Influencer Hoaks, Bencana bagi Generasi Milenial oleh Wongso Adi Saputra, Mahasiswa Program Doktor Linguistik Universitas EötvosLörand Budapest, Hungaria.
PWMU.CO– Influencer, istilah yang sangat populer zaman internet kini. Artinya, orang yang memberi pengaruh. Makna lebih luas dapat diartikan sebagai orang yang bisa mengubah cara berpikir maupun cara bertindak orang lain. Bisa mengubah pikiran praktik ekonomis atau ideologis.
Pengaruh mereka lewat media sosial dengan ribuan hingga jutaan follower yang menonton konten terpasang di Instagram, Youtube, Twitter, FB.
Berdasarkan data Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) selama wabah Covid-19 tahun 2020 terjadi lonjakan penggunaan media sosial terutama Instagram. Angkanya mencapai 51 persen.
Jumlah pengguna yang sangat besar, Instagram, Twitter, FB dan medsos lainnya memiliki pengaruh cukup besar bagi penggunanya terutama generasi milenial.
Runyamnya tidak semua influencer mempunyai konten yang baik dan mendidik. Ada yang berisi hasutan, hoaks, atau mempertontonkan gaya hidup hedonis, instan, dan pragmatis. Kelompok buruk ini biasa disebut buzzer. Pendengung keburukan. Influencer hoaks inilah yang berbahaya.
Konten buruk itu dapat berpengaruh negatif terhadap pola pikir dan tindakan generasi muda milenial. Seperti disebut dalam teori sociolinguistics, setiap kata atau ucapan dapat menarik perhatian penerimanya (intention).
Tak jarang para intention ini menelan apa saja konten yang ditampilkan. Bahkan konten dari idola buzzernya itu dianggap sesuatu yang keren dan sah-sah saja dijadikan contoh. Lantas menyebarkan konten sehingga viral di jagat medsos.
Itulah yang terjadi di medsos lantas terbentuk kelompok yang satu aspirasi memperjuangkan sesuatu. Kelompok ini pun perang kata, hujatan, kebencian yang tak mau kalah. Saling merasa benar.
Selebgram
Melihat kontennya sebenarnya tak layak semuanya disebut influencer. Apalagi kontens yang hanya berisi narsis, pamer gaya hidup, belanja seperti para artis. Lebih pas kelompok ini disebut selebritas Instagram atau Selebgram.
Selebgram yang pamer gaya hidup bahkan tayang di televisi dengan durasi cukup panjang sebenarnya tak ada manfaatnya bagi penonton. Tapi artis biasanya menjadi role model bagi followernya. Tayangan kehidupan sehari-hari, atau belanja kadang membuat follower histeris melihatnya. Inilah keanehan perilaku para fans berat.
Karena itu di era serba digital seperti ini kita bisa saling mengingatkan. Sikap paling baik dan selalu dianjurkan adalah pengguna internet harus bijak dalam menyaring informasi yang diperoleh. (*)
Editor Sugeng Purwanto