Edi Purwanto (Foto: PWMU.CO)
Edi Purwanto – Wartawan senior/MPID PWM Jatim
PWMU.CO – GANOL-ganol. Dua dekade lalu, istilah ini menjadi teka-teki bagi para wartawan muda. Ganol-ganol, rupanya, adalah kode untuk Pasal 303 dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang mengatur masalah perjudian.
Pasal 303 KUHP mengancam para pelaku judi tanpa izin dengan pidana penjara hingga sepuluh tahun atau denda maksimal dua puluh lima juta rupiah. Tak peduli apakah berjudi kartu remi, togel, atau adu balap merpati, semua dijerat dengan pasal ini. Kini, peraturan tersebut diperluas dalam Pasal 27 Ayat (2) UU ITE 2024, yang menegaskan sanksi terhadap mereka yang mendistribusikan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang bermuatan perjudian, dengan ancaman penjara enam tahun dan denda hingga satu miliar rupiah.
Ketika Presiden Joko Widodo membentuk Satgas Judi Online pada 14 Juni 2024, ingatan saya kembali ke tahun 2005. Jenderal Sutanto, sang Kapolri, saat itu memerintahkan pemberantasan perjudian dan premanisme dengan tegas. Sutanto, yang pernah memimpin sebagai Kapolda Jawa Timur, melanjutkan misinya untuk memberantas perjudian di seluruh Tanah Air. Dengan tegas, ia mengultimatum Kapolda yang tak sanggup melaksanakan instruksinya dengan ancaman pencopotan.
Perintah Sutanto membawa efek nyata. Setiap hari, polisi menangkap para pelaku ganol-ganol. Suasana di internal kepolisian, terutama di Polda Jatim, terasa berubah drastis. Namun, teknologi berkembang, dan judi kini bertransformasi ke dunia digital. Kasino online, taruhan olahraga, togel online, dan judi slot online dengan mudah merambah melalui gawai pintar.
Presiden Jokowi, dalam memerangi judi online, menunjuk Menko Polhukam Hadi Tjahjanto sebagai Ketua Satgas. Berbeda dengan Sutanto yang memilih pembersihan internal Polri, Hadi mengutip data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), langsung mengungkap 164 wartawan yang terlibat judi online.
Pernyataan ini tentu bak petir di siang bolong, mengguncang dunia jurnalistik dan meruntuhkan kepercayaan publik pada profesi wartawan.
Hadi menyebutkan bahwa data PPATK menunjukkan nama, alamat, dan transaksi judi online wartawan hingga 6.899 kali dengan nominal Rp1,477 miliar. Tentu ini sebuah cermin buram betapa dalamnya praktik judi online merasuk ke semua lini kehidupan, termasuk jurnalistik.
Bila dirunut ke belakang, tiga tugas utama Satgas Judi Online adalah: menindak rekening penampungan judi online, menangani pelaku jual beli rekening, dan menyaring gim online yang terafiliasi judi online.
Sejak perang terhadap judi online dideklarasikan 14 Juni 2024, internal pemerintah juga mendapat serangan. Seperti serangan siber pada Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 20 Juni 2024. Serangan hacker ini mencatatkan diri sebagai salah satu yang paling parah dalam sejarah peretasan data pemerintah.
Gangguan serius akibat ransomware Lockbit 3.0 menyebabkan layanan Direktorat Jenderal Imigrasi dan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) terhambat. Meskipun permintaan tebusan US$8 juta ditolak pemerintah, serangan ini menunjukkan lemahnya sistem pertahanan siber.
Belum lagi isu-isu oknum polisi yang diduga membekingi judi online. Isu ini dilempar Indonesia Police Watch (IPW) saat terjadi kasus pembunuhan dengan terpidana mantan Irjen Pol Ferdy Sambo tahun 2022. Hingga 2024, isu tentang oknum polisi yang diduga melindungi praktik judi online menguap seperti tanpa bekas.
Barangkali Ketua Satgas Judi Online lupa dengan peribahasa ‘menepuk air di dulang terpercik ke muka sendiri’. Wartawan adalah salah satu elemen penting dalam keberhasilan Satgas memberantas judi online.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Nani Afrida, mempertanyakan pernyataan Hadi Tjahjanto. “Dari mana bisa teridentifikasi 164 wartawan?” tanyanya, meragukan keabsahan data dan metode pengumpulan yang digunakan Satgas.
Nani mendorong transparansi dalam upaya pemerintah memberantas judi online, menegaskan bahwa wartawan yang terlibat harus diproses sesuai hukum. Namun, narasi yang lebih besar harus dibangun: musuh bersama adalah perjudian dalam segala bentuknya.
Sebaiknya urusan internal pemerintah harus dibereskan lebih dulu. Klarifikasi dan tindak oknum-oknum aparatur yang diduga menjadi beking perjudian entah online atau offline. Wartawan adalah orang sipil yang hanya bisa memberitakan langkah-langkah Pemerintah, sementara aparatur negara memiliki tools untuk memblokir situs-situs judi. Mereka punya pistol untuk menembak dan menghukum bandar-bandar judi.
Perang melawan judi harus dirasakan nyata oleh masyarakat, bukan sekadar retorika dalam konferensi pers. Semoga Menko Polhukam lebih bijak dalam menyampaikan narasi dan informasi, agar tujuan utama memberantas perjudian tercapai.
Editor Teguh Imami