Gara-Gara Platform Merdeka Mengajar, Catatan Moh Ernam, Wakil Ketua Kwarwil HW Jatim dan Guru Smamda Sidoarjo.
PWMU.CO – Ini semua gara-gara Platform Merdeka Mengajar (PMM). Salah satunya adalah penilaian kinerja online yang harus dilakukan oleh guru secara mandiri. Dari sekian banyak pilihan untuk melakukan penilaian itu, yang paling mudah adalah portofolio atau menyertakan sertifikat kegiatan yang diikuti untuk pengembangan diri.
Maka tak ayal hal itu membuat guru-guru kemudian berburu sertifikat. Tak kenal siang, malam, atau pagi. Pokoknya ada kegiatan yang berbau sertifikat, diikuti. Padahal belum tentu masuk di PMM atau sesuai dengan kriteria PMM. Termasuk saat saya harus mengikuti kegiatan seminar internasional di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Kamis (7/2/24).
Seminar Internasional bertema “الهُوِيَّةُ الثَّقَافِيَّةُ وَالدِّيْنِيَّةُ لِلْمَرْأَةِ المسْلِمَة فِيْ ظِلِّ التَّغَيُّرَاتِ العَوْلَمِيّةِ”
atau “Identitas Kebudayaan dan Keagamaan bagi Muslimah di Era Transformasi Global”, itu bersama Profesor Doktor Nahla Sabry El Saidy, penasihat Grand Syaikh Universitas Al-Azhar, Mesir.
Pendaftaran sudah dilakukan sampai terakhir tanggal 31 Januari 2024. Alhamdulillah saya termasuk bisa mendaftar. Jadwal kegiatan pukul 12.00 sampai 15.00. Ini agak mepet dengan waktu shalat, karena adzan dhuhur sekitar 11.50.
Ya akhirnya, saya terpaksa melakukan shalat berjamaah terlebih dahulu di Masjid An-Nur. Namun demikian setelah datang di Auditorium Kiai Haji Ahmad Dahlan Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), ternyata kondisinya masih belum banyak yang datang. Mungkin karena semua masih shalat dhuhur sehingga agak terlambat.
Saya pun bisa mengikuti kegiatan seminar dari awal. Mulai dari tampilan tari Manuk Dadali dari mahasiswa PGMI dan juga puisi bahasa Arab yang ditampilkan oleh salah seorang mahasiswi jurusan bahasa Arab. Trenyuh juga mendengar puisi yang dibacakan, sedih menyayat hati, bahkan sampai berkaca-kaca dan menangis. Tapi bukan itu yang membuat saya menangis, melainkan karena saya tidak paham arti puisinya.
Serba Arab
Masuk ke acara inti, semua berbahasa Arab. MC juga berbahasa yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia. MC yang berbahasa Arab mirip saya, pakai dialek Madura, hehehe.
Sambutan Dekan fakultas agama Islam juga berbahasa Arab. Hanya lagu Indonesia Raya dan Sang Surya yang berbahasa Indonesia.
Ceramah Profesor Doktor Nahla Sabry El Saidy jelas berbahasa Arab. Penasihat Grand Syaikh Universitas Al-Azhar Mesir hanya menggunakan bahasa Arab. Tak ada Inggris, apalagi bahasa Indonesia. Jelas saya tidak mengerti. Walaupun saya sudah mendengar dengan seksama tapi kembali tidak paham apa yang disampaikan.
Saya hanya paham ada kata Fatayat dan Muslimat. Saya sampai berseloroh kepada teman saya yang guru bahasa Arab, “Kok yang disebut dari tadi hanya Fatayat dan Muslimat? Kapan ya Nasyiatul Aisyiyah dan Aisyiyah disebut juga?”.
Ya wajar, karena seminar ini mengangkat tema tentang peran perempuan, maka yang disebut adalah perempuan-perempuan Islam pastilah muslimat. Saya sangat heran kok bisa ya perempuan pintar bicara bahasa Arab? Fasih, gak ada canggungnya. Namun saya belum paham juga. Terjemahan yang diberikan juga terlalu singkat. Seperti inti sari dari ceramah Doktor Nahla.
Penanya Pertama
Saat sesi tanya jawab, saya memberanikan diri angkat tangan dan ditunjuk pertama.
“Ya Doktor Nahla, saya teringat beberapa tahun yang lalu saya sangat suka membaca novel Perempuan di Titik Nol. Saya tidak tahu judul aslinya apa, tapi ini novel karangan dokter Nawal El Shaddawi dari Mesir. Pada satu sisi perempuan diharapkan dengan kondisinya di dalam agama banyak yang kemudian mengungkung, melarang aktivitas perempuan di luar, termasuk adanya penafsiran ayat-ayat misogini. Ayat maupun hadits misogini yang justru merugikan perempuan. Sementara di sisi lain perempuan itu terjajah oleh narasi-narasi para feminis yang ternyata sangat-sangat merendahkan perempuan. Nah ini apa sebenarnya yang harus dilakukan perempuan ketika kondisi seperti itu?. Itu sih pertanyaan saya.
Alhamdulillah gara-gara pertanyaan saya itu, saya mendapatkan doorprize dan bisa foto bersama Doktor Nahla. Ini sangat membuat saya bahagia. Setidaknya bisa berfoto dengan seorang yang sangat luar biasa, tentu harapannya bisa menjadi luar biasa pula.
Ya, gara-gara berburu sertifikat, saya akhirnya bisa bertemu dengan tokoh internasional dari Universitas Al Azhar Mesir. Terima kasih Umsida! (*)