PWMU.CO – Perang Asimetris Palestina Versus Israel digambarkan pada Pengajian Nasional Gerakan Solidaritas Palestina dan Politik Timur Tengah bertema Gerakan Solidaritas Palestina dan Politik Timur Tengah, Jumat (21/5/2021) malam.
Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) Hajriyanto Y Thohari menyampaikannya pada kegiatan virtual yang Lazismu Pimpinan Pusat Muhammadiyah selenggarakan.
Politik Siasat
Hajri mengatakan, politik Timur Tengah memang tidak sederhana, tapi lebih kompleks. Sebab, politik di sana bercampur dengan siasat atau muslihat.
Dubes itu mengungkap, orang Arab menerjemahkan kata politic dalam bahasa Inggris menjadi سياسي (asshiyaasah). Ketika diterjemahkan ke bahasa Indonesia, di KBBI, ada ‘siasat’. “Ada unsur licik, tipu muslihat!” ungkapnya.
Kalau kita, lanjutnya, bangsa Indonesia, tidak punya terjemahan kata politik. Bahasa Indonesianya politic tetap ‘politik’.
Seperti kata enemy dan opponent, tambahnya, dalam bahasa Indonesia tidak ada artinya. Beda dengan lawan atau musuh. Jadi political enemy (musuh politik) diartikan sama dengan political opponent (lawan politik).
Perang Asimetris
Hajri menyatakan sepakat dengan apa yang Prof Sudarnoto Abdul Hakim katakan: yang terjadi di Palestina itu bukan konflik antara Israel dan Palestina. Biasanya, orang menggunakan istilah konflik, bahkan perang.
“Padahal bukan! Kalau perang, yang terjadi itu perang asimetris,” ungkapnya.
Sebab, Hajri menjelaskan, negara yang satu (Israel) lengkap dengan organisasi angkatan perangnya sedangkan negara satunya (Palestina) tidak.
Negara Israel punya tentara, meski mereka menyebut tentaranya dengan pasukan bela diri. Sehingga, kalau menyerang itu juga katanya sebagai pembelaan diri.
Maka, setelah beberapa hari menyerang Gaza, Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengatakan, Israel berhak membela diri. Inilah yang menurut Hajri termasuk kemenangan wacana, di mana kekuasaan memproduk informasi atau pengetahuan.
“Saking pintarnya, menyerang dibilang membela diri,” ucapnya.
Gaza Tak Punya Angkatan Bersenjata
Sementara itu, Hajri mengungkap di negara Palestina belum ada, bahkan tidak boleh punya senjata dan tentara. Di sana hanya boleh punya polisi. Itu pun, senjatanya bukan senjata api, tapi pentungan.
Jadi, Hajri menyimpulkan, Gaza tidak punya angkatan bersenjata. “Bisa membuat roket dan sebagainya itu dia membuat sendiri, (meski juga) ada yang di sekolahkan,” kata dia.
Pasalnya, orang-orang tidak bisa mengirim senjata ke Palestina. Dia bercerita, tadi pagi membaca di kolom obrolan, “Palestina tidak butuh bantuan finansial sembako, kirim saja senjata!”
Melihat komentar ini, Hajri mempertanyakan, “Mengirimnya lewat mana? Tidak bisa! Karena semua dipagari.”
Penjagaan Ketat Israel di Perbatasan
Untuk perbatasan dengan Lebanon, imbuhnya, ada tembok cor baja setinggi lebih dari 7 meter yang memagari. Di atas dindingnya ada kawat yang kadang dialiri listrik.
Selain itu, di Suriah, Israel sudah merebut dataran tinggi Golan tahun 1967. Sehingga, tidak bisa masuk ke Palestina lewat Golan yang sudah Israel kuasai. Begitu pula jika dari Mesir, di perbatasan Rafah. Tentara Israel juga berjaga di sana.
Apalagi jika masuk ke Palestina dari Yordania. Hajri menggambarkan aparat keamanan di sana luar biasa ketat. Ada beberapa pintu imigrasi. “Jadi tidak bisa (mengirim senjata), mereka buat sendiri ala kadarnya. Itupun juga dipatroli setiap hari,” jelasnya.
Dia menerangkan, karena ada tembok ber-CCTV yang mengelilingi semua perbatasannya, maka orang luar Yerusalem jika mau masuk tidak bisa. Selain itu, walaupun telah masuk di dalam kota, jika mau masuk ke masjid, semua pintu masuk ke pekarangan Masjid al-Aqsa juga dijaga tentara dan polisi Israel.
Hajri menekankan, “Tidak semua orang yang mau datang bisa masuk!”
Hajri kembali menegaskan, inilah perang asimetris, bukan konflik. “Ini penjajahan dan apartheid, istilah Joseph Massad, Kristen asal Palestina yang jadi doktor di Universitas Colombia,” ujarnya.
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni