Koalisi Menguat, Politik Makin Waswas oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS dan Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur.
PWMU.CO– PAN akhirnya bergabung dengan koalisi penguasa. Situasi politik makin waswas. Sinyal melancarkan proses amandemen UUD 2002. Ujung amandemen adalah perpanjangan jabatan presiden. Ini adalah maladministrasi publik dalam skala raksasa: membuat regulasi dan tafsirnya untuk kepentingan incumbent dan oligarki pendukungnya, bukan untuk kepentingan publik. Prinsip-prinsip republik yang diamanahkan dalam Pembukaan UUD 1945 terang-terangan dikhianati.
Beberapa waktu sebelumnya telah muncul wacana Jokowi 3 periode. Sekalipun seperti dulu, Jokowi menampik untuk mengakui keinginannya, tapi ada sekelompok orang yang menamakan diri Jokpro yang mulai mempromosikan Jokowi untuk nyapres lagi sebagai presiden pada Pemilu 2024.
Bahkan kelompok lain yang menamakan diri sebagai Jokowi Mania (Joman) telah menuding bahwa Jokpro adalah kumpulan para Brutus. Publik dibingungkan oleh wacana yang seolah kontradiktif, tapi sebenarnya saling mendukung. What Jokowi said is at best not to be taken at face value. Apa yang dikatakan Jokowi sebaiknya jangan dianggap remeh.
Pilpres masih tiga tahun lagi. Saat warga yang masih waras mempersoalkan presidential threshold 20%, wacana Jokowi 3 periode ini muncul sebagai konfirmasi atas agenda siluman itu. Hambatannya cuma pasal 7 UUD 2002.
Perlu amandemen terbatas untuk membuka peluang bagi jabatan presiden 3 periode atau memperpanjang periode kedua ini. Koalisi baru ini salah satu langkahnya. Sebagian pendukung fanatik Jokowi balas dendam pada pendukung fanatik Soeharto. Pada saat para fanatik sangat percaya diri, para demokrat yang lebih cerdas justru ragu-ragu.
Bagi true leaders, wacana ini jelas menunjukkan krisis kepemimpinan nasional. Seolah tidak ada capres lain selain Jokowi. Krisis itu adalah tanggung jawab Jokowi sendiri yang sebagai pemimpin tertinggi justru gagal melakukan kaderisasi.
Kaderisasi adalah tugas pemimpin sejati. Artinya, sebagai pemimpin tertinggi, Jokowi telah sembrono mengaku semua kredit baginya sendiri sehingga presiden berikutnya tidak bisa selain dirinya.
Jokowi menerjang hukum besi sejarah, lupa adagium Lord Acton: power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely. Presiden adalah jabatan very powerful. Terlalu lama menjabatnya mengundang risiko penyalahgunaan kekuasaan.
Adagium lainnya adalah di sekitar Julius Caesar ada Brutus yang berkepentingan agar sang Kaisar tetap berkuasa sambil mengintai kesempatan untuk menikamnya dari belakang. Apalagi di sekitar Nero yang beberapa kelas di bawah Kaisar. Kali ini bukan assasination tapi sikap ABS (Asal Bapak Senang).
Prinsip republik yang diamanatkan Pembukaan UUD 1945 sesungguhnya adalah sebuah platform agar pergantian kekuasaan bisa terjadi sebagai peristiwa yang wajar. Oleh karena itu republik dapat bertahan dalam masyarakat yang egaliter dan meritokratik. Dalam masyarakat feodal, presiden nyaris hampir seperti raja yang boleh menjadi raja seumur hidup. Penggantinya adalah anaknya sendiri. Kecenderungan yang dibawa oleh wacana presiden 3 periode itu adalah kemunduran prinsip republik. Ingat pesan Marcus Aurelius pada Maximus sang Gladiator: apakah Roma bisa menjadi Republik kembali?
Sejak amandemen yang melahirkan UUD 2002, sederetan maladministrasi publik makin menjadi-jadi: hukum dibuat dan ditafsirkan bukan untuk kepentingan publik, tapi untuk kepentingan elite politik.
Kali ini untuk mempertahankan kekuasaan apapun ditempuh. Padahal Republik hanya bisa tumbuh sehat oleh administrasi publik yang piawai melayani publik. Kali ini amandemen parsial atas pasal 7 itu bukan saja maladministrasi publik, tapi bakal menjadi malapetaka bagi Republik.
Jabatan publik manapun adalah amanah yang tidak layak diperebutkan, dipanjang-panjangkan dengan segala cara atau membangun dinasti, apalagi dipertahankan mati-matian. Harusnya sekali dan sesingkat mungkin. Seperti umur, harapan memperpanjang jabatan adalah doa iblis untuk diberi umur panjang. Seringkali perpanjangan umur hanya jebakan untuk memperpanjang daftar dosa dan kesalahan belaka.
Malang, 29/8/2021
Editor Sugeng Purwanto