Oleh: Mohammad Azharudin
PWMU.CO – Saya sangat mafhum, tulisan ini bila dibaca sekilas, nuansanya sangat NU. Mengapa demikian? Mengutip jawaban dari Prof Abdul Mu’ti ketika ditanya oleh Puthut EA terkait penggunaan diksi “kiai” di kalangan Muhammadiyah, beliau menjawab dengan 2 kata yakni “tidak lazim”.
Prof Abdul Mu’ti lantas melanjutkan bahwa belakangan diksi “kiai” mulai digunakan di Muhammadiyah, tapi hanya pada orang-orang yang tingkat keilmuannya sangat tinggi.
Nah, supaya tidak terjadi multiinterpretasi (apalagi sampai melahirkan perdebatan yang tidak perlu), mari kita sepakati bahwa makna “kiai” dalam tulisan ini adalah para elite intelektual Islam.
Sebagian besar dari kita mungkin sudah tidak asing dengan kata-kata ini, “Agama (Islam) itu memudahkan, bukan mempersulit”. Iya, benar! Itu berlaku dalam konteks praktik beragama di kehidupan sehari-hari.
Namun, apabila kita ingin menjadi seorang kiai atau pemuka agama, Islam tidak memberi toleransi sedikit pun terhadap syarat-syarat yang harus dipenuhi.“Berarti Islam itu mempersulit dong?”. Tidak! Islam di sini berusaha menjaga kualitas keberlanjutan ilmu sejak dari Rasulullah Saw hingga era sekarang. Artinya, tidak sembarang individu bisa menjadi kiai.
Lalu, bagaimana dengan sabda nabi saw yang memerintahkan umatnya supaya menyampaikan apa pun dari beliau saw meski hanya 1 ayat?
Pentingnya Kredibilitas dalam Keilmuan Islam
Saya melihat bahwa nash tersebut terlalu sering digunakan orang-orang. Bahkan, saya sampai berprasangka buruk bahwa sebagian orang menggunakan nash termaktub untuk memvalidasi tindakan ndalili orang lain. Aktivitas ndalili itu memang baik dan sama sekali tidak salah. Namun, kalau tarafnya berlebihan, ya dia tidak lagi baik. Lagi pula, hadist nabi Saw tadi juga bisa diperluas interpretasinya.
Sering kali kita memahami maksud “menyampaikan” itu, ya, menuturkan lewat lisan. Padahal, ia juga bisa dimaknai dengan “mempraktikkan akhlak nabi saw dalam keseharian”. Ini selaras dengan apa yang pernah dikatakan Gus Dur, “Tidak peduli apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”.
Kembali ke pembahasan soal kiai. Sebenarnya, seberapa penting sih peran kiai? Apakah kiai itu sekadar guru ngaji? Sekadar sosok yang paham soal hukum fiqh dalam kehidupan sehari-hari? Sekadar orang yang memberi ceramah atau nasihat keagamaan saat peringatan hari besar Islam? Tentu tidak sesederhana itu.
Saya ulangi kembali, syarat menjadi kiai itu tidak gampang. Selain harus mampu memahami secara mendalam agama