PWMU.CO – Materi khutbah wuquf 9 Dzulhijjah 1445 H dengan tema “Refleksi Perintah Ibadah Haji dan Kurban” disampaikan H Ali Fauzi SAg MPdI selaku Pembimbing Ibadah Kloter SUB 101. Perintah ibadah haji dan kurban identik dengan kisah Nabi Ibrahim AS sebagai simbol dari perjuangan hidup untuk mempertahankan eksistensi ketauhidan, ketulusan ketaatan, dan kemanusiaan.
Keberhasilan Ibrahim AS dalam mempertahankan tiga eksistensi itulah sehingga namanya diabadikan dalam al-Qur’an, lalu dijadikan teladan kehidupan bagi umat Islam dan manusia pada umumnya.
Sesungguhnya Ibrahim adalah umat yang taat kepada Allah lagi hanif (lurus). Dan tidak termasuk orang-orang yang musyrik (An-Nahl, 16; 120).
Perjuangan Ibrahim dalam mempertahankan ke-tauhidan harus dibayar mahal dan penuh pengorbanan. Ketika masih usia remaja, dia harus berpisah dari keluarganya karena diusir oleh ayahnya. Hal itu disebabkan karena perbedaan keyakinan tentang ketuhanan.
Saat usianya yang muda, Ibrahim harus rela dibakar hidup-hidup oleh raja Namrud. Sekalipun di usia belia, Ibrahim harus pergi dari rumah tetapi hidupnya selalu terjaga apalagi sampai terlantar. Jilatan api yang menyala pun tak mampu menyentuh kulit Ibrahim karena dijaga dan diselamatkan Allah SWT.
Perintah ibadah haji dan kurban mengajarkan kepada kita bahwa jika dalam menjalani hidup ini dilandasi dengan kepasrahan, dan semua disandarkan hanya kepada Allah. Maka hidup kita akan senantiasa dijaga dan diselamatkan Allah SWT.
Kalimat talbiyah dan takbir menunjukkan bagaimana kebesaran Allah SWT yang tidak bisa disamakan dengan apapun yang ada dimuka bumi ini. Tidak lupa di saat berlimpah nikmat dan tidak sedih serta putus asa saat dirundung masalah. Tidak mengorbankan aqidah hanya karena urusan dunia.
Eksistensi Ketulusan dalam Ketaatan
Nabi Ibrahim tidak takut dan tidak berpikir panjang ketika datang perintah Allah, salah satunya meninggalkan istri dan anaknya yang masih bayi di lembah tandus dan tidak ada kehidupan. Nabi Ibrahim tidak berpikir keluarganya nanti bisa hidup atau tidak. Ketika lama berpisah dan kumpul kembali dengan keluarganya, datang perintah Allah untuk menyembelih putranya yang bernama Ismail.
Ketulusan nabi Ibrahim dalam ketaatan dibalas oleh Allah dengan dikabulkanya doanya yaitu, Makkah berlimpah dengan nikmat serta didatangi oleh jutaan umat Islam seluruh dunia untuk beribadah haji dan umrah. Ismail tidak jadi disembelih tetapi diganti oleh Allah dengan domba yang besar.
Pelajaran berharga bagi kita bahwa jika tulus dalam ketaatan kepada Allah, maka akan dibalas dengan yang lebih banyak. Biaya ibadah haji dan uang yang dikeluarkan untuk berkurban tidak akan menjadikan miskin dan menderita, akan tetapi justru sebaliknya akan dibalas oleh Allah dengan yang lebih. Sering kali manusia dalam menjalankan perintah Allah masih terselip muatan-muatan lain dan berharap sesuatu selain dari Allah.
Dalam pelaksanaan thawaf maupun sa’i tidak dibenarkan saling menyakiti sekalipun berdesak-desakan. Daging kurban maksimal sepertiga boleh diambil pengkurban dan selebihnya dibagikan kepada yang lain. Pakaian ihram serba putih, tidur dalam tenda Arafah Mina berhimpit-himpitan, mengantri ke toilet dengan tidak memandang pangkat, jabatan maupun titel.
Hal tersebut menunjukkan bahwa eksistensi kemanusiaan dari perintah haji dan kurban, dalam hidup yang beragam suku dan bangsa tidak saling menyakiti baik ucapan maupun perbuatan, saling menghormati perbedaan dan tidak merasa diri paling, serta memiliki kepedulian. Manusia di hadapan Allah adalah sama, hanya ketaqwaan yang membedakan kualitas manusia.
Kemabruran sepulang berhaji adalah tidak cukup dengan bertambah rajin shalat berjamaah, ribuan wirid, dan berapa kali menghatamkan al-Quran. Kemabruran haji juga sangat ditentukan oleh bagaimana kualitas ketawakkalan kepada Allah, ketulusan dalam ketaatan, dan menjaga hubungan baik terhadap sesama manusia.
Kelebihan ilmu, harta maupun kekuasaan tidak semakin untuk memperkaya diri sendiri tetapi bermanfaat bagi orang lain. Mengikis sifat sombong dan egosentris dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan bermasyarakat.(*)
Penulis: Fu’adah Editor: Amanat Solikah