teologi menolong bukan ditolong. Memberi bukan diberi. Sebab itulah orang Muhammadiyah harus berani kaya untuk menghidupi persyarikatan bukan sebaliknya. Kembali kepada kelakar Gus Dur, sebenarnya Muhammadiyah kaya karena pengurusnya kaya-kaya. (*)
Editor Sugeng Purwanto