M. Ainul Yaqin Ahsan, Pengasuh Ponpes Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan
PWMU.CO – Mustadz’afin menurut mufassirin memiliki makna yang beragam. Jika kita mengkaji akar kata dari istilah yang tertulis dalam Al Quran, maka mustadz’afin memiliki arti pihak lemah atau yang dilemahkan berkaitan dengan konteks ekonomi, kebebasan dan fisik. Istilah Fuqara (orang-orang fakir) kita temukan dalam Al Quran untuk menunjukkan mustadz’afin pada konteks lemah ekonomi, ditemukan juga kata Masakin (orang-orang miskin) dan al Mahrum (orang yang tidak meminta-minta untuk menjaga kehormatan). Selain itu, banyak ditemukan istilah lain yang diterjemahkan dan mempunyai makna yang sama namun jika dijabarkan akan memiliki esensi dan spesifikasi yang berbeda.
Pemahaman tentang makna mustadz’afin berbanding lurus dengan pemahaman kita terhadap Dzauqul lughah (perasaan bahasa), penguasaan Musthalah al Lughoh (istilah-istilah bahasa) yang digunakan dalam pokok bahasan dan memahami Sighat Mubalaghoh (ilmu semantik). Konteks mustadz’afin kontemporer dipahami oleh K.H. Dr. Slamet Firdaus (ahli tafsir asal Cirebon) bahwa mustadz’afin adalah orang yang mengalami salah satu atau keempat kondisi berikut: lemah ekonomi, lemah fisik, lemah ilmu dan lemah karena tidak memiliki otonomi diri. Islam membela Abu Bakar yang dizalimi orang-orang kafir Quraisy, meski secara ekonomi Abu Bakar adalah orang kaya. Nabi Musa membela orang-orang miskin yang diperbudak fir’aun pada zaman nya, demikian juga orang-orang kaya dari bani israil. Al Quran secara spesifik menggambarkan bagaimana Allah SWT memerdekaan mereka.
ثُمَّ رَدَدْنَا لَكُمُ ٱلْكَرَّةَ عَلَيْهِمْ وَأَمْدَدْنَٰكُم بِأَمْوَٰلٍ وَبَنِينَ وَجَعَلْنَٰكُمْ أَكْثَرَ نَفِيرًا
Artinya:
Kemudian Kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar. (Q.S. Al-Isra’ : 6)
Penindasan adalah Musuh Bersama
Penindasan dan despotisme kekuasaan terhadap kaum mustadz’afin adalah musuh utama Nabi dan Rasul. Nabi Muhammad membebaskan kaum lemah Arab dari despotisme kekuasaan yang pada waktu itu di kuasai oleh petinggi suku. Kaum budak, kaum miskin dan kaum perempuan diangkat harkat dan martabatnya, tidak ada beda orang kaya dengan orang miskin, kulit hitam dengan kulit merah, orang arab dengan non-arab, semua sama dimata Allah (lihat musnad Ahmad, No 22391).
Mereka kemudian menjadi orang yang tangguh dan menyerahkan apa yang mereka miliki untuk menopang perjuangan Nabi Muhammad Upaya membebaskan diri dari ketertindasan sosial telah Allah firmankan dalam Q.S. An Nisa (4) ayat 97, dalam ayat ini Allah SWT memberikan Ghirah untuk melawan penindasan sosial. Allah SWT memberi potensi kepada Manusia untuk melawan penindasan, namun mereka tidak mau melakukan perlawanan atas penindasan sehingga mereka termasuk orang zalim (menganiaya) terhadap diri mereka sendiri. Abad Badruzaman menulis di buku Teologi Kaum Tertindas: Kajian Tematik Ayat-ayat Mustadh’afin dengan Pendekatan Keindonesiaan, halaman ke 81, bahwa tugas Nabi dan para pejuang kemanusiaan adalah memberikan spirit perjuangan untuk melawan penindasan, dan sekaligus “turun gunung” menggugat despotisme kekuasaan.
Ketertindasan bukan sekadar penyampingan ekonomi tetapi juga penyampingan hak-hak sosial, hak politik dan budaya. Lemahnya nilai kehidupan bermasyarakat, perampasan dan diskriminasi sosial-politik dianggap suatu hal yang lumrah, dampak yang terjadi tentu berpengaruh dalam kultur budaya, yaitu adat dan etika. Mereka hanya menjadi bahan tertawaan yang dibuat oleh saudaranya sendiri. Inilah yang ditentang Islam, bahkan Al-Quran menjustifikasi mereka sebagai para pendusta agama, yaitu bagi yang menindas anak yatim dan tidak memberdayakan orang-orang miskin.
Pembebasan dari Ketertindasan Sosial
Nabi Muhammad dengan ghirah Al-Quran telah membebaskan kaum mustadz’afin dari ketertindasan sosial. Cara yang Nabi tempuh adalah Pertama, tidak menimbun harta, kontemplasi terhadap surat At-Takatsur. Menimbun harta telah melalaikan manusia dalam beramal, Ibnu Taimiyah dalam tafsirnya halaman 174 menjelaskan bahwa manusia menjadi lalai karena waktunya hanya dihabiskan untuk membanggakan diri dengan hartanya, sedangkan mereka tidak berlomba-lomba atau saling mengejar untuk meraih ridho Allah SWT.
Kedua, sedekah dan menyantuni anak yatim (lihat Surat Al-Maun, shahih Muslim no. 5296, shahih al-Bukhori no. 5546 atau no. 6005 versi Fathul Bari), dijelaskan bahwa orang yang tidak menyantuni anak yatim dan tidak memberikan makan (sedekah) orang miskin padahal dia mampu melakukan itu, maka dia adalah pendusta agama. Mereka shalat namun lalai dan meremehkan shalat. Ibadahnya tidak diniatkan karena Allah, melainkan untuk mendapat pujian dari manusia.
Ketiga, dengan Zakat. Islam melihat agar harta tidak berputar dan menumpuk dikalangan orang-orang kaya. Penerapan Zakat lebih sistematis karena harta dari kaum kaya akan terdistribusi secara utuh sehingga ukhuwah islam terjalin kuat dan kaum miskin menjadi sejahtera. Harta dibagi sesuai dengan Firman Allah SWT dalam Al Quran surat at-Taubah (9) ayat 103, “Ambillah zakat dari sebagaian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka”. Ibadah yang mulai terlupakan dikalangan kaum muslimin adalah ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Zakat tidak hanya zakat fitrah, melainkan juga zakat mal (harta) yang memenuhi hisab.
Zakat mal ini dalam realitas dilapangan belum diimplementasikan dengan terstruktur dan tertib. Padahal, jika lembaga zakat otoritatif itu mengambil zakat dari masyarakat yang wajib berzakat mal, kemudian zakat tersebut dikelola dengan baik, maka insyaAllah distribusi zakat mal tersebut akan menjadi bagian dari suksesi stabilisasi ekonomi umat. Perlu digaris bawahi, bahwa lembaga zakat sejatinya bukan hanya menunggu muzakki sambil menadahkan tangan, tetapi mustinya juga berani mengambil zakat dari orang yang wajib berzakat. Bagaimana regulasi, hak otoritatif dan sistem pengambilan zakat mal tersebut? Bisa dibahas dan di ijtihadkan oleh mereka yang berada di lembaga zakat.
Editor Teguh Imami