PWMU.CO – Gemah ripah loh jinawi, begitulah gambaran Indonesia yang disampaikan masyarakat Jawa. Hal ini disampaikan Heri Siswanto SHI dalam kajian Pimpinan Ranting Aisyiyah (PRA) Lebanisuko, Wringinanom, Gresik, Jawa Timur pada Sabtu (17/8/2024).
Wakil ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Wringinanom yang membidangi Pendidikan dasar dan menengah dan Pendidikan Non Formal (Dikdasmen dan PNF) ini menjelaskan bahwa gambaran masyarakat Indonesia sangatlah subur, makmur, dan mempunyai tanah yang luas. “Unen-unen tersebut ada sambungannya yaitu Toto tentrem kerto raharjo, yang bermakna masyarakat yang tentram, aman dan damai,” jelasnya.
Dalam kajian yang bertempat di Masjid Al Ihsan Lebanisuko ini, ia melanjutkan dengan sebuah pertanyaan kepada jamaah, apakah ungkapan diatas saat ini masih berlaku?
Dengan suara lirih dan sedikit berbisik jamaah menjawab tidak.
“Zaman dahulu orang kerja dapat sedikit uang, tapi mempunyai banyak anak, meskipun memasak pakai tungku kayu bakar, tidur beralas tikar, pendingin airnya berupa kendi, tetapi sepertinya nyaman hidup pada zaman dahulu,” katanya sambil tersenyum.
Ungkapan jawa tersebut, sambungnya, mirip dengan firman Allah yang terdapat dalam al-Quran surat Saba’ (34) ayat 15-17, “Baldatun tayyibatul warabbul ghafur”
Heri menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut Allah menyebutkan ada suatu negeri yang baik (nyaman) dan dimana negeri tersebut terdapat dua kebun yang terletak di sebelah kanan dan kiri.
“Negeri tersebut bernama Saba’. Nabi pernah ditanya Sahabat, Saba’ tersebut nama suatu negeri atau nama seorang laki-laki atau perempuan?,” urainya.
Saba’ merupakan nama seorang laki-laki dimana orang tersebut mempunyai 10 anak, enam diantaranya bertempat di Yaman dan empat sisanya ada di Syam.
Allah menganugerahkan dua kebun kepada penduduk Saba’ untuk mempersilahkan makan dan menikmati. “Saking Rahmannya Allah, orang yang masuk kebun dengan membawa keranjang kosong, keluar kebun dengan keranjang penuh tanpa memetiknya,” tandas Heri.
Oleh karena itu, lanjutnya, Allah memerintahkan kepada penduduk Saba untuk bersyukur supaya rezeki akan bertambah, jangan kufur karena adzab Allah sangat pedih.
“Tetapi yang terjadi, penduduk negeri Saba tersebut kufur karena menyembah matahari sehingga Allah menyiksa negeri tersebut dengan datangnya banjir,” ungkapnya.
Banjir tersebut datang dari bendungan yang mereka bangun sendiri. Hal itu terjadi karena Allah telah mengirim tikus untuk menggerogoti tanggul bendungan.
“Setelah banjir, kebun tersebut tetap tumbuh, tetapi yang tumbuh adalah pohon dengan buah yang berasa pahit, batang berduri dan sedikit pohon bidara yang bisa dimakan buahnya,” kata Heri menyitir Quran.
Selanjutnya, Heri menjelaskan ayat 17 bahwasanya Allah tidak akan memberi balasan dan menjatuhkan adzab kecuali kepada orang yang sangat kafir. (*)
Penulis Kusmiani Editor Ni’matul Faizah