Crazy Rich dan Konsekuensi Modernitas oleh Arief Hanafi, kontributor Smamda Sidoarjo. Tulisan ini Juara I Lomba Menulis Opini Milad Ke 6 PWMU.CO.
PWMU.CO– Penangkapan Doni Salmanan dan Indra Kenz telah menyita perhatian publik. Dua orang itu dilaporkan ke polisi terkait penipuan investasi bodong berkedok binary option.
Keduanya juga sempat menyandang gelar crazy rich alias orang super kaya Indonesia. Julukan tersebut karena kekayaan mereka yang melejit setelah menjadi influencer dari Binomo dan Quotex. Keduanya gemar flexing atau memamerkan harta kekayaan melalui channel Youtube.
Dalam beberepa kesempatan, keduanya juga sering mem-posting koleksi kendaraan mewah seperti moge, mobil sport, hingga supercar. Doni Salmanan pernah menunjukkan koleksi lukisannya hasil lelang seharga Rp 250 juta.
Begitu juga dengan Indra Kenz yang pamer foto liburan di luar negeri. Sebuah kegiatan yang hanya dilakukan oleh orang-orang berduit.
Perilaku unjuk kemewahan para crazy rich di berbagai media sosial menjadi sorotan tersendiri. Mengutip Frank L. Cooley (1962), perilaku seperti ini merupakan bagian dari usaha untuk membentuk image diri (self image). Self image ini berasal dari bagaimana kita memikirkan cara pandang orang lain terhadap kita.
Senada dengan Cooley, Blumer (1969) berasumsi bahwa manusia bertindak terhadap manusia lain berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka. Makna-makna ini diperoleh dari proses interaksi yang terus menerus.
Maka tidak heran, fenomena flexing ini sebagai cara untuk mengukuhkan image diri seseorang. Terlebih dalam arena media sosial, di mana semua orang bebas berinteraksi satu sama lain. Hal tersebut semakin memperkuat posisi seseorang untuk membangun image diri. Masalahnya adalah pembentukan image diri dalam masyarakat modern ditandai dengan seberapa banyak subjek dalam memiliki materi.
Kaitannya dengan kepemilikan materi dalam fenomena flexing, Jean Baudrillard (2012) menjelaskan, kondisi semacam ini ia sebut dengan masuk individu pada realitas ruang simulacra.
Ruang ini sebagai arena perang tanda dan citra. Di dalam ruang simulacra, kita bisa melihat beragam tampilan dan citra indah dihadirkan secara nyata, namun sejatinya rekayasa.
Lebih dari itu, kita melihat ada berbagai penawaran tanda keindahan, kebanggaan, dan mimpi-mimpi indah. Di dunia simulacra tersebut menawarkan berbagai macam imajinasi dan angan-angan ideal. Kondisi demikian ini menjadikan manusia modern telah terjun bebas dalam dunia permainan tanda. Maka tidak heran jika ada kesan perlombaan kepemilikan materi.
Hal tersebut tentu mempunyai pengaruh yang besar bagi masyarakat luas. Karena daya intensitasnya yang tinggi, maka tidak ada kesempatan masyarakat untuk untuk memilah dan memilih berbagai tanda tersebut. Maka tidak salah jika banyak yang mengikuti jejak public figure untuk melakukan flexing.
Modernitas dan Masyarakat Risiko
Kondisi modernitas identik dengan gaya hidup yang serba praktis, cepat, terstandar, serba uang, dan penuh dengan keterasingan. Keterasingan di sini digambarkan dengan pemikiran subjek yang sebenarnya tidak rasional namun dibalut dengan rasionalitas.
Dalam kasus crazy rich misalkan, mereka menampilkan citra materi yang sangat nyata. Semua itu mereka konsumsi pada dasarnya berangkat pada sistem nilai, simbol, dan tanda, bukan karena kebutuhan atau hasrat untuk mendapatkan kenikmatan.
Ketika simbol-simbol modernitas itu ditampilkan, maka tidak heran jika perilaku tersebut menjadi daya tarik utama bagi masyarakat luas. Maka tidak heran jika banyak inovasi-inovasi di dalamnya untuk mencapai citra materi yang bersifat universal.
Di titik inilah manusia sebagai makhluk sosial, menjadi ilmuwan bahkan menjadi penentu kemajuan di satu sisi, namun juga menjadi penyebab munculnya risiko-risiko baru.
Kondisi tersebut sesuai dengan pandangan Antony Gidden (2014) yang mengatakan, era modernitas adalah sebuah kultur risiko. Sosiolog Amerika tersebut mengatakan jika modernitas dihadapkan pada kondisi serba ketidakpastian.
Dalam kasus yang menimpa Doni Salmanan dan Indra Kenz misalnya. Bisnis trading yang mereka kelola, merupakan representasi era modernitas. Namun bisnis ini sangat berisiko, karena ketidakpastiannya. Tidak ada satupun pihak yang mampu memprediksi pasar dengan akurat dan tepat.
Konsep masyarakat risiko inilah yang kemudian dapat dilihat dalam banyak aktivitas sosial kebudayaan. Di satu sisi sistem sosial ekonomi menawarkan kemudahan dan efisiensi, namun di sisi yang lain berpotensi besar menumbulkan disintegrasi sosial.
Ketidaksiapan akan risiko-risiko tersebut dan hanya berorientasi pada sibol-simbol kemewahan menjadikan manusia modern mejadi sosok manusia yang pasif dan seolah tidak berdaya dengan potensi risiko yang ada.
Alhasil, kita bisa saksikan bersama, drama investasi bodong ini berakhir dengan sad ending. Tidak sedikit investor yang menjadi korban. Mereka berlomba melaporkan masalahnya ke polisi.
Inilah gambaran masyarakat modern dengan segala risikonya. Maka perlu menjadi subjek yang mandiri dan otonom. Tidak terjebak pada dunia tanda dan simbol. Ini menjadi kunci agar terlepas dari keterasingan kehidupan di era modern. (*)
Editor Sugeng Purwanto