Oleh: Gus Sholikh Al Huda Dr MFilI (Direktur Akademi Mubaligh Muhammadiyah Jawa Timur & Pengamat Sosial-Politik UM Surabaya)
PWMU.CO – Izin Usaha Pertambangan (IUP) oleh Pemerintahan Presiden Jokowi kepada Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Keagamaan (baca: Muhammadiyah) menjadi polemik pro-kontra dikalangan jama’ah Muhammadiyah. Ada sebagian jama’ah yang menerima dan sebagian menolak dengan berbagai argumentasi yang disampaikan.
Izin Usaha Pertambangan (IUP), merupakan izin yang penerbitannya oleh pemerintah kepada badan usaha atau perorangan untuk melakukan kegiatan pertambangan dalam skala tertentu di suatu wilayah. Wilayah Indonesia memiliki kekayaan yang besar terutama mineral dan gas bumi.
Sehingga perlu suatu metode pengambilan dari dalam tanah, sehingga diperlukan Izin Usaha Pertambangan (IUP) sebagai salah satu indikator apakah usaha tersebut memiliki dampak positif juga terhadap kehidupan masyarakat sekitar dan lingkungannya. Selain itu pula menjadi suatu jaminan bahwa kegiatan pertambangan tersebut akan melakukan proses rehabilitasi terhadap lingkungannya yang rusak.
Kegiatan pertambangan merupakan salah satu usaha ekstraktif yang memiliki resiko tinggi. Selain itu juga sangat berdampak terhadap lingkungan sekitar, baik hayati maupun masyarakat yang terlibat langsung. Alasannya seringkali kegiatan ini dilakukan di hutan yang menjadi tempat hidup penduduk sekitar. Penambangan merupakan usaha di mana kegiatannya berdampak langsung pada masyarakat. Sehingga diperlukan kajian yang sistematis untuk mengetahui apakah manfaatnya jauh lebih besar daripada kerusakan yang akan di dialami oleh masyarakat.
Berangkat dari kajian tambang di atas, menjadikan beragam respon di kalangan Jama’ah Muhammadiyah, sehingga menjadi polemik sengit. Polemik tersebut terpotret di berbagai platform media sosial (Group WA, Facebook, Instagram, Twitter) jaringan warga Muhammadiyah. Polemik tersebut disebabkan mengurus tambang adalah hal baru bagi Muhammadiyah. Sementara selama ini Muhammadiyah dikenal dengan fokus dan ahli teruji dalam mengurus pendidikan dan kesehatan bukan pertambangan.
Maka tulisan ini coba memotret secara sosiologis respon Jama’ah Muhammadiyah dalam merespon sikap PP Muhammadiyah dalam penerimaan Izin Usaha Tambang (IUP) berdasarkan percakapan di media sosial. Hemat penulis secara sosiologis, terpotret dua arus besar respon jama’ah Muhammadiyah dan respon tersebut tidak lepas dari kesadaran ideologi dan sosiologis mereka. Pemetaan ini saya nisbahkan dengan sebutan atau istilah Kelompok Islam “tambang” Berkemajuan dan Islam “tambang” Berketakutan.
Pertama, karakter (ciri) kelompok Islam “tambang” Berkemajuan adalah jama’ah Muhammadiyah yang secara pemikiran dan sikapnya menerima dan mendukung sikap PP Muhammadiyah untuk menerima Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia.
Karakter kelompok ini cenderung berpikir optimis, prasangka positif, berani ikhtiar, berorientasi kedepan dan berkemajuan. Penerimaan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diputuskan oleh PP Muhammadiyah adalah sikap yag sudah tepat dan sesuai dengan karakter Islam Berkemajuan. Argumentasi lainya, kita harus berani ihktiari artinya harusnya kita terima dulu sebagai bagian dari ikhitiar (jihad ekologis) baru nanti dievaluasi, berhasil atau gagal. Bagaimana pekerjaan tambang ini dievaluasi gagal atau berhasil, padahal belum dilakukan, sikap ini namanya a priori dan a historis (gak nyambung).
Pertimbangan lainya adalah daripada izin tambang dikasihkan oleh mafia tambang sering merusak lingkungan, untuk modal kemaksitaan (judi, prostitusi) dan hanya berorientasi kapitalistik lebih baik dikasihkan dan diurus oleh Muhammadiyah yang insya Allah lebih amanah dan dikelolah professional untuk kemashlahatan umat.
Sikap optimis tersebut dilandasi dari kapasitas dan modal (resource) sosial yang dimiliki Muhammadiyah, yaitu udah memiliki 5 Prodi Teknik Pertambangan di 4 PTMA yaitu UM Tasikmalaya, UM Mataram dua Prodi (S1 dan D3), UM Kendari, dan UM Maluku Utara. Ditambah Prodi Penunjang tersebar di 170 PTM se-Indonesia, seperti Prodi Kesehatan Lingkungan, Prodi Teknik, Prodi Kehutanan, Prodi Pertanian dan prodi Ekonomi-Manajemen.
Kedua, karakter (ciri) kelompok Islam “tambang” Berketakutan adalah jama’ah Muhammadiyah yang secara pemikiran dan sikapnya menolak sikap PP Muhammadiyah yang menerima Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia.
Karakter kelompok ini cenderung berpikir pesemistis, prasangka negatif, terlalu berhati-hati, takut mencoba (berikhtiar), kurang berani meneriman tantangan, cenderung mengambil sikap aman (staus qua). Penerimaan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diputuskan oleh PP Muhammadiyah adalah sikap dinilai kurang tepat dan dinilai gegabah, serta dianggap sebagai jebakan politk “Batman” oleh Pemerintahan Indonesia (Presiden Jokowi), karena dianggap akan mengkoptasi dan mensandra sikap politik Muhammadiyah.
Pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) dianggap seperti sistem era Kolonial Belanda dan dianggap tidak sesuai dengan Konstitusi. Sistem IUP selama ini terbukti disalahgunakan oleh oknum pejabat negara, dari level bupati, gubernur, hingga direktorat jenderal sering dijadikan sebagai sumber korupsi. Jika ormas keagamaan masuk ke dalam lingkaran setan kemungkaran struktural tersebut, siapa lagi yang diharapkan memberi solusi.
Argumentasi lainya, penawaran Izin Usaha Pertambangan (IUP) merupakan tawaran penuh racun dan bisa dan ibarat kail berbisa/beracun harus dijahui oleh Muhammadiyah. Namun karena kepincut dengan keduniaan, akhirnya kail berbahaya itu ditelan oleh Muhammadiyah.
Polemik di atas merupakan hal lumrah terjadi di organisasi sebesar Muhammadiyah yang sudah berdiri lama dengan berpuluh juta anggota, tentu tidak muda menyatukan dalam satu kolom pikiran yang sama. Sehingga sangat wajar jika terjadi beragam pandangan (respon) dan sikap terhadap persoalan yang muncul di Muhammadiyah termasuk pertambangan. Selain itu, polemik di atas menujukkan bagian dari kedewasan warga Muhammadiyah dalam menyikapi persoalan dan perbedaan, selalui berdialektika tidak taqlid dan apatis terhadap perkembangan dakwah Muhammadiyah.
Semoga kedua kelpmpok yang saling berdialektika dengan tetap mengedepankan etika dan adab kesantunan saling menghormati. Dan terakhir, Muhammadiyah sebagai oraginasi modern, tentu jika sebuah persoalan tersebut (pertambangan) sudah dikaji para ahli Muhammadiyah dan sudah diputuskan yang melibatakan semua steakholder organisasi yang sah, maka kita kasih kesempatan dan sebagai jama’ah Muhammadiyah pantas untuk patuh sami’na wa’athona.
Keputusan tersebut merupakan sebagai bagian dari ijtihad ekologis dan pengembangn program dakwah sosial-ekonomi PP Muhammadiyah dibawah Ketua Umum Prof Dr Haedar Nashir. Kita semua berdoa, semoga dengan Keputusan penerimaan Izin Usaha Pertambanagn (IUP) menjadi beramnfaat untuk Bangsa Indonesia, Umat Islam, Jama’ah Muhammadiyah, bukan untuk kepentingan pribadi pengelola Tambang Muhammadiyah. (*)
Editor Azrohal Hasan