Kader Persyarikatan militan plus, oleh Akhmad Faozan, Ketua Majelis Kader Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Jepara, Jawa Tengah.
PWMU.CO – Barangkali istilah PHIWM tidak asing bagi warga Persyarikatan. PHIWM kepanjangan dari Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah. PHIWM merupakan seperangkat nilai dan norma Islami yang bersumber pada al-Quran dan as-Sunnah, yang kemudian menjadi pola hidup bagi perilaku keseharian warga Muhammadiyah, dalam menjalani kehidupan sehari-hari hingga kematian menghampiri. Sehingga tercermin kepribadian Islami dalam rangka terwujudnya masyarakat berperadaban utama yang diridhai Allah SWT.
Maka dalam hal ini, PHIWM dapat juga diumpamakan sebagai sebuah pakaian (libas), yang terus mengiringi di setiap langkah, terpakai diulang-ulang dan terjaga dalam geraknya dan menjadi marwah bagi kehidupan dirinya.
Diibaratkan dalam sebuah ayat al-Quran, bahwa pakaian sebagai simbol tidak hanya sebagai perhiasan namun juga penutup aurat. Juga mempertimbangkan dengan memakai pakaian yang jauh lebih baik yaitu pakaian taqwa, …libasuttaqwa dzalika khair. [QS Al-A’raf (7: 26].
Tauhid Benar dan Lurus
Pokok-pokok konsep operasional PHIWM di antaranya, bagaimana membentuk pribadi dengan mantab (tsiqah) aqidah tauhid yang benar dan lurus, setelah itu terbentuk kepribadian yang bertabur kasih sayang dalam membangun berkeluarganya.
Selalu mengorientasikan kemaslahatan dalam kepribadian bermasyarakat, lalu berwawasan unggul maju dalam kepribadiannya dalam berorganisasi (Muhammadiyah). Di saat amanah terpikul, ia melandaskan pada kepribadian unggul dalam mengelola AUM dan kepribadian yang baik dalam mengembangkan profesi.
Pokok-pokok konsep operasional tersebut mengarah kepada terwujudnya diri pribadi. Jadi orientasinya jelas menjadikan diri manusia (syahsyiah) yang berkualitas (thayyibah). Bukan hanya memprioritaskan pada diri yang benar-benar dalam keimanan yang mantab (tsiqah) bertauhid yang lurus saja, namun juga mengedepankan jiwa dalam dirinya yang bermuamalah duniawiyah dengan baik.
Konteks persoalan yang dihadapi masyarakat muslim hari ini adalah begitu menguatnya daya tarik menarik antara kelompok yang acuh dengan keadaan agamanya, dan kelompok yang kecenderungan menjadi ekstrem kanan, muslim kuat aqidahnya saja.
Nah inilah letak strategisnya pedoman hidup yang berimbang (balance), antar kehidupan akherat dengan dasar ketentuan agamanya yang terikat erat dalam dirinya dan menjadi prinsip landasan dalam beramal, juga berhubungan konteks kekinian dengan dunia masyarakat tidak ketinggalan.
Pondasi Awal
Mukadimah Anggaran Dasar yang digagas oleh para generasi pendahulu Muhammadiyyah sebagai pondasi dalam menanamkan cita-cita luhur dalam bermuhammadiyah, bukan tanpa alasan beliau-beliau yang telah menorehkan tinta emas sejarah yaitu sebuah pondasi awal dalam bermuhammadiyah sama halnya dengan ber-din dengan sebenarnya. Pemikiran dasar ideologi Persyarikatan yang menjiwai gerak Muhammadiyah terumuskan secara jelas dalam Mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah (MADM).
Konsep ideologi yang mendasari gerak langkah organisasi Muhammadiyah ini digali dari pemikiran jenius Kiai Ahmad Dahlan disistematisasi lebih akomodatif dan sempurna oleh Ki Bagus Hadikusumo dan koleganya di awal tahun kemerdekaan yaitu tahun 1945. Kemudian dilanjutkan pada sidang Tanwir tahun 1951, Mukadimah AD ini disahkan setelah disempurnakan oleh tim yang beranggotakan Prof Farid Ma’ruf, Mr Kasman Singodimedjo, Buya Hamka, Zain Jambek.
Terwujudnya MADM ini dalam konteks awal kemerdekaan bangsa dan memasuki era awal-awal di masa modernisasi Indonesia pasca lepas dari cengkeraman penjajahan. Sehingga bersamaan dengan perkembangan Muhammadiyah tahun ini menjadi momentum krusial dalam menyikapi realitas tercerahkannya organisasi ini yang berhubungan dengan garis kebijakan dalam mengatur dan mengelola organisasi dengan lebih baik.
Bukan Orientasi Sesaat
Muhammadiyah oleh pendiri sang Kiai, yaitu KH Ahmad Dahlan bukan mengorientasikan sesaat saja, kebesaran dan syiar kebaikan di dunia saja namun lebih dari itu. Sebagaimana dalam alenia terakhir Muaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, … Kesemuanya itu. perlu untuk menunaikan kewajiban mengamalkan perintah-perintah Allah dan mengikuti sunnah Rasul-Nya, Nabi Muhammad saw., guna mendapat karunia dan ridla-Nya di dunia dan akhirat, dan untuk mencapai masyarakat yang sentausa dan bahagia, disertai nikmat dan rahmat Allah yang melimpah-limpah”.
Kalimat yang tersusun dengan jelas lugas tersebut memberikan penjelasan yang gamblang, berupa syarat dan ketentuan dalam meraih segala sesuatu yang menjadi dambaan seseorang baik di dunia maupun di akherat, dan dalam konteks kenegaraan dan berkebangsaan yang merupakan wujud negeri “baldatun thayyibatun warabbun ghafur”, artinya suatu negara yang indah, bersih suci dan makmur di bawah perlindungan Tuhan Yang Maha Pengampun.
Maka dengan Muhammadiyah ini, mudah-mudahan ummat Islam dapatlah diantarkan ke pintu gerbang Syurga “Jannatun Na’im” dengan keridlaan Allah Yang Rahman dan Rahim.
Gagasan Founding Fathers
Dari kalimat terakhir yang muncul gagasan dari beliau-beliau para founding fathers pendahulu adalah sifat kebangsawanannya dengan landasan kokoh tekad bulatnya dalam menegakkan agama pada sebuah bingkai negara dan bangsa.
Ketika upaya dan ikhtiar ini diejawantahkan dalam langkah ke dunia nyata di kehidupan bermasyarakat, maka tidak menutup kemungkinan Allah meridihai kebahagiaan, kesejahteraan yang sebenarnya akan dirasakan oleh masyarakat dan bangsa ini dengan segera. Tetapi sebaliknya bila jauh dari konsep ideal ini maka akan jauh pula kemudahan yang datangnya dari yang menskenario kehidupan berbangsa.
Ini juga yang disebut bagian dari kontribusi Muhammadiyah untuk negeri ini, negeri yang seharusnya perlu menjadikan ide dan gagasan yang telah menjadi garis kebijakan dalam melangkah dengan landasan transenden dari langit, agar konsepnya terakualisasikan dan membumi di negeri di negeri yang sarat potensi ini. Sehingga disebut sebagai negeri atau suatu peradaban atas dasar perjanjian yang telah dipersaksikan, baik pelaku sejarah maupun Allah inilah yang termaktub dalam konsep yang lahir dengan istilah darun al ahdi wal syahadah.
Kader Persyarikatan Militan Plus
Gambaran atau penampakan seseorang yang dianggap “militan” adalah ketika seseorang dengan kuat menjalan keberagamaan dengan penuh kehusyuan, total, menjaga gairah dalam beragama. Hal ini nampak dalam perangai kesehariannya.
Bukan itu saja, ada hal postif lain yang menjadi karakternya. yakni mindsetnya berwawasan maju dan terus menjaga keunggulan, bervisi ke depan penuh dengan harapan. Bukan hanya untuk diri dan lingkup kecil, namun memiliki orientasi dalam mewujudkan peradaban atau komunitas dengan dasar ilmu dan wawasan yang mencerahkan. Inilah militan plus.
Karakteristik militan plus, dapat diterjemahkan kalau seseorang tidak mudah reaktif, melainkan lebih suka dan cenderung progressif yang positif. Tidak mudah dalam menjustifikasi seseorang dengan hal-hal yang apriori negatif, Ia pun membiasakan diri dalam budaya berbaik sangka dengan keadaan yang ada. Suka dengan merasapi segala sesuatu yang hadir dalam dirinya, menjadi sesuatu hikmah yang membangkitkan semangat untuk berbuat yang lebih baik.
Salah satu contoh keadaan seseorang dalam beragama, ketika KH Ahmad Dahlan menerjemahkan beragama diibaratkan dengan bermain biola. Beragama bukan dengan kaku, kolot, jumud, hitam putih, namun dengan kesahajaan. tetapi mampu untuk merubah perilaku beragamanya dapat dirasakan oleh orang-orang disekitarnya.
Karakter orang-orang seperti inilah yang sangat dibutuhkan para kader kemudian, sehingga Muhammadiyah semakin syiar dan berkembang dan berkemajuan serta unggul. Ketika AUM-nya, itu adalah bagian dari hasil “berdzikir” panjang tak mengenal lelah dan tak silau melihat angka nominal sudah seberapa banyak dzikirnya. (*)
Kader Persyarikatan Militan Plus, Co-Editor Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.