30 Titik Pisah Fikih Muhammadiyah dengan Salafi, Resensi buku oleh Dr Aji Damanuri, Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Tulungagung; Dosen IAIN Ponorogo.
PWMU.CO – Salafi dan Muhammadiyah memiliki banyak persamaan, khususnya terkait dengan semangat menjadikan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai rujukan utama. Meskipun ada beberapa kesamaan bukan berarti Muhammadiyah dan Salafi sama.
Karena jika ukurannya hanya beberapa kesamaan maka Islam juga memiliki kesamaan iman dengan Yahudi dan Nasrani: sama-sama menyembah tuhan yang sama.
Dalam hal-hal yang sifatnya universal seperti keadilan, kesejahteraan, kemanusiaan, atau kasih sayang, semua sama. Bukan berarti Islam adalah Yahudi, Nasrani dan seterusnya.
Jadi, jelasnya meski ada beberapa persamaan antara salafi dan Muhammadiyah, keduanya tetap entitas yang berbeda, karena meskipun memiliki persamaan namun tidak sedikit perbedaanya.
Sesama ulama salafi juga biasa berbeda pendapat. Misalnya Syaikh al-Utsaimin melarang berdoa menghadap ke makam Nabi, namun Syaikh bin Baz membolehkannya. Bin Baz melarang mencukur jenggot, membiarkannya, namun al-Albani menegaskan bahwa jenggotlebih dari segenggam harus dipotong.
Bin Baz menyunahkan bersedekap setelah rukuk, namun al-Albani membidahkannya. Al-Albani mengharamkan jual beli kredit dengan harga berbeda, namun para ulama salafi Arab Saudi membolehkannya. Syaikh Fauzan cenderung melarang menghitung dzikir dengan biji tasbih, sementara Syaikh a-Utsaimin membolehkannya. Dalam masalah tarawih ada perbedaan tajam: al-Albani membidahkan tarawih dan witir lebih dari 11 rekaat, sementara ulama salafi Arab Saudi membolehkan lebih dari 11 rekaat.
Bahkan beberapa ulama salafi menuduh sesame salafi dengan tuduhan sesat. Syaikh Muqbil menilai bahwa Syaikh Muhammad Rashid Ridha berada di atas kesesatan, sementara al-Albani menganggap vonis sesat sangatlah berlebihan karena beliau dianggap berjasa terhadap menyebarkan paham sunnah dengan majalah al-Manar.
Buku Titik Pisah Fikih Muhammadiyah-Salafi
Selain hal-hal di atas ada banyak lagi perbedaan di kalangan mereka yang menunjukkan bahwa ada kelompok salafi moderat ada kelompok keras. Jika antara salafi saja banyak perbedaan kenapa mengampanyekan sama dengan Muhammadiyah? Ada apa di balik propaganda tersebut?
Maka, hadirnya buku Titik Pisah Fikih Salafi-Muhammadiyah yang saya resensi pada artikel ini sebagai salah satu bukti perbedaan tersebut. Sengaja judul artikel ini saya samakan dengan judul buku aslinya supaya tidak mereduksi tujuan penulisan buku ini. Buku ini ditulis oleh Dr Ali Trigiyatno Sag MAg, Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Batang, Jawa Tengah, sebagai bentuk keresahan akan simplifikasi dan reduksi posisi Muhammadiyah dan Salafi.
Pada tulisan sebelumnya sudah saya jelaskan bahwa perbedaan tidak harus dimaknai permusuhan, tetapi kejujuran akan realitas dan pengakuan terhadap keragaman.
Secara umum buku ini diawali dengan pemaparan fenomena salafisme global, para tokoh pengusungnya, manhaj yang dipakai, relasi salafi dan Muhammadiyah, masuknya salafi dan bahayanya bagi keberlangsungan dakwah ala manhaj Muhammadiyah.
Secara manhaji meskipun sama-sama bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadis namun dalam memahaminya tampak salafi sangat teks book (laterlij), sementara Muhammadiyah menggunakan instrumen akal yang dirumuskan oleh para ulama usul fikih baik klasik maupun kontemporer.
Muhammadiyah juga melakukan pendekatan bayani, burhani, dan irfani dalam memahami pesan-pesan agama. Pemahaman ta’aquli dan ta’abudi atau ajaran yang bersifat ritual mahdzah dan sosial sebagai dimensi agama dirumuskan dengan sangat baik. Muhammadiyah lebih terbuka terhadap usaha-usaha pengembangan pemikiran keagamaan, dan mekanisme fatwa dilakukan dengan ijtihad jama’i.
Baca sambungan di halaman 2: 30 Perbedaan Fikih