Pelajaran dari Wingko Idaman, oleh Jamaluddin,
dokter tinggal di Kamal, Bangkalan, Madura.
PWMU.CO – Saat itu baru saja saya lulus sebagai dokter. Pada awal 1990, saya lalu ikut acara LKMI (Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam) HMI Cabang Surabaya. Lembaga itu sedang punya program bakti sosial (baksos) di Kedungpring Babat Lamongan.
Di antara acara baksos itu adalah memberikan layanan khitanan massal. Saya senang dengan program ini. Gembira, saya dapat berpartisipasi dalam acara pengabdian masyarakat ini. Terlebih lagi, bagi saya, ini yang kali pertama setelah lulus sebagai dokter.
Lancar Jaya
Acara berlangsung sehari. Dimulai pukul 08.00 dengan sedikit seremonial berupa acara pembukaan. Setelah itu, kami langsung berinteraksi dengan masyarakat terutama dengan para orangtua dari anak-anak yang akan dikhitan.
Semua ada sekitar 30 anak-anak. Usianya, antara 4-12 tahun. Masa-masa itu cukup ideal, yaitu sebelum mereka baligh.
Alhamdulillah, sekitar pukul 14.00, pelaksanaan khitan yang diikerjakan oleh empat tim dokter dan perawat itu selesai. Secara umum berlangsung lancar. Memang, sesekali diselingi “hiburan” berupa tangis anak yang tidak bisa menahan sakit. Juga, ada pula yang menangis hanya karena takut saja.
Saling Lirik
Usai acara, alhamdulillah, kami dijamu santap siang menjelang sore oleh “panitia”. Tempatnya, di rumah salah seorang warga setempat.
Saat jamuan hampir selesai, tuan rumah mengeluarkan bingkisan berupa wingko Babat, makanan khas yang terkenal enak itu. Wingkonya, ukuran besar. Tampaknya, oleh tuan rumah dirancang bahwa setiap anggota tim baksos masing-masing akan mendapat satu.
Wingko-wingko itu ditaruh begitu saja di depan kami. Kami tak tahu berapa jumlahnya.
Tak lama kemudian, rekan saya yaitu Dokter Lutfi Nurzaman—Allahuyarham (wafat di masa pandemi Covid-19) mencolek saya. Dia meminta saya untuk segera berinisiatif mengambil jatah oleh-oleh wingko Babat itu.
Sahabat saya, Lutfi, bersikap demikian karena khawatir tidak kebagian. Saya sendiri canggung untuk “beraksi”, sebab posisi wingko agak jauh dari jangkauan tangan. Masa harus ngotot demi mendapatkan wingko itu sebagai oleh-oleh untuk keluarga di rumah. Nanti, bukankah akan juga dapat, demikian kata saya dalam hati.
Sambil berpikir seperti itu, saya lirik Lutfi. “Dia sendiri, kok tak mau berinisiatif mengambilnya? Malah, saya yang diprovokasi untuk mengambil mendahului teman-teman yang lain,” demikian batin saya.
Sebenarnya, kekhawatiran Lutfi tak mendapat bagian wingko cukup beralasan. Hal itu karena terlihat wingko yang tersedia jumlahnya pas-pasan, jika dibanding dengan jumlah yang hadir.
Rupanya, pikiran yang sama juga ada pada teman-teman yang lain. “Jangan-jangan, nanti tidak kebagian! Ayo ambil, ambil, nanti tidak kebagian lho,” demikian kira-kira jika diterjemahkan dari rata-rata bahasa tubuh kawan-kawan. Atas hal itu, kami saling pandang dan tersenyum.
Saya yang sungkan bilang, bergumam dalam hati: “Tak usah-lah berebut, malu. Nanti, kalau memang rezekinya akan dapat juga, insyaallah. Kalau sudah rezeki kita, tidak akan ke mana-mana”. Terus terang, itu usaha saya dalam meyakinkan diri untuk sabar dan tawakkal. Sabar dan tawakal, kecil-kecilan.
Tak Dinyana
Alkisah, ternyata ketika pada akhirnya wingko-wingko itu dibagi, saya dan Lutfi tidak mendapatkannya. Jumlah wingko itu, memang kurang.
