PWMU.CO– Menteri Nadiem Makarim sebaiknya mencabut Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 yang telah menimbulkan kegaduhan karena isinya bisa ditafsirkan melegalkan pergaulan bebas di kampus.
Hal itu disampaikan Ketua Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof H Lincolin Arsyad MSc PhD dalam rilis yang dikirim Senin (8/11/2021).
Menurut Lincolin Arsyad, Permen Dikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang menimbulkan kontroversi terletak pada perumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2).
”Pasal itu memuat frasa ’tanpa persetujuan korban’ dalam Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021, mendegradasi substansi kekerasan seksual, yang mengandung makna dapat dibenarkan apabila ada persetujuan korban (consent),” katanya.
Bunyi pasal 5 ayat (2) disebutkan kekerasan seksual meliputi:
a. menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban;
b. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;
c. menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada Korban;
d. menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;
e. mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban;
f. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
g. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
h. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
i. mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;
j. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;
k. memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;
l. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;
m. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;
n. memaksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;
o. mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual;
p. melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi;
q. melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin;
r. memaksa atau memperdayai Korban untuk melakukan aborsi;
s. memaksa atau memperdayai Korban untuk hamil;
t. membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja; dan/atau
u. melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.
Mengabaikan Agama
Lincolin Arsyad menyatakan, rumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 5 Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021 yang diteken Menteri Nadiem menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan.
”Standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual tidak lagi berdasar nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Mahaesa, tetapi persetujuan dari para pihak. Hal ini berimplikasi selama tidak ada pemaksaan, penyimpangan tersebut menjadi benar dan dibenarkan, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah,” tandasnya.
Pengingkaran nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Mahaesa serta legalisasi perbuatan asusila berbasis persetujuan tersebut, sambung dia, bertentangan dengan visi pendidikan sebagaimana ditegaskan dalam pasal 31 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto