Cap Wahabi: Dulu, Kini, dan Nanti, ditulis oleh Prima Mari Kristanto, aktivis Islam tahun 90-an; tinggal di Lamongan.
PWMU.CO – Hari ini istilah wahabi sering dilekatkan pada gerakan-gerakan pembaharu Islam, tidak terkecuali pada Muhammadiyah dan gerakan-gerakan yang berafiliasi langsung pada Muhammadiyah atau sekadar mirip.
Beradasarkan tulisan KH Nurbani Yusuf berjudul Kiai Dahlan Tak Mau Disebut Wahabi, ternyata cap Wahabi pada Muhammadiyah sudah ada sejak berdirinya bahkan sempat diklarifikasi sendiri oleh KH Ahmad Dahlan dengan mengutus Haji Fahruddin menemui Syarif Husein penguasa Hijaz.
Jika sampai hari ini cap Wahabi tetap melekat atau sengaja dilekatkan oleh pihak-pihak tertentu pada Muhammadiyah adalah sebuah “keniscayaan” , meskipun memprihatinkan. Cap Wahabi sepertinya demikian efektif menjauhkan Muhammadiyah dan gerakan pembaharu Islam lainnya di kalangan masyarakat Indonesia.
Cap Wahabi masa kini diduga akibat kesalahpahaman atau paham salah yang terus dipaksakan antara gerakan Khawarij Abdul Wahab bin Rustum dengan gerakan pembaharu Islam Muhammad bin Abdul Wahab, Muhammadiyah beserta gerakan pembaharu Islam lainnya.
Dalam perkembangannya kini, cap Wahabi pada kelompok tertentu sering bertujuan untuk melecehkan atau merendahkan kelompok atau organisasi yang dianggap berbeda. Cap Wahabi menambah “kavling-kavling” pada gerakan Islam yang berorientasi memecah belah, memperkuat identitas masing-masing kelompok untuk tidak bersatu dan bekerjasama dalam satu ikatan Islam.
Sejarah Wahabi
Istilah Wahabi seringkali dihubungkan dengan Khawarij yang muncul pada abad pertama Hijriah masa Khalifah Ali bin Abi Thalib menuju peralihan ke Muawiyah bin Abu Shufyan. Khawarij berada di balik pembunuhan Ali bin Abi Thalib, bahkan berusaha membunuh Muawiyah namun gagal. Abad ke-2 Hijriah muncul gerakan khawarij dipimpin Abdul Wahab bin Rustum yang diharamkan oleh penguasa Islam di Afrika Utara hingga Andalusia di Spanyol.
Abad ke-12 Hijriah muncul gerakan pembaharuan Islam dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab seorang ulama kelahiran Nejed, wilayah Saudi Arabia sekarang. Gerakan ini—entah sengaja atau tidak—diberi cap Wahabi, demikian juga ada beberapa anggapan yang menyebut nama Muhammadiyah diambil dari Muhammad bin Abdul Wahab, bukan Muhammad Rasulullah SAW.
Muhammadiyah bersanad pada Muhammad bin Abdul Wahab yang “Wahabi”, demikian kira-kira pola pikir yang dibangun atau terbangun tentang cap Wahabi pada Muhammadiyah. Sementara berdasarkan penuturan qiyadahMuhammadiyah, KH Ahmad Dahlan dalam mendirikan Muhammadiyah terinspirasi tokoh-tokoh pembaharu Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Cap Wahabi diduga semakin masif akibat faktor politik, yaitu perseteruan antara penguasa Hijaz dan Nejed yang sedang berebut pengaruh di Arab
Pembaharuan Islam Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla mengedepankan gerakan keilmuan, sementara gerakan Muhammad bin Abdul Wahab lebih banyak pada pemberantasan kemusyrikan.
Secara “kebetulan” pula dakwah Muhammadiyah berciri amar makruf nahi mungkar, mengajak pada al-Quran dan as-Sunnah, serta ajakan untuk meninggalkan perilaku percaya pada tahayul. Gerakan yang “beririsan” dengan pembaharuan Islam Muhammad bin Abdul Wahab ketika menghadapi perilaku masyarakat yang banyak menyimpang, di antaranya mengkeramatkan makam Rasulullah secara berlebihan.
Dinasti Saud penguasa Nejed tempat di mana Muhammad bin Abdul Wahab memusatkan gerakannya sangat mendukung ide pembaharuan tersebut. Duet Muhammad bin Abdul Wahab dan dinasti Saud, ulama-umara semakin solid menyebarkan ide pembaharuan Islam, menjauhi kemusyrikan dengan kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah.
Masifnya Cap Wahabi
Cap Wahabi diduga semakin masif akibat faktor politik, yaitu perseteruan antara penguasa Hijaz dan Nejed yang sedang berebut pengaruh di Arab. Juga tarik menarik kepentingan antara Daulah Utsmani dan Kerajaan Inggris menghasilkan persaingan yang rumit.
Syarif Husein sebagai penguasa Hijaz diduga sebagai pihak yang bersemangat menyematkan cap Wahabi pada penguasa Nejed sebagai lawan politiknya. Setelah runtuhnya Daulah Utsmani pada tahun 1924, pengaruhnya ke negara-negara Arab otomatis juga melemah, tidak terkecuali pada Nejed dan Hijaz.
Kabilah-kabilah Arab mendukung dinasti Saud. Penguasa Nejed mendirikan dan memimpin Saudi Arabia dengan mempersatuan Nejed dan Hijaz pada 1926. Dinasti Saud sebagai pendiri dan pemimpin Saudi Arabia yang secara historis mendukung gerakan pembaharuan Islam Muhammad bin Abdul Wahab ikut mempopulerkan gerakan pembaharuan Islam ke seluruh dunia.
Dengan demikian Muhammadiyah yang berdiri pada tahun 1912 lebih dulu ada dibandingkan Saudi Arabia yang berdiri pada tahun 1926. Misi pembaharuan Islam yang digerakkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab pada tahun 1700-an abadi hingga kini. Gerakan pembaharuan Islam mendapat banyak dukungan dari tokoh-tokoh negeri umat Islam , bersamaan dengan semakin masifnya cap wahabi pada gerakan-gerakan yang mendukung semangat serupa.
Perkembangan gerakan pembaharu Islam yang bercirikan amar ma’ruf nahi munkar, kembali pada al-Quran dan sunnah semakin modern dengan lebih banyak mengajak umat menekuni ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak lagi menggunakan narasi keterbelakangan atau menghancurkan benda-benda yang dikeramatkan.
Stigma Abadi
Sebagaimana virus influenza, cacar, kolera sampai corona, virus Wahabi “asli” yang serupa Khawarij akan tetap ada, demikian juga akan abadi stigma Wahabi “palsu” yang dipaksakan untuk merendahkan.
Jika untuk melawan virus influenza sampai corona diperlukan vitamin dan vaksin pembentuk antibodi, hal yang sama diperlukan untuk membentuk kekebalan akidah, memperkuat wawasan agar tidak mudah sakit, baik sakit hati atau rendah diri ketika diserang tuduhan wahabi.
Serangan atau tuduhan bahwa Muhammadiyah wahabi bisa dipastikan dilakukan oleh oknum yang belum mengerti atau memiliki tendensi tertentu.Bagaimanapun cap Wahabi yang disematkan secara “paksa” pada Muhammadiyah, penguasa Saudi Arabia, dan gerakan-gerakan pembaharu Islam,tidak mengurangi pengabdian pada masyarakat. Amal usaha Muhammadiyah tetap memberi layanan pada semua umat Islam bahkan umat selain Islam tanpa ada pembatasan.
Demikian pula Saudi Arabia tetap menjalankan peran sebagai khadimul haramainpelayan dua tanah suci tanpa membedakan golongan, mahzab serta kebangsaan. Yang bisa dilakukan saat ini dan yang akan datang barangkali dengan secara terus menerus mengulas perihal Wahabi. Kemudian berdoa agar sesama Muslim yang masih hobi menggunakan cap Wahabi untuk tujuan merendahkan sesama muslim segera dibukakan wawasannya oleh Allah Azza wa Jalla.
Cap Wahabi akan abadi, sebagaimana keabadian sifat dengki sebagian “oknum” atas kemajuan demi kemajuan gerakan pembaharuan Islam. Semakin banyak berdirinya sekolah Islam, rumah sakit Islam, universitas Islam, tata kelola masjid yang modern, lembaga filantropi amil zakat, infak, wakaf semakin profesional dan lain-lain sebagai wasilah terwujudnya baldhatun thayyibatun warabbun ghafur di akhir zaman.
Wallahu’alam bishwab. (*)
Editor Mohamamd Nurfatoni