Pak Presiden, Kita Ditunggu di Persimpangan Ini oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS dan Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur.
PWMU.CO– Pak Presiden,
Republik ini sedang di persimpangan jalan. Bangkit atau terpuruk seperti Timor Leste atau Samoa, atau sekadar satelit China. Lima belas bulan pandemi ini, ekonomi anjlok. Pengangguran meroket. Sekolah dan kampus kosong.
Rumah sakit besar kolaps menghadapi banjir pasien Covid-19. Dokter dan perawat babak belur. Utang pemerintah dan swasta menggunung. Masjid dan tempat ibadah dikosongkan. Tidak ada lagi senyum terbuka atau jabat tangan. Apalagi pelukan hangat.
Pak Presiden,
Kami mulai bertanya mengapa keterpurukan, kesakitan dan kepedihan ini terjadi pada bangsa yang konon Pancasilais ini justru pada saat Bapak memimpin kami. Bangsa ini mestinya diberkati dan dirahmatiNya. Namun kini tiada hari berlalu tanpa permintaan doa kesembuhan bagi yang sakit, dan ampunan bagi yang wafat kembali padaNya.
Sebagian yang masih mengaku bertuhan bertanya mengapa mencari nafkah makin susah sementara harga-harga makin naik. Mengapa jual beli sembako dipajaki, dan subsidi PLN dicabut. Mengapa tukang bubur didenda lima juta sementara restoran besar didenda 500 ribu dengan tuduhan sama menimbulkan kerumunan.
Mengapa ulama dikriminalisasi, pengawalnya dibunuh dengan brutal, pengkritik ditahan, sementara koruptor bebas melenggang pergi. Mengapa hukum tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas?
Pak Presiden,
Mungkin Tuhan Yang Mahaesa di sila pertama Pancasila itu menjawab : Aku tidak pernah menemukanmu bersama jamaah di masjid saat adzan Subuh memanggilmu. Atau siangnya saat khotib memulai khutbah.
Aku juga tidak menemukanmu di rumah yatim piatu. Tidak di rumah tetanggamu yang miskin, sakit atau lapar. Tidak pula di kelompok shalawatan atau yasinan. Atau di tengah orang yang berpuasa atau bersedekah. Atau di majelis-majelis dzikir dan ta’lim. Kamu tidak ada waktu buatKu. Repot, banyak urusan, celotehmu.
Pak Presiden,
Padahal jika kita berjalan mendekatiNya, Dia berlari menuju kita. Dia berjalan sedepa saat kita berjalan hanya sehasta. Dia lebih dekat dari urat leher kita sendiri. Jika kita melupakanNya maka kita akan melupakan diri kita sendiri. Jika ini terjadi maka kita termasuk orang yang fasik, yaitu pendurhaka dan pengingkar janji yang jauh dari hidayah, rahmat dan ampunanNya.
Pak Presiden,
Di persimpangan jalan ini kita ditunggu. Apakah kita segera berjalan, berlari menghampiriNya atau pura-pura tidak melihatNya di jalan yang lurus. Yaitu jalan yang Dia sediakan bagi orang-orang yang Dia beri nikmat, bukan jalan orang yang Dia murkai, bukan pula jalan yang orang yang sesat.
Marilah, dengan menyebut namaNya, kita nyatakan bahwa di persimpangan ini kita memilih jalanNya, jalan panjang terjal yang telah ditempuh Ibrahim, Musa, Yesus dan Muhammad. JalanNya ini tampak sepi. Tapi itulah jalan yang telah disiapkan para pendiri Republik ini.
Sayang banyak penerusnya memilih jalan yang lain. Saya harap Bapak tidak memilih jalan yang salah itu lagi. Kembalilah segera ke jalanNya. Jangan mengira akan ada perpanjangan waktu. Kalaupun ada, itu hanya bakal menambah panjang daftar kesalahan.
Jatingaleh Semarang, 10/7/20211
Editor Sugeng Purwanto