Menjadi Tentara
Selanjutnya pemerintah pendudukan Jepang berkeinginan membentuk tentara sukarela untuk kepentingan para penduduk mengamankan Pulau Jawa. Badan intelijen militer Jepang diberi tugas untuk memperoleh dukungan penuh rakyat Jawa.
Demi tujuan tersebut, ‘tentara’ yang akan dibentuk harus didukung penuh oleh tokoh-tokoh terkemuka khususnya para ulama. Pada 3 Oktober 1943, Jepang yang didukung ulama dan rakyat Jawa meresmikan terbentuknya Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (Bo-ei Gyugun Kanbu Rensei-tai) disingkat Peta di Bogor.
Untuk jabatan komandan batalyon (daidan-co) diisi dari kalangan ulama, sedangkan untuk jabatan komandan kompi dan peleton (chodan-co dan shudan-co), direkrut dari pemuda berlatar belakang anak-anak priyai dan eks-pegawai pemerintah. Untuk para bintara (budan-co) diambill dari pemuda Muslim, bahkan panji-panji tentara Peta (daidan-co) harus berjiwa Islam.
Berlatar belakang kepala sekolah, Soedirman bisa mengikuti kursus perwira PETA di Bogor. Pendidikan keras di sekolah perwira PETA di Bogor, lahirlah “Soedirman baru” yang telah paham metode-metode perang ala Jepang dan menjadi komandan Daidan (Batalyon) di Kroya, Cilacap. Karir Kolonel Soedirman terus meroket tanpa pencitraan, melainkan melalui kecintaan pada tugas hingga dicintai teman sesama pejuang yang mendaulatnya sebagai Panglima Tentara Kemanan Rakyat setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Pimpin Perang Gerilya
Kecintaan Jenderal Soedirman pada Tanah Air diuji pada peristiwa Agresi Militer Belanda 19 Desember 1948. Kecintaan pada bangsa dibuktikan dengan tekadnya memimpin sendiri perang gerilya, keluar masuk hutan, naik turun bukit dan lembah sekalipun saat itu tubuhnya mulai melemah akibat digerogoti bakteri TBC.
Dengan ditandu, bahkan digendong pengawal setianya untuk berpindah-pindah menghindari kejaran intel dan mata-mata Belanda, Jenderal Soedirman terus memotivasi para pejuang dan pemimpin-pemimpin bangsa lainnya laksana seorang guru mengajar untuk muridnya melalui surat yang dibawa kurir maupun melalui radio.
Tjokropranolo sang pengawal setia yang saat itu berpangkat Kapten menuliskan kenangan bergerilya bersama Panglima Besar dalam buku “Jenderal Soedirman Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia”.
Dalam situasi perang, Soedirman tetap seorang guru bagi prajurit-prajurit TNI, Hizbullah, Sabilillah, pelajar, mahasiswa, sarjana sampai rakyat jelata yang mendukung perang semesta. Di dalam hutan, Jenderal Sudirman memberikan keteladanan pada prajuritnya, bagaimana bersabar pada kondisi tersulit dan terus berjuang hingga Allah hadirkan kemenangan.
Firasat Mantri Guru—nama samaran Jenderal Sedirman selama bergerilya—tentang pertolongan Allah sangat tepat. Memasuki Bulan Agustus 1949 Belanda bersedia berunding dalam Konferensi Meja Bundar setelah merasa frustrasi oleh tekanan perang gerilya rakyat semesta yang dipimpin Jenderal Sudirman.
Delegasi Indonesia yang dipimpin Mohammad Hatta menerima pengakuan kedaulatan dari Kerajaan Belanda pada 27 Desember 1949 di Den Haag, di Jakarta pengakuan kedaulatan diterima oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni