Abu Thalib Mati Kafir adalah Hoax, Tanggapan atas Tulisan Ustadz Muhammad Hidyatulloh; Oleh Anwar Hudijono, wartawan senior tinggal di Sidoarjo
PWMU.CO – Tulisan almukaram Ustadz Muhammad Hiyatullah, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais) Masjid Al Huda Berbek, Waru, Sidoarjo berjudul, Mahalnya Hidayah Bercermin pada Abu Thalib, yang dimuat di PWMU.CO, Jumat, 11 Desember 2022 menarik sekali. Khususnya pada penegasan bahwa Abu Thalib, paman Rasulullah mati dalam keadaan kafir.
Status kematian demikian sudah sering saya dengar sejak di bangku Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al Islam Mojorejo, Caruban, di masjid-masjid baik saat khotbah Jumat maupun forum majelis taklim.
Pada umumnya pola ceritanya serupa. Tidak ada sumber informasinya. Apalagi perbandingan sumber informasinya. Juga tidak pernah ada kesempatan untuk dialog. Kisah penting ini dinarasikan layaknya dongeng fabel kancil nyolong sarung eh… timun.
Pembicara seperti menjejalkan air tajin ke mulut bayi agar langsung dilek tanpa perlu mengunyah. Pola komunikasi yang sering saya temui di majelis taklim.
Lantaran tidak pernah ada yang menyebut sumbernya itulah, saya selalu skeptis apakah benar seorang pengasuh dan pelindung Rasulullah, dicintai Rasulullah tidak mendapat hidayah sehingga masuk neraka?
Begitu besar jasa Abu Thalib untuk Islam. Bahkan dia bersama Khadijah adalah dua pilar utama perjuangan Islam di permulaan. Selama ada Abu Thalib, kaum kafir Quraisy tidak berani menyentuh Nabi. Tapi setelah ia meninggal, mereka berani menganiaya Nabi.
Saking besarnya peran dua orang ini, sampai-sampai Rasulullah sangat berduka dan terluka ibarat suduk gunting luka dua ketika mereka wafat. Saking sedihnya, kata ustad di masjid (saya tidak tahu benar tidaknya) lantas Allah menghibur Nabi dengan Isra dan Mikraj.
Abu Thalib adalah orang yang menyerahkan dua anak laki-lakinya untuk berjuang bersama Rasulullah sejak muda. Jakfar yang memimpin delegasi hijrah ke Habsyi kemudian meninggal saat menjadi panglima pada Perang Muktah.
Lantas Ali yang masuk Islam sejak anak-anak. Orang yang dijamin masuk surga. Menantu Rasulullah dinikahkan dengan Fatimah yang kelak keturunannya akan menjadi pemimpin akhir zaman, Imam Mahdi.
Artinya, perjuangan Islam dari start sampai finis di akhir zaman itu akan berada pada rentang benang merah bani Abu Thalib bin Abdul Munthalib bin Hasyim.
Baru Ustad Hidayatullah ini yang saya tahu mengutip dasar kekafiran Abu Thalib. Yaitu Hadits riwayat Muslim. Saya harus angkat topi dan tabek untuk hal ini.
Karena menyangkut hal sangat esensial, saya menyayangkan tidak ada telaah tentang Hadits itu. Betapapun perawinya Muslim yang biasanya sahih, bukan hal terlarang untuk menelaah kembali.
Kalau di kalangan Muhammadiyah biasanya menyebut hadits sudah di-tahsis Syeh Al-Albani. Meski saya juga bertanya mengapa hanya Al-Albani? Apakah dia satu-satunya orang yang ahli di atas ahli hadits?
Apalagi ilmu musthalah hadits juga berkembang. Jika dulu hanya dilkaji jaringan sanadnya, integritas musnad-nya, tapi kini juga lihat empan-papanya atau konstelasi kehidupan umat Islam waktu hadits ditemukan (saya tidak mengulas ini lebih lanjut karena sama sekali bukan ahlinya).
Di samping itu, hadits itu dikaitkan dengan ayat-ayat Quran, nah ini lebih bikin penasaran. Apakah benar konteks nuzulul (turunnya) ayat itu karena Abu Thalib? Apalagi Ustads Hidayatullah juga tidak mengulas sumber tafsirnya.
Melaknat Ali bin Abu Thalib
Melihat pola pembahasan hadits ini, saya khawatir hadits ini muncul pada zaman Bani Umayyah. Apalagi temanya bernada “hujatan” terhadap ayah Ali bin Abu Thalib.
Sebagaimana dijelaskan dalam buku Abu Thalib Mukmin Quraisy Paman, Sekaligus Pengasuh, Pelindung dan Pembela Rasulullah SAW oleh Abdullah Al-Khanizi, rejim Muawiyah sangat benci kepada Ali bin Abi Thalib. Tak ada jedanya melakukan disinformasi dan propaganda untuk menghancurkan dan membunuh karakter Ali.
Untuk itulah rezim memproduksi hadits-hadits palsu. Hadits yang sanadnya yang dhaif disembunyikan. Melakukan takwil-takwil ayat Quran untuk propaganda itu. Salah satu contoh hadits palsu yang diproduksi adalah hadits Riwayat Aisyah bahwa Rasulullah mengatakan dua orang ahli neraka adalah Ali dan Abbas.
Puncak kebencian rejim Kerajaan Umayyah ketika tentara Raja Yazid bin Muawiyah membunuh Husein bin Ali di Karbala. Yazid dengan bengisnya menginjak kepala Husein yang biasanya dielus-elus Rasulullah. Yang pipinya diciumi Rasulullah. Yang mulutnya disuapi Rasulullah.
Rezim Muawaiyah mewajibkan setiap khatib Jumat harus menyampaikan slogan melaknat Ali. Slogan itu baru dihapus oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz (salah satu khalifah Bani Umayyah). Gara-garanya ada orang Kristen yang menemui Umar.
Orang Kristen itu terkesan dengan kebaikan Umar atas kaum Kristen. Tapi dia tidak tertarik masuk Islam karena umat Islam selalu melaknat Ali. Padahal orang Kristen saja tahu Ali adalah sosok mulia yang sangat dicintai Rasullah.
“Orang Kristen saja menghormati Ali, mengapa orang Islam sendiri melaknatnya?” katanya. Umar diam. Hatinya menangis. Sejak itulah Umar menghapus slogan melaknat Ali.
Bagaimana sikap saya? Izinkan saya berbeda dengan Ustadz Hidayatullah. Saya cenderung mengatakan, Abu Thalib adalah korban disinformasi dan propaganda sesat. Hoax. Insya Allah dia mukmin yang dimuliakan Allah sebagaimana dia juga dimuliakan Rasulullah.
Kalau mau cari contoh orang yang tidak mendapat hidayah Allah saya pilih sumber al-Quran yang pasti benarnya. Misaknya, istri Nabi Luth, anak Nabi Nuh, Qarun, Firaun, Bangsa Samud, Bangsa Ad, Bangsa Muktafikah dan banyak lagi.
Mudah-mudahan ada hikmah perbedaan saya dengan Ustad Hidyatullah ini.Salah satunya memperluas peta tema dialog. Bagaimanapun review sejarah umat Islam dengan pena historiografi modern itu penting.
Sekaligus agar umat tidak bosan bin jenuh dengan tema rutin seperti, apakah kentut di dalam air membatalkan puasa ? Apakah nyenggol bokong bukan muhrim nembatalkan wudhu?
Juga tema-tema yang sudah berabad-abad didiskusikan tanpa solusi yang mengakibatkan khazanah keilmuan umat Islam ini berjalan melingkar-lingkar seperti mencari ketiak ular.**
Rabbi a’lam (Tuhan Maha Tahu)
Sidoarjo, 15 Desember 2022
Editor Mohammad Nurfatoni