PWMU.CO – Shalat Idul Fitri 1445 di Masjid KH Ahmad Dahlan Gresik berlangsung khidmat, Rabu (10/4/2024). Langit yang cerah dan sejuknya udara pagi membuat jamaah yang memadati parkir timur tak beranjak sampai khotbah selesai disampaikan oleh Prof Dr Biyanto MAg.
Mengawali khotbahnya, Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur itu mengungkapkan rasa syukurnya karena pemerintah dan ormas-ormas besar bisa melaksanakan Idul Fitri di hari yang sama, meskipun ada perbedaan dalam mengawali puasa Ramadhan.
Menyinggung beberapa jamaah atau tarekat yang merayakan Idul Fitri terlebih dahulu, seperti komunitas Muslim di Gunung Kidul pimpinan Mbah Benu, Biyanto berharap bahwa perbedaan-perbedaan di antara umat Islam bisa diselesaikan dengan baik.
“Tentu kita berharap perbedaan itu pada akhirnya bisa diselesaikan dengan baik, dengan ikhtiar baik, dengan dialog-dialog yang dikembangkan dengan alim ulama sehingga umat Islam tidak bercerai-berai dalam hal-hal yang meskinya bisa disepakati,” katanya.
Mengutip Surat al-Hujurat 10, Biyanto mengatakan sepanjang keimanan itu masih ada di hati sanubari, maka sebesar apapun perbedaan itu masih berpeluang untuk dipersaudarakan atau dipersatukan.
“Karena itu keimanan menjadi syarat penting supaya kita semua menjadi orang yang bisa dipersaudarakan,” katanya.
Guru Besar Bidang Filsafat UINSA Surabaya itu lalu mengaitkan dengan perbedaan pilihan pada Pemilu 2024. “Meskipun mungkin kita berbeda pilihan, ada yang 01, ada yang 02, ada yang 03, tapi hari ini kita 0-0. Hari ini kita sama-sama menyatakan taqabbalallahu minna waminkum, semoga Allah SWT menerima amal ibadah kita,” katanya.
Menyodorkan modal kedua dalam menyikapi perbedaan, aktivis asal Laren Lamongan itu mengutip kalimat bijak Menteri Pendidikan Nasional Kabinet Gotong Royong Prof Abdul Malik Fadjar: “Dadi wong Islam itu kudu luwes (jadi orang Islam itu harus luwes). Nek (jika) kita luwes maka kita akan menjadi luas dalam beragama,” tuturnya.
Biyanto menjelaskan, makna kata luas dan luwes itu sangat mendalam. Luas berarti memiliki pergaulan luas. Oleh karena itu, kata dia, jika di antara kita ada yang berbuat kesalahan, maka di kesempatan Idul Fitri ini kita harus jembar (luas) untuk menerima permintaan maaf dari orang-orang yang pernah berbuat khilaf atau salah.
“Menjadi Muslim itu, kata Pak Malik, juga harus luas ilmunya, luas jangkauan pergaulannya, harus luas jam terbangnya,” ujarnya.
Biyanto juga menghubungkan soal luwes dan luas itu dengan bahasa gaul anak-anak muda. “Kalau ada orang sedang marah, ada orang-orang yang berbeda dengan dirinya, maka orang itu dikatakan orang yang kurang piknik, orang yang kurang wisata. Karena itu anak-anak muda mengembangkan filosofi apa yang disebut filsafat ngopi. Ngopi-nya harus hitam, ngopi-nya harus kental, ngopi-nya harus jauh.”
Menurut Biyanto kalau ngopi-nya jauh maka radius pergaulan kita akan menjadi sangat luas. “Kalau kita luas pergaulannya, luas pandangan keagamaannya,dan mendalam kajian keislamannya maka insyaallah dalam beragama kita akan menjadi luwes, terutama luwes dalam menyikapi perbedaan-perbedaan yang pasti ada di antara kita,” tuturnya.
Soal menyikapi perbedaan itu, Biyanto juga mengutip kalimat bijak yang sering secara salah kaprah dianggap sebagai hadits padahal bukan, yaitu ‘Ikhtilafu ummati rahmah’. Perbedaan di kalangan umatku itu adalah rahmah.
Menjelaskan kalimat bijak tersebut, Biyanto mengutip Muhammad Asad, seorang ilmuwan asal Austiia yang bernama asli Leopold Weiss: “Dalam orang-orang yang berbeda yang kemudian perbedaan itu melahirkan rahmat, itu adalah orang-orang yang berilmu.”
Biyanto menegaskan, sepanjang orang itu berilmu maka perbedaan-perbedaan yang terjadi pasti akan melahirkan rahmat sebagaimana firman Allah di ujung Ayat 10 Surat Al-Hujurat: “Wattakullaah laalkum turhamun. Bertakwalah pada Allah supaya kamu mendapat rahmat.”
Oleh karena itu, bila perbedaan itu dialami oleh orang-orang yang terdidik, oleh orang-orang yang berilmu pengetahuan, maka insyallah perbedaan-perbedaan itu akan melahirkan rahmat. Akan tetapi kalau perbedaan itu dialami oleh orang-orang yang dangkal keagamaannya, orang-orang yang tidak luas pergaulannya—kata anak-anak muda yang ngopi-nya kurang jauh—maka seringkali perbedaan itu melahirkan kegaduhan. Bahkan dalam tingkat tertentu perbedaan itu bisa melahirkan murka Allah SWT.
Perbedaan Itu Ujian
Dalam pandangan Biyanto, perbedaan-perbedaan itu adalah ujian. Sebagaimana pernah dialami oleh Buya Hamka dengan Bung Karno seperti dikisahkan Irfan Hamka dalam bukunya, Ayah. Ada perbedaan yang tajam antara Buya Hamka dan Bung Karno menyangkut politik, ideologi, dan paham keagamaan.
“Bahkan dalem fase hubungan yang sangat buruk, Presiden Sukarno pernah—tanpa proses pengadilan yang jelas—kemudian (Buya Hamka) dijebloskan ke dalam tahanan,” kata Biyanto mengutip Ayah. Buya Hamka dipenjara selama 2 tahun 4 bulan sejak Januari 1964 hingga Mei 1966.
Buya Hamka tentu menderita hidup di balik jeruji. Bahkan keluarganya kehilangan sumber nafkah akibat perlakuan itu. Tapi Buya Hamka berpikir positif dengan ujian tersebut. Dia ingat firman Allah dalam al-Baqarah 216: “…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Dengan berpikir positif atas ujian dipenjara itulah Buya Hamka akhirnya bisa menyelesaikan karya monumental Tafsir Al-Azhar. “Kalau bukan karena Presiden Sukarno saat itu tidak pernah memenjarakan saya, maka karya ini tidak pernah lahir, karya ini tak pernah ada,” kata Biyanto mengutip Buya Hamka.
“Itulah makna di balik apa yang terjadi pada seseorang,” kata Biyanto sambil mengutip Surat al-Insyirah Ayat 5-6: “Fainna maal usri yusra, inna maal usri yusra. Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.”
Karena itu, kata Biyanto, tugas kita adalah mencari hikmah di balik ujian yang diberikan Allah. Kalau yang diujikan itu sesuatu yang baik maka nikmatilah tapi jangan berlebihan. Dia pun berpesan pada para kontestan yang sukses pada Pemilu 2024,
“Maka berbahagialah tapi jangan sampai berlebihan-lebihan dalam merayakan kebahagiaan. Kalau sampai berlebihan merayakan kemenangan, apalagi sampai jauh dari Allah, maka dia akan ditimpakan kesulitan-kesulitan,” tuturnya.
“Sebaliknya yang gagal juga dilarang dilarang untuk pesimis karena hidup itu selalu berputar,” imbuhnya seraya mengutip Surat Ali Imran 140: “… Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada’. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.”
Biyanto menegaskan, ayat di atas mengajarkan pada prinsip hidup yang disebut mudawalah yakni pergiliran, bahwa hidup ini seperti roda yang berputar. Kadang di atas kadang di bawah, terus bergerak.
“Karena itu yang di atas jangan jauh dari Allah SWT, yang di bawah pun jangan sampai pesimis karena apa yang ditimpakan Allah pada kita sesungguhnya adalah baik untuk kita masing-masing,” katanya.
Itu pula yang dialami Buya Hamka. Saat Presiden Sukarno wafat, Buya Hamka mendapat wasiat dari Bung Karno untuk memimpin shalat jenazah tokoh yang pernah memenjarakannya itu. Hebatnya, Buya Hamka yang pernah disakiti Bung Karno itu berhati lembut.
“Sikap Buya Hamka yang tegas itu juga disertai dengan hatinya yang gampang melelah, mudah sekali memaafkan. Maka wasiat itu pun ditunaikan Buya Hamka. Tanpa ragu-ragu kemudian menuju Wisma Yaso dan tanpa ragu-ragu pula Buya Hamka mengambil posisi sebagai imam shalat bagi Presiden Sukarno,” cerita Biyanto.
Usai shalat jenazah, murid Buya Hamka ada yang protes mengapa Buya Hamka mau menyalati orang yang telah memenjarakannya, “Mengapa engkau mau menyalatkan orang yang telah mezalimimu?” Bahkan ada yang bertanya mengapa Buya Hamka mau menyalatkan orang munafik.
Buya Hamka dengan enteng menjawab para muridnya itu, “Persoalan Sukarno itu munafik atau tidak, biarlah itu menjadi urusan Sukarno dengan Allah SWT. Yang pasti Sukarno itu meninggal dalam keadaan Muslim. Dan sebagai sesama Muslim kita berkewajiban merawat jenazahnya dengan penuh kehormatan. Biarlah urusan-urusan lain itu menjadi urusan Sukarno dan Allah SWT.”
Buya Hamka mengatakan, barangkali Sukarno punya kesalahan tetapi sesungguhnya Sukarno juga punya jasa yang sangat besar di antaranya membangun Masjid Istiqlal dan Masjid Baiturahim di kompleks Istana. “Kalau bukan karena buah karya Sukarno maka masjid itu tidak pernah ada. Biarlah semua itu menjadi amal baik di hadapan Allah SWT,” kata Buya Hamka.
Biyanto menegaskan, itulah contoh persaudaraan sejati yang dipertemukan karena masing-masing masih memiliki keimanan. “Oleh karena itu di hari yang baik ini, sebesar apapun kesalahan saudara-saudara kita terhadap kita, maka marilah kita maafkan,” kata Biyanto lalu mengutip Surat Ali Imran 134.
Menurut Biyanto ayat itu mengajarkan bagaimana konsep menghadapi orang-orang yang pernah berbuat salah pada kita. “Pertama, wal kaẓiminal gaidh, menahan amarah supaya kita tidak membalas keburukan-keburukan yang pernah dia lakukan,” tuturnya.
Kedua wal afina aninas, memaafkan mereka. Ketiga, bukan sekadar menahan marah dan memaafkan, tetapi berbuat baik pada orang yang pernah berbuat salah pada kita. Wallahu muhibbul muhsisin. Allah sangat mencintai orang-orang yang berbuat baik.
Biyanto menutup khotbah dengan pesan, “Marilah sepulang dari shalat ini kita mengikhlaskan meridhakan, kesalahan-kesalahan saudara kita, karena kita ada di cermin itu.” (*)
Penulis Mohammad Nurfatoni