Mendapati kenyataan itu, dengan sedikit kecewa Lutfi bilang, “Nah, tidak kebagian kan? Kamu sih tidak mau ambil duluan. Usaha itu diperlukan.”
Apapun, kami berusaha menyembunyikan rasa kecewa lantaran tak dapat rezeki wingko itu. Kami berupaya biasa-biasa saja, meski teman-teman satu rombongan semua membawa oleh-oleh ke Surabaya.
“Ya Allah, ya sudah-lah, harus bagaimana lagi. Rezekinya diatur begini, ya sudah, pasrah sajalah,” demikian gejolak dalam hati kami.
Betapapun sudah berusaha menekan perasaan, tapi dalam hati juga tetap berharap-harap barangkali masih ada persediaan wingko di dalam rumah. Barangkali, masih ada rezeki untuk kami berdua.
“Ya, sudahlah. Kalau nanti ada rezeki, mudah-mudahan kami dapat juga. Kalaupun tetap tidak dapat, ya sudahlah. Yuk, kita tawakal,” batin saya menghibur diri.
Hal yang tak terduga kemudian terjadi. Ketika kami berpamitan pulang, si tuan rumah melihat kami-saya dan Lutfi-tidak membawa bingkisan wingko sebagaimana anggota rombongan lainnya.
“Mana wingko Pak Dokter,” tanya si tuan rumah kepada saya dan Lutfi.
“Belum dapat,” kata saya polos.
Lalu, dengan sigap si tuan rumah masuk ke bagian dalam rumah. Sekejap kemudian, dibawakanlah untuk kami masing-masing satu paket wingko (kemasannya, satu paket/kotak berisi dua wingko).
Alhamdulillah, jadinya, kami berdua mendapat masing-masing dua buah wingko. Ukurannya besar, sama dengan yang didapat oleh teman-teman sebelumnya. Hanya saja mereka mendapat satu, sementara saya dan Lutfi mendapat dua wingko.
“Nah, inilah, kalau kita tawakal malah dapat lebih. Dalam hal ini, kita dapat dua kalinya,” kata saya kepada Lutfi.
“Oleh karena itu, kalau kita tawakkal insyaallah akan mendapat lebih. Buktinya, ini. Coba misalnya tadi kita aktif “berebut”, pasti dapat hanya satu,” demikian tambahan catatan saya kepada Lutfi.
Atas penjelasan saya itu, Lutfi mengangguk-angguk, tanda sepakat. Lutfi mengamini pendapat saya.
Berkah Lain
Kisah berlanjut. Dari Kedungpring Babat Lamongan, saya tak langsung pulang ke Surabaya. Senyampang ada waktu, saya sempatkan untuk ke Bojonegoro, silaturahmi dengan “misi khusus” pendekatan ke calon mertua. Di agenda ini, sahabat saya Lutfi, allahuyarham, dengan setia mendampingi saya.
Di sinilah berkah lanjutan saya rasakan. Paket wingko Babat isi dua yang saya dapatkan sungguh mendatangkan manfaat yang tak terduga. Apa pasal? Wingko itu, dalam pikiran saya, cukup pantas untuk dijadikan oleh-oleh bagi keluarga calon istri. Di keluarga tersebut, saat itu ada dua putri kecil-kecil. Rasanya, kedua calon keponakan yang masih balita waktu itu akan sangat senang.
Sekali lagi, ini benar-benar berkah. Kalau misalnya saya dapat bagian oleh-oleh wingko pada kesempatan pertama, saya hanya dapat satu wingko. Tapi, seperti yang telah dikisahkan di atas, saya malah dapat “paket khusus” berisi dua wingko. Paket itu, lumayan istimewa untuk calon mertua dan calon keponakan. Alhamdulillah!
Sungguh, yang dinamakan rezeki yang sebenarnya itu adalah yang diberikan Allah dan bukan yang kita minta. Bukan yang kita rencanakan.
Allah sudah menakar rezeki untuk kita, tanpa diminta. Takaran itu, pasti pas. Wallahu a’lam. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni