Oleh: Dadang Prabowo – Wadir SPEAM Putri, Kota Pasuruan (Opini ini merupakan tulisan yang diikutkan sayembara APIMU).
PWMU.CO – Setiap tanggal 12 Rabiulawal, umat Islam memperingati kelahiran Nabi Muhammad. Meskipun terdapat silang pendapat tentang hukum perayaan tersebut, yang pasti pada tanggal tersebut lahir rasul akhir zaman.
Nabi Muhammad adalah sosok nabi dan rasul yang istimewa. Selain sebagai pemimpin spiritual tertinggi umat Islam sedunia, Nabi Muhammad adalah pemimpin sebuah negara, Madinah.
Dengan begitu, tentu ia memiliki kekuasaan yang absolut atas agama dan politik. Di antara legasi kepemimpinan Nabi Muhammad di Madinah adalah meletakkan dasar pemerintahan Islam berupa Piagam Madinah.
Piagam yang berisi 49 pasal tersebut mengatur interaksi antarmasyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi penduduk Madinah yang heterogen.
Penduduk Madinah pada waktu itu terdiri atas beragam suku dan agama. Dengan kepiawaiannya serta bimbingan wahyu, Nabi berhasil mewujudkan tata negara Madinah yang paripurna berdasarkan konstitusi Piagam Madinah.
Muhammad Husain Haikal dalam bukunya Al-Hukumah Al-Islamiyyah menyebutkan bahwa pemerintahan atau negara Madinah yang dibangun oleh Nabi memiliki tiga prinsip, yaitu: al-ikha (persaudaraan), al-musawah (persamaan), dan al-hurriyah (kebebasan).
Tauhid dan Persamaan dalam Kehidupan Masyarakat
Ketiga prinsip tersebut, menurut Haikal, adalah implementasi dari ajaran tauhid yang membebaskan manusia dari penghambaan, kecuali hanya kepada Allah. Tauhid adalah dasar hidup yang menjamin umat Islam untuk hidup rukun dan saling membantu, dengan kesadaran bahwa semua manusia pada hakikatnya adalah ciptaan Allah.
Ajaran tauhid juga menempatkan manusia dalam posisi yang sama dan setara di hadapan Allah. Tidak ada satu pun ras atau suku bangsa mana pun yang boleh mengklaim mereka lebih utama dan mulia dibandingkan dengan yang lain.
Dengan begitu, setiap manusia memiliki hak yang sama untuk mencapai posisi tertentu dalam jabatan atau peran di masyarakat, asalkan memenuhi kualifikasi dan memiliki kompetensi.
Prinsip ketiga adalah kebebasan, yang berarti setiap manusia dijamin kebebasannya untuk berpikir, bermusyawarah, dan menyampaikan pendapatnya. Negara atau pemerintah tidak boleh menyalahgunakan kewenangannya untuk memberangus kebebasan setiap individu.
Dalam salah satu fragmen kehidupan Nabi dan Khulafaur Rasyidin saat memegang pemerintahan, rakyat tidak segan mengemukakan pendapat dan kritik langsung kepada pemimpinnya. Sebagai pemimpin yang bijaksana, Nabi dan para khalifah menerima dengan lapang dada dan tidak anti kritik.
Kepemimpinan Abu Bakar dan Komitmen terhadap Keadilan
Abu Bakar, ketika terpilih menggantikan Nabi sebagai pemimpin umat Islam, berkata di hadapan penduduk Madinah.
“Saya terpilih menjadi khalifah meskipun saya bukan yang terbaik dari kalian. Jika kalian melihat saya dalam kebenaran, maka tolonglah. Dan jika kalian melihat saya dalam kesalahan, maka jangan segan untuk membetulkan.”
Ketika Nabi Muhammad memerintah, belum ada pembagian kekuasaan ke dalam tiga lembaga: legislatif (pembuat undang-undang), eksekutif (pelaksana undang-undang), dan yudikatif (pengadil atas pelanggaran undang-undang). Nabi Muhammad menjalankan ketiga kekuasaan itu sekaligus.
Meskipun begitu, tidak ada satu riwayat pun yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad menyalahgunakan kekuasaan tersebut untuk kepentingan pribadi atau keluarganya.
Bahkan, dalam salah satu hadis, beliau mengatakan “Kalau Fatimah anakku mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya.”
Pernyataan tegas tersebut adalah indikasi bahwa Nabi Muhammad berkomitmen menjalankan pemerintahan yang adil dan transparan bagi seluruh rakyat. Hukum diberlakukan bagi setiap individu tanpa pandang bulu.
Politik Anti-Dinasti dalam Islam
Nabi Muhammad juga menjadi contoh dalam menjalankan sistem meritokrasi dalam memerintah. Beliau tidak menunjuk keturunan atau keluarganya untuk melanjutkan memerintah setelahnya. Apabila Nabi Muhammad mau, tentu beliau akan menunjuk Ali bin Abi Thalib, sepupu dan menantunya, sebagai pengganti.
Namun, Nabi Muhammad lebih memilih Abu Bakar sebagai pengganti untuk menjadi imam salat berjamaah, yang kemudian dipahami sebagai isyarat bagi penggantinya kelak.
Hal ini menjadi bukti bahwa Nabi Muhammad tidak mempraktikkan politik dinasti dan kekeluargaan. Hal itu kemudian dijadikan contoh dan pedoman oleh para khalifah setelahnya.
Abu Bakar, sebagai sahabat senior, mencalonkan sahabat Nabi lainnya yang menurutnya berkompeten, yakni Umar bin Khattab. Beliau tidak menunjuk salah satu putranya.
Begitu juga Umar. Di akhir masa pemerintahannya, beliau membentuk tim yang kemudian disebut ahlul halli wal aqdi. Tim tersebut diminta Umar untuk bermusyawarah menentukan siapa di antara mereka yang layak melanjutkan kepemimpinan umat Islam.
Di dalam tim tersebut ada putra Umar, Abdullah, tetapi Umar berpesan bahwa setiap anggota tim berhak dipilih dan memilih, kecuali Abdullah bin Umar, anaknya.
Editor Zahra Putri Pratiwig