Masjid Sholihin, Jejak Islamisasi di Pantai Kenjeran oleh Tri Eko Sulistiowati, kontributor Surabaya. Tulisan ini Juara Harapan I Lomba Penulisan Feature 5 Tahun Milad PWMU.CO.
PWMU.CO-Zaman dulu pesisir Pantai Kenjeran menjadi persinggahan musafir dari berbagai penjuru dari jalur laut. Musafir itu menggunakan perahu atau kapal sejak berabad-abad lamanya. Persinggahan itu akhirnya membentuk kampung nelayan Sukolilo di Kec. Bulak Kota Surabaya.
Kehadiran para musafir ini telah menjadi jejak cerita lisan yang dituturkan turun temurun ke warga. Bukti peninggalan sejarah kuno kampung ini masih terawat. Salah satunya adalah Masjid Sholihin. Terletak di Sukolilo VI/16 RT 04 RW 02. Masjid ini sekarang dikelola Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Sukolilo.
Menurut cerita tutur, konon masjid ini dibangun oleh murid Sunan Ampel Raden Rahmat bernama KH Syafiidin pada abad XVI. Dulu masjid ini berdinding kayu. Kini telah berubah menjadi megah setelah direnovasi. Cungkup melati yang terpasang di puncak atap masih barang asli warisan pendirinya.
Ketua PCM Bulak Drs H. Luqmanto menceritakan, ketika dia masih SMP, sekitar tahun 1983 ada tamu dari jamaah Cirebon, Jawa Barat, mampir ke Masjid Sholihin dalam kunjungan ziarah wali sanga. ”Di Surabaya ketika ziarah ke Sunan Ampel menyempatkan datang ke masjid ini,” katanya.
Kata orang tua-tua, sambung Luqmanto, Kiai Syafiidin mengajar kajian Tafsir Quran bakda Magrib, kajian Ilmu Falaq bakda Subuh. Tiap habis Duhur kajian Ilmu Musthalah Hadis. Setelah Ashar hingga jelang Maghrib dibuka pengajian Hadis Arba’in.
Setelah Kiai Syafiidin wafat, pengajian ini dilanjutkan santrinya hingga membina masyarakat Sukolilo menjadi islami dengan pemahaman tauhid dan sunah Nabi saw. Budaya animisme dan dinamisme berangsur pudar. Seperti larung laut dengan menghanyutkan sesajen untuk tolak balak. Kalau ada warga bermimpi buruk maka membuang sesajen berupa bumbu dapur lengkap ke laut agar mimpi itu tak menjadi kenyataan.
Masuknya Muhammadiyah
Ketika dakwah Muhammadiyah masuk ke Surabaya sekitar tahun 1921 dengan terbentuknya Cabang Muhammadiyah oleh KH Mas Mansur, orang-orang Sukolilo mudah menerima paham keagamaan ini karena selaras dengan ajaran Islam yang turun temurun diterima dari Kiai Syafiidin.
Masjid Sholihin pun menjadi pusat dakwah Muhammadiyah di daerah pesisir timur Surabaya. Menurut data yang terekam, tahun 1936, Sukarmin bersama jamaah masjid merintis pembentukan takmir masjid dan Muhammadiyah ranting Sukolilo. Kemudian secara bertahap pada tahun berikutnya membentuk Aisyiyah, Nasyiatul Aisyiyah dan Pemuda Muhammadiyah.
Berdasar jejak sejarah yang terekam dari cerita lisan antara tahun 1936-1945 takmir masjid dipegang oleh Abu Bakar. Kemudian dilanjutkan oleh Maksum tahun1945-1965 dan Abdur Rozaq tahun 1965-1985. Selain menyusun takmir, juga mendirikan Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Sukolilo.
Tahun 1990 menjadi sejarah baru ketakmiran diamanahkan kepada Muhammad Yunus selama tiga periode. Yaitu periode tahun 1990-2005.
Setelah itu dipegang Ahmad Sanusi periode tahun 2005-2010 dan H. Ahmad Nadhir mulai menjadi takmir masjid tahun 2010-2015. Lalu kepemimpinan takmir berikutnya dipegang Masfuh sejak 2015 hingga saat ini.
Renovasi Masjid
Masjid Sholihin awalnya dibangun dari kayu. Beberapa kali dipugar untuk mempertahankan bangunannya. Pada akhirnya kayu-kayu itu pun lapuk seiring usia tuanya. Renovasi dilakukan empat kali. Pertama di zaman Ketua PRM Maksum antara tahun 1955-1965.
Renovasi kedua di masa Ketua PRM Amin Thohari tahun 1975-1985 dengan donatur utama H. Abdullah, tokoh masyarakat dan orang kaya kampung nelayan Sukolilo.
Waktu Ketua PRM dipegang Muchammad Yunus pada tahun 1985-1990, merenovasi Masjid Sholihin menambah bangunan sebelah utara. Dana dari infak jamaah dan uang kas masjid. Renovasi keempat dkerjakan periode Ketua PRM Zainul Arifin tahun 2000-2004. Ini renovasi total dengan bangunan dua lantai untuk menampung jamaah yang kian banyak.
Menurut Luqmanto, renovasi total ini dilakukan karena sindiran almarhum Ustadz Amin Jamal saat mengisi pengajian Ahad Pagi bersama PCM Kenjeran di Masjid Sholihin.
”Di sela pengajian Ustadz Amin Jamal menyindir takmir dan PRM Sukolilo serta jamaah, bahwa masjid ini kurang layak untuk shalat berjamaah dibandingkan rumah para jamaah yang lebih bagus dari masjidnya,” ceritanya.
Setelah pengajian, sambung dia, PCM dan PRM langsung rapat membahas renovasi total. Maka dibentuklah Panitia Pembangunan Masjid Sholihin. H. Luqmanto sebagai ketua, H. Moch. Huderi sebagai wakil ketua, Nur Wachid sebagai sekretaris, dan Muhammad Wujud sebagai bendahara.
Sumur Tua
Masjid Sholihin menyimpan peninggalan sejarah yang dipelihara hingga kini. Pertama, sumur yang digali sejak awal berdiri masjid. Air sumur ini tawar dipakai untuk wudhu dan kebutuhan warga untuk mandi, cuci, dan masak.
Airnya tidak pernah habis walaupun diambil setiap hari oleh warga sebelum ada saluran air PDAM masuk ke kampung nelayan. ”Airnya sampai sekarang rasanya seperti air zamzam. Pernah dibawa ke laboratorium kandungan pH sama dengan air zamzam yaitu 7,9-8,0.
Karena itu air ini dipercaya sebagian orang bisa menyembuhkan penyakit mata dan tulang yang terasa linu-linu adapun tempatnya berada di ruangan utama masjid.
Al-Quran Tulisan Tangan
Dua mushaf kitab suci al-Quran tulisan tangan disimpan dalam Masjid Sholihin. Disimpan dalam kotak kaca agar aman dari jamahan tangan. Kertasnya tebal sudah tampak lusuh. Khat ditulis dengan tinta hitam dan merah. Tulisan khatnya sangat bagus. Pinggiran kertasnya sudah ada yang gripis. Saat ini kalau kertasnya dipegang bisa rontok.
Makam KH Syafiidin
Makam tua bernisan hijau dikelilingi pagar teralis hijau berada di pemakaman umum Sukolilo Kecamatan Bulak Kota Surabaya. Nisan batu hijau ada tulisan Mbah Syafiidin. Dulu nisan itu berupa kayu tebal berukir. Karena sudah lapuk diganti nisan batu.
Makam ini terawat dan bersih. Letaknya agak jauh dari pintu masuk. Namun mudah dikenali karena warna pagar besinya hijau mencolok mata.
Menurut Ketua PRM Sukolilo H. Muhammad Huderi, hingga saat ini warga Sukolilo belum bisa menemukan sejarah otentik sosok sebenarnya KH Syafiidin yang meninggalkan jejak islamisasi di pantai Kenjeran. ”Beliau telah meninggalkan kebajikan-kebajikan dan bukti sejarah di kampung ini,” tuturnya. (*)
Editor Sugeng Purwanto