PWMU.CO – Puncak Ibadah haji, yaitu wukuf di Arofah, mabit di Muzdalifah, bermalam dan melempar jumroh di Mina berlangsung tanggal 8 hingga 13 Dzulhijah 1445 H, Jumat-Rabu (14-19/06/2024).
Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia memberi dua pilihan bagi jamaah calon haji Indonesia dalam melaksanakan rangkaian rukun haji tersebut.
Pilihan Pertama Rangkaian Rukun Haji
Pilihan pertama, jamaah meninggalkan Makkah enam hari, mulai tanggal 7 Dzulhijjah malam menuju Mina untuk mengambil sunah Tarwiyah 8 Dzulhijjah.
Pada tanggal itu jamaah selama sehari semalam tinggal di Mina.
Lalu, keesokannya tanggal 9 Dzulhijah pagi menuju Arofah untuk melaksanakan wukuf saat dhuhur hingga Maghrib.
Setelah itu, jamaah bergeser ke Muzdalifah untuk Mabit (bermalam) hingga subuh, 10 Dzulhijjah dan kembali ke tenda di Mina serta melakukan jumrah aqabah.
Kemudian, 11 – 13 Dzulhijjah berturut-turut melakukan jumrah ula, wustho, dan aqobah.
Selesai itu, jemaah dijemput bus untuk di bawa kembali ke Makkah.
Pilihan Ini untuk jemaah yang mengambil Nafar Tsani.
Pilihan Kedua Rangkaian Rukun Haji
Pilihan kedua, jamaah hanya tiga hari meninggalkan hotel di Makkah.
Jamaah dalam hal ini tidak mengambil sunah tarwiyah, juga tidak mengambil Nafar Tsani, namun hanya Nafar ula.
Jamaah langsung dari hotel menuju ke Arofah untuk melaksanakan Wukuf.
Selepas maghrib, jamaah mulai bergeser menuju Muzdalifah untuk mabit semalam dan paginya baru menuju Mina guna melakukan jumrah Aqabah.
Lanjut di hari tasyriq pertama dan kedua melempar jumrah ula, wustho, dan aqobah pada 11 – 12 Dzulhijjah.
Selepas itu, jamaah kembali ke Makkah.
PPIH Terapkan Skema Murur
Sebagai upaya menjaga keselamatan, jamaah haji, khususnya jamaah beresiko tinggi (Resti), lanjut usia (Lansia), dan yang berkebutuhan khusus (disabilitas), petugas penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi menerapkan mabit di Muzdalifah dengan skema murur.
Skema murur ini baru diterapkan pada penyelenggaraan ibadah haji 1445 H/2024 M, sebagai ikhtiar menjaga keselamatan jiwa jamaah haji atas potensi kepadatan di tengah terbatasnya area Muzdalifah.
Mabit di Muzdalifah dengan cara murur adalah mabit (bermalam) yang dilakukan dengan cara melintas di Muzdalifah, setelah menjalani wukuf di Arafah.
Jamaah saat melewati kawasan Muzdalifah tetap berada di atas bus dan tidak turun dari kendaraan.
Lalu, bus langsung membawa mereka menuju tenda di Mina.
“Tahun ini, kita akan terapkan skema murur untuk mabit di Muzdalifah.
Kebijakan ini kita terapkan setelah menimbang kondisi spesifik terkait potensi kepadatan di tengah terbatasnya area Muzdalifah,” terang Direktur Layanan Haji Luar Negeri, Subhan Cholid di Makkah
“Skema murur ini menjadi ijtihad dan ikhtiar bersama dalam menjaga keselamatan jiwa jsmaah haji Indonesia,” sambungnya.
Skema Murur
Subhan menjelaskan, area untuki jamaah haji Indonesia seluas 82.350 m2.
Pada pelaksanaan ibadah haji tahun 2023, area ini ditempati sekitar 183.000 jamaah haji Indonesia yang terbagi dalam 61 maktab.
Sementara, ada sekitar 27.000 jemaah haji Indonesia terbagi di 9 maktab yang menempati area Mina Jadid.
Setiap jamaah saat itu hanya mendapatkan ruang atau tempat sekitar 0,45 m2 di Muzdalifah.
“Ini saja sudah sangat padat,” jelas Subhan Cholid.
Tahun 2024, Mina Jadid tidak lagi ditempati jemaah haji Indonesia, sehingga, 213.320 jemaah dan 2.747 petugas haji akan menempati seluruh area Muzdalifah.
Padahal, tahun ini juga ada pembangunan toilet yang mengambil tempat di Muzdalifah seluas 20.000 m2.
Ruang yang tersedia untuk setiap jamaah jika semuanya ditempatkan di Muzdalifah adalah 62.350 m2.
Luas tersebut dibagi 213.320 jamaah, sehingga tiap jemaah mendapat jatah luas 0,29 m2.
“Tempat atau space di Muzdalifah menjadi semakin sempit dan ini berpotensi kepadatan luar biasa yang jika dibiarkan akan dapat membahayakan jamaah.
Maka dari itu, kita akan menerapkan skema murur saat mabit di Muzdalifah,” tegas Subhan.
“Ini bukan hanya dialamai jemaah haji Indonesia, tapi juga jamaah dari seluruh dunia.
Hal itu karena tempat yang tersedia di Muzdalifah memang dibagi rata sesuai jumlah jemaah tiap negara.
Makanya, selama ini skema murur juga diterapkan oleh sebagian besar jamaah haji asal Turki dan sejumlah Afrika,” sambung Subhan.
“Menjaga keselamatan jiwa (hifdu an-nafs) pada saat jamaah haji saling berdesakan termasuk uzur untuk meninggalkan mabit di Muzdalifah.
Ini merupakan alasan kuat sebagai uzur untuk dapat meninggalkan mabit di Muzdalifah dan hajinya sah juga tidak terkena kewajiban membayar dam.
Sebab, kondisi jamaah yang berdesakan borpotensi menimbulkan mudharat atau masyaqqah dan mengancam keselamatan jiwa jemaah,” ujar Subhan.
Kontributor Mustain Masdar Editor Zahra Putri Pratiwig