PWMU.CO – Mungkinkah Indonesia Bernasib seperti Palestina, Dikuasai Pendatang? Adalah pertanyaan yang mencuat dalam Pengajian dan Syawalan Konsolidasi Organisasi Pimpinan Muhammadiyah/Aisyiyah se-Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (27/5/21) malam.
Menjelang akhir acara malam itu, kawan Hajriyanto Y Thohari yang sudah lama tidak bertemu mengangkat tangan (virtual) dan mengajukan dua pertanyaan.
Secara langsung, Shaleh Tjan menyatakan, “Indonesia punya kekuatan luar biasa karena mayoritas Muslim. Kemudian militansi rakyatnya sangat tinggi terkait konflik yang terjadi. Kedua, Indonesia punya hubungan historis terkait hubungan Palestina pada saat kemerdekaan pertama kali.”
Terkait konflik yang terjadi saat ini, lanjutnya, yang diikuti lewat media massa, sikap pemerintah tidak berubah. Selalu mendukung Palestina. Tapi sikapnya sebatas melakukan kutukan atas tindakan yang Israel lakukan, kemudian mendesak Dewan Keamanan PBB atas pelanggaran HAM.
Lantas, dia bertanya, “Sejauh mana pengaruh pemerintah Indonesia dalam melakukan diplomasi untuk mewujudkan Palestina yang merdeka?”
Kedua, tambahnya, secara historis, sesungguhnya Israel tidak punya wilayah. Tapi kemudian, mereka—masyarakat urban—yang datang ke sana pada akhirnya mencaplok hampir seluruh wilayah Palestina.
Pertanyaan keduanya, “Apakah tidak menutup kemungkinan dengan masuknya Cina yang begitu luar biasa, akan terjadi hal yang sama sekian puluh tahun ke depan? Bagian-bagian Indonesia akan menjadi bagian Cina?”
Kemudian dia menegaskan, itu hanya kekhawatirannya saja.
Potensi Besar Muslim Indonesia
Pertama, Hajri membenarkan Indonesia sangat berpotensi dihormati. Mengingat, Indonesia oleh negara-negara Barat dan Amerika, dipandang lebih dari negara-negara Arab.
Artinya, sambungnya, Indonesia punya potensi yang sangat besar. Islam di Indonesia dianggap memiliki watak yang berbeda dengan Islam di Timur Tengah atau dunia Arab. Negara-negara Barat sangat menghormati Indonesia.
“Saya selaku Dubes RI di Beirut sangat sering diundang oleh komandan-komandan pasukan perdamaian dari negara-negara Eropa di markasnya,” ucapnya.
Dia mengaku mendapat undangan di berbagai acara, bahkan acara yang sangat internal. “Saya diundang oleh Spanyol, Italia, dan sebagainya. Itu tidak ada Dubes lainnya (yang diundang),” kata dia.
Inilah, menurutnya, kesempatan bagi Indonesia untuk tampil lebih tangguh. Ketika itu bisa menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, juga ketika menjadi ketua selama 1 tahun, menjadikan Palestina sebagai isu utama.
Palestina Jantung Diplomasi
Politik luar negeri Indonesia sekarang mengatakan, jantung politik luar negeri Indonesia itu Palestina. Jantung diplomasi itu Palestina. Memang concern sekali.
Meskipun ketika Amerika membuat berbagai proposal perdamaian, itu juga belum melibatkan Indonesia. Padahal, mungkin kalau melibatkan Indonesia, akan berbeda hasilnya.
Indonesia juga tidak pernah menimbulkan kecurigaan. Saat membantu masyarakat di dunia Arab, Palestina misal, juga tidak dicurigai. Banyak LSM Indonesia yang membantu pengungsi Palestina.
Tidak dipertanyakan pula LSM Indonesia yang mendirikan sekolah di Beirut untuk pengungsi Palestina. Padahal yang lain-lain tidak mudah melakukannya. Karena dipercaya tidak ada agenda campur tangan politik.
Diplomasi itu, dimensinya juga banyak. Lantas Hajri berpesan, “Percayalah bahwa diplomasi Indonesia memang menjadikan isu Palestina sebagai jantungnya dan itu memerlukan waktu,” tuturnya.
“Saya rasa Menlu sangat aktif dan mewakili aspirasi hati nurani umat Islam Indonesia dan elemen-elemen bangsa lain yang memberikan dukungan kepada Palestina,” sambungnya.
Kemungkinan Pendudukan Cina seperti Israel
Hajri berpendapat, mengenai kemungkinan seperti itu, sejarah umat manusia di dunia ini menunjukkan hal itu. Bisa saja terjadi menurutnya.
“Kita tahu hampir 800 tahun orang-orang Arab Islam berkuasa di Spanyol, Andalusia,” ucapnya.
Kalau diperhatikan, Islam mulai menjadi mayoritas di Indonesia pasca-Majapahit. Yaitu baru sekitar 500 tahun, karena Majapahit runtuh pada tahun 1480. Sirna ilang kertaning bumi (lenyapnya kemakmuran dunia) menunjukkan waktu runtuhnya Majapahit pada Tahun Saka 1400.
“Sirna ‘kosong’, ilang ‘kosong’, kertaning ‘empat’, bumi ‘satu’; kalau dibalik jadi 1400,” ungkapnya.
Melihat Islam ‘baru’ menjadi mayoritas di Indonesia selama 500 tahun, sedangkan kekuasaan Islam di Andalusia yang mencapai hampir 800 tahun saja bisa runtuh, maka menurut Hajri ada kemungkinan itu terjadi.
“Bukan hanya etnis, bangsanya hilang berganti dengan bangsa yang lain. Apalagi cuma agamanya, bisa berganti seperti di Spanyol, Cyprus,” tuturnya.
Perjalanan Sejarah Bisa Berganti
Dia menegaskan, sejarah umat manusia bisa berganti. Sekarang agama Kristen mendominasi Eropa. Di sisi lain, muncul fenomena kosongnya gereja-gereja. Banyak gereja yang dijual kemudian dijadikan masjid. Survei New Institute menunjukkan, tahun 2070 nanti jumlah umat Islam menjadi mayoritas di sana.
Fenomena sebaliknya terjadi. Berbeda dengan dunia Arab, gereja bangkit. Banyak tulisan jurnal mengupas kebangkitan Arab Kristen. Gereja-gereja penuh, ibadah-ibadah banyak.
Dia menerangkan, di Indonesia, bisa juga antusiasme Islam tinggi, tapi nanti pada abad-abad tertentu turun. Maka dari itu, Hajri mengingatkan ada Muhammadiyah untuk berdakwah supaya tidak terjadi seperti itu.
Di Amerika, Hajri mengatakan Islam menjadi nomor dua setelah Kristen. Pahala sebelumnya Yahudi menduduki peringkat kedua. Tapi orang Islam di sana belum sekuat Yahudi, karena saat ini Yahudi masih kuat.
Imbau Pemimpin Optimis Islam Menang
Hajri menyatakan, pertanyaan Shaleh Tjan ‘Apakah bisa orang Cina berkuasa di Indonesia’ berwujud pesimis. Maka dia mengarahkan untuk membalik pertanyaannya hingga terkesan optimis, “Apakah bisa umat Islam yang sekarang ini cuma menguasai porsi kecil perekonomian, ke depan berbalik menjadi yang mayoritas?”
Hajri mencontohkan, misal ada seribu orang terkaya, orang Islamnya cuma ada 16. Pertanyaan optimis selanjutnya, “Abad ke berapa nanti berbalik?”
Dia mengimbau tidak menanyakan kapan umat Islam kalah, melainkan fokus bertanya kapan umat Islam yang menang. “Islam itu kan optimis, Islam memberikan harapan,” tuturnya.
Sebagai pemimpin, lanjutnya, jangan membiasakan membuat pertanyaan-pertanyaan yang pesimis. Coba kita buat pertanyaan-pertanyaan optimis.
“Sekarang Muslim di Cina kurang, bisa saja nanti ke depan mereka banyak Muslim, daratan Cina dulu banyak Muslimnya,” ungkapnya.
Dia menegaskan, artinya, pada masa kekhalifahan Umayah dan Abasiyah pun umat beragama Kristen dibiarkan dengan kebebasan beragama. Umat Islam kalau berkuasa tidak pernah memaksa kebebasan agama untuk dianut.
“Ini menunjukkan perjalanan sejarah manusia bisa berubah-ubah dan sejarah menunjukkan kepada kita seperti itulah yang terjadi, oleh karena itu (mari) kita optimis,” tuturnya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni