Pemimpin Anti Korupsi Ini Jadi Kisah Abadi oleh Nurbani Yusuf, Padhang Makhsyar Kota Batu.
PWMU.CO– Yang Mulia Umar bin Abdul Aziz hanya dua tahun memerintah tapi menyimpan dan memberi keteladanan hingga berabad lamanya. Kisahnya tentang memadamkan lampu yang menggunakan budget negara saat putranya yang datang hendak membahas urusan pribadi menjadi kisah menarik dan tak henti diceritakan hingga hari ini.
Pendahulunya semisal Yang Mulia Abu Bakar as Siddiq dan Yang Mulia Umar ibnul Khattab radhiallahu anhuma semoga saya bersamanya, adalah contoh terbaik pemimpin Islam sepeninggal Kanjeng Nabi Muhammad saw.
Kejujuran, kesederhanaan, keberpihakan pada kebenaran, keadilan dan kebersahajaannya sudah tak bisa dibantah. Mereka semua adalah orang yang wara dan zuhud meski berkedudukan tinggi dengan harta berlimpah. Jika mau mereka bisa sewenang-wenang atau berpesta-pora, tapi tidak.
Memimpin, menjabat atau menjadi kaya bukankah aib. Sebaliknya menjadi fakir, zuhud juga bukan segalanya. Keduanya hanya alat atau media untuk mendekat kepada Yang Maha Mulia. Pemimpin yang adil, lebih mulia ketimbang rakyat yang taat. Orang kaya bersyukur lebih mulia ketimbang orang miskin yang sabar.
Pemimpin yang adil dan orang kaya bersyukur menempati ’kasta’ tertinggi. Menjadi Abu Bakar as sidiq atau Umar bin Abdul Aziz jauh lebih menarik ketimbang menjadi Abu Hurairah, Abu Dzar dan ahli sufah lainnya.Pejabat Wara
Abu Bakar dan Umar bin Abdul Aziz bisa melakukan semua yang dilakukan rakyat jelata yang miskin dengan wara dan zuhudnya. Tapi rakyat biasa tidak bisa melakukan apa yang dilakukan keduanya. Membebaskan budak, memberi makan orang miskin, membela yang dizalimi, membiayai peperangan dari harta terbaiknya, dan banyak lainnya,
Menjabat dengan intergritas kenapa tidak. Belajar menjadi Abu Bakar atau Umar bin Abdul Aziz memang tidak harus mencontoh semuanya. Setidaknya ada kesempatan untuk melakukan sesuatu yang besar. Bukan hanya sebatas meneladani yang kecil risiko,
Jika dapat melakukan yang lebih menantang kenapa tidak. Bukan pula gamis, minyak wangi atau jenggot tidak penting tapi menjadi pemimpin sederhana meski fasilitas melimpah jauh lebih memesona.
Memberikan seluruh gaji pada lembaga amal jauh lebih eksotik, dan tetap bersahaja meski kedudukan terus meninggi lebih elok ketimbang zikir selepas Subuh hingga Syuruq,
Penting adalah tidak meminta jabatan tapi jangan menolak saat diberi amanah. Islam tidak ada tradisi mencalonkan diri sebagai pemimpin sebelum kemudian sistem demokrasi membudayakan.
Masih banyak orang baik di sekitar kita. Tidak perlu paranoid terhadap jabatan atau status sosial seseorang. Tidak ada jaminan rakyat kecil yang jujur lebih baik ketimbang pemimpin yang adil. Tidak jaminan menyembunyikan amal lebih ikhlas ketimbang yang menampakkan. Semua bergantung pada hati dan niat masing-masing.
Allah berfirman al-Baqarah 271: ”Jika kamu menampakkan sedekah-sedekahmu maka itu baik, dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikan kepada orang-orang fakir maka itu lebih baik bagimu dan Allah akan menghapus sebagian kesalahan-kesalahanmu. Dan Allah Maha Teliti apa yang kamu kerjakan.”
Editor Sugeng Purwanto