Kisah AM Fatwa Dilarang Khutbah dan Disiksa ini terungkap di buku Dari Panggung Sejarah Bangsa Belajar dari Tokoh dan Peristiwa karya Lukman Hakiem, yang ditebitkan Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.
PWMU.CO – AM Fatwa dikenal sebagai seorang mubaligh. Dia antara lain aktif dalam Korps Muballigh Indonesia (KMI) yang dipimpin oleh bekas Wakil Perdana Menteri Mr Sjafruddin Prawiranegara.
Sebagai mubaligh, dia dikenal lantang mengeritik kebijakan Orde Baru. Lantaran itu, ceramah-ceramahnya cukup disenangi umat yang diam-diam tidak suka kepada rezim Orde Baru. Tetapi, lantaran itu pula AM Fatwa makin dimusuhi oleh penguasa. Beberapa kali khutbah dan ceramahnya dibatalkan oleh aparat keamanan.
Suatu ketika, Fatwa diminta menjadi imam dan khatib pada shalat Idul Fitri di Lapangan Oerip Soemohardjo, Jatinegara, Jakarta Timur. Pada detik-detik terakhir, Pelaksana Khusus Daerah Jakarta Raya (Laksusda Jaya) melarang Fatwa tampil. Posisinya digantikan oleh KH Kosim Nurzeha, sahabat karib Fatwa di Pelajar Islam Indonesia (PII).
Selesai Kosim Nurzeha mengimami shalat Idul Fitri, tiba-tiba dari arah belakang terdengar lantang suara seseorang memulai khutbah. Spontan jamaah membalik, dan di atas sebuah truk sampah—yang diparkir tidak jauh dari tempat shalat—Fatwa berdiri dengan penuh percaya diri menyampaikan khutbah.
Rekayasa aparat keamanan, gagal. Agaknya lantaran itu. aparat keamanan mulai tidak sabar dan melakukan kekerasan fisik terhadap AM Fatwa.
Disiksa Aparat
Bendahara Umum Pengurus Besar HMI (1983-1986), Hardi Kusnan, salah seorang saksi hidup keberutalan tentara terhadap AM Fatwa memberikan kesaksian.
Suatu saat, AM Fatwa diminta menjadi imam dan khatib di Masjid Al-Bayyinah, Setiabudi. Lagi-lagi Laksusda Jaya melarang AM Fatwa tampil. Kali ini Fatwa mengalah. Bersama panitia yang dipimpin oleh H Mawin, disepakati Ustadz Syuhada Bahri dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia menggantikan posisi AM Fatwa sebagai imam dan khatib. Fatwa sendiri kemudian shalat Idul Adha di Masjid Cut Mutiah.
Selesai shalat—ditemani Sekretaris Pribadi Jenderal TNI (Purn) AH Nasution, Bakri A.G. Tianlean—AM Fatwa datang ke Masjid Al-Bayyinah untuk bersilaturahmi dan meminta maaf kepada jamaah karena tidak bisa memenuhi permintaan panitia untuk berkhutbah di masjid tersebut.
Selesai silaturahmi dengan jamaah, bersama H. Mawin dan Hardi Kusna, AM Fatwa berjalan menuju rumah ketua panitia. Di tengah jalan ketiga orang itu dicegat tentara. AM Fatwa ditarik-tarik dan dipukuli.
Spontan Hardi dan Mawin bertindak melindungi AM Fatwa yang juga melakukan perlawanan. Perlawanan ketiganya terhenti ketika tentara-tentara yang melakukan pencegatan itu mengeluarkan pistol dan menodongkannya kepada mereka.
Akhirnya AM Fatwa dan Mawin oleh para pencegat itu dimasukkan mobil, dan dibawa entah ke mana. Hardi kembali ke masjid untuk mengabarkan peristiwa pencegatan dan penculikan itu.
Bakri Tianlean melaporkan peristiwa itu kepada Jenderal Nasution. Sesudah maghrib, Hardi diminta datang ke rumah H. Mawin. Hardi terkejut bukan alang kepalang melihat wajah dan sekujur tubuh Mawin lebam membiru.
Kepada Hardi, Mawin bercerita, dia dan AM Fatwa dibawa ke markas Komando Rayon Militer (Koramil) Setiabudi. Di sana, Mawin dan AM Fatwa disiksa: dipukul dan ditendang dengan sepatu laras.
“Kami berdua seperti bola, ditendang sana ditendang sini,” cerita Mawin. Ketika ditanya keberadaan AM Fatwa, Mawin cuma mengangkat bahu, “Ane kagak tau.”
Keesokan harinya, dari Bakri Tianlean, Hardi mendapat kabar, AM Fatwa dirawat di Rumah Sakit Islam Cempaka Putih. Bergegas Hardi ke rumar sakit, dan melihat kondisi AM Fatwa yang jauh lebih parah dibanding H. Mawin.
Ini Sosok dan Kiprah AM Fatwa
AM Fatwa. Begitu sapaan aktivis yang punya nama lengkap Andi Mappetahang Fatwa. Fatwa lahir di Bone, Sulawesi Selatan, 12 Februari 1939. Gelar Andi menandakan dia berasal dari keluarga bangsawan.
AM Fatwa sejak muda telah menjadi aktivis Pelajar Islam Indones (PII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan Muhammadiyah. Dia pernah kuliah IAIN Syarif Hidayatullah dan Universitas Ibnu Khaldun Jakarta. Di samping Akademi Angkatan Laut tahun 1960.
Di masa Order Baru, nama AM Fatwa sangat populer karena berbagai aktivitas ‘politik’-nya. Beberapa kali dia masuk penjara. Pemerintah Orde Baru kali pertama menjebloskan dia ke tahanan selama 6 bulan. Perisiwa itu terjadi pada tahun 1963. Rezim menudingnya terlibat insiden di IAIN.
Pada tahun 1970 AM Fatwa menandatangani Petisi 50 sebagai bentuk protes terhadap Presiden Soeharto bersama Ali Sadikin, Hoegeng Imam Santoso, Burhanuddin Harahap, Mohammad Natsir, dan lain-lain. Oleh rezim tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya mendapat tekanan dan pembatasan. Termasuk dicekal ke luar negeri.
Pada tahun 1977, dia masuk penjara lagi selama 9 bulan karena dianggap meresahkan. Pada tahun 1984 dia divonis 18 tahun penjara. Rezim Orde Baru menuding AM Fatwa melakukan tindakan subversif terkait Lembaran Putih Tanjung Priok dan ceramah-ceramah politiknya.
Tahun 1993, AM Fatwa dibebaskan secara bersyarat dari penjara. Setelah bebas, ia justru diangkat sebagai Staf Khusus Menteri Agama RI pada era Tarmizi Taher dan Quraish Shihab atas izin Presiden Soeharto.
AM Fatwa sebenarnya pernah menjadi pegawai pemerintah. Pada tahun 1970 dia diangkat sebagai Staf Khusus Agama dan Politik Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin.
Tapi tahun 1979 dia dipecat secara tidak hormat dari statusnya sebagai pegawai pemerintah DKI Jakarta. Penguasa menuduh AM Fatwa melanggar sumpah jabatan dan menghasut masyarakat untuk membenci pemerintah.
AM Fatwa juga pernah dinas di KKO TNI Angkatan Laut tahun 1960-1970 dengan pangkatnya Kapten.
Politikus PAN
Setelah Era Reformasi, AM Fatwa terjun di dunia politik. Dia ikut mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN). Dari partai ini, AM Fatwa berhasil melenggang ke Senayan menjadi Anggota DPR/MPR RI masa jabatan 1 Oktober 1999–30 September 2004. Bahkan dia sempat menjabat sebagai Wakil Ketua DPR. Saat itu Ketua DPR adalah Akbar Tanjung.
Pada Pemilu 2004, AM Fatwa terpilih sebagai Wakil Ketua MPR mas ajabatan 1 Oktober 2004–30 September 2009. Saat itu Ketua MPR-nya Hidayat Nur Wahid.
Pada tahun 2009, AM Fatwa terpilih menjadi Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI masa jabatan 1 Oktober 2009–30 September 2014. Dia maju sebagai calon perorangan dari Dapil DKI Jakarta.
Pada tahun 9 Oktober 2014–11 Oktober 2016 AM Fatwa menjadi Ketua Badan Kehrmatan DPD. Saat itu Ketua DPD adalah Ieman Gusman.
AM Fatwa wafat tanggal 14 Desember 2017 di Rumah Sakit MMC Jakarta Selatan, karena penyakit kanker hati. Ia wafat dalam usia 78. Istrinya adalah Noenoeng Noerdjanah. Anak-anaknya: Dian Islamiatim Diah Sakinah, Ikar Fatahillah, Rijalulhaq, dan M. Averus. (*)
Kisah AM Fatwa Dilarang Khutbah dan Disiksa; Editor Mohammad Nurfatoni