PWMU.CO – 10 Stereotip dan Fakta Tentang Muhammadiyah
Oleh Dr Aji Damanuri MEI Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PDM Tulungagung, Ketua Dewan Pengawas Syariah Lazismu Tulungagung.
Ketika kuliah dulu saya belajar tentang insider dan outsider. Secara akademik kadang outsider bisa melihat dengan jernih sebuah kelompok karena dianggap lebih obyektif. Namun outsider yang tidak terdidik sering memberi stereotip karena minimnya data.
Informasi yang diperoleh hanya berdasar kata orang atau kabar burung dari mulut ke mulut. Itulah yang juga terjadi pada Muhammadiyah.
Terdampak stereotip padahal bereka belum pernah belajar dan hidup dilingkungan Muhammadiyah, bahkan ketemu langsung dengan warganya juga tidak.
Begitu pula sebaliknya, warga Muhammadiyah harus memahami kelompok lain dengan benar agar tidak terjerumus dalam fitnah.
Stereotip terhadap Muhammadiyah sering kali muncul dari perbedaan pandangan dan pemahaman yang beragam di masyarakat. Meluruskan stereotip bukan berarti membela diri, namun menjelaskan yang benar agar tidak terus terjerembab dalam fitnah. Berikut adalah beberapa stereotip umum yang sering dilontarkan terhadap Muhammadiyah:
Pertama, Muhammadiyah Anti-Tradisi (Anti-Budaya Lokal).
Stereotip: Muhammadiyah sering dianggap sebagai organisasi yang “anti-tradisi” atau “anti-budaya lokal” karena menolak berbagai praktik tradisional seperti tahlilan, yasinan, ziarah kubur, dan peringatan Maulid Nabi.
Faktanya Muhammadiyah tidak menolak budaya lokal secara keseluruhan, tetapi berfokus pada membersihkan ajaran Islam dari hal-hal yang dianggap bid’ah atau praktik yang tidak memiliki dasar kuat dalam al-Quran dan sunnah.
Muhammadiyah lebih menekankan pada bentuk ibadah yang dianggap murni dari pengaruh yang tidak bersumber dari ajaran Islam.
Kedua, Muhammadiyah Terlalu Rasional dan Kaku dalam Beragama.
Stereotip: Muhammadiyah sering dilabeli sebagai organisasi yang terlalu mengedepankan rasionalitas dan tidak memberikan ruang bagi spiritualitas atau dimensi mistis dalam Islam, sehingga dianggap kaku atau kurang “hangat” dalam ibadah.
Faktanya Muhammadiyah mengedepankan pemahaman rasional terhadap agama, namun tidak mengabaikan dimensi spiritual.
Hanya saja, Muhammadiyah menolak praktik-praktik yang dianggap mistis atau tidak memiliki landasan yang jelas dalam teks-teks Islam.
Hal ini mungkin menimbulkan kesan kaku, terutama bagi mereka yang terbiasa dengan praktik-praktik sufistik atau tradisi mistik dalam Islam.
Ketiga, Muhammadiyah Tidak Mau Memperingati Maulid Nabi.
Banyak yang menganggap Muhammadiyah tidak menghormati Nabi Muhammad karena menolak peringatan Maulid Nabi, yang merupakan tradisi populer di banyak komunitas Muslim.
Faktanya, Muhammadiyah tidak menolak peringatan Maulid Nabi, namun fokus pada bagaimana cara memperingatinya. Dalam hari kelahiran tidak ada hukum. Majelis Tarjih tidak menghukumi peringatannya tetapi bagaimana cara memperingatinya. Jika diisi dengan kebaikan maka boleh, jika diperingati dengan kemaksiatan maka dilarang.
Apakah lazim memperingati Maulid nabi dengan kemaksiatan? Ada beberapa kasus dimana masyarakat memperingati maulid dengan berkumpul dikuburan, mengundang sinden, melakukan sesaji dengan jampa jampi tertentu.
Pernah syaikh Muhammad Abduh di Mesir mengeluarkan fatwa bahwa peringatan maulid nabi sebagai suukul fusuk (pasar kefasikan), karena pengaruh penjajahan membuat mereka memperingati maulid nabi dengan berdansa di kuburan.
Adapun muslim Indonesia secara umum memperingati maulid nabi dengan khataman al Qur’an, pengajian, membaca sirah nabawiyah, sholawat, berbagi infaq dan lain-lain.
Muhammadiyah lebih memilih untuk menunjukkan kecintaan kepada Nabi Muhammad dengan meneladani sunnah beliau dalam kehidupan sehari-hari, mempelajari dan mengamalkan ajarannya, namun tidak melarang memperingati hari-hari besar islam non ibadah mahdhah (idul fitri, Adha dan jumah) selama tidak bertentanan dengan ajaran islam.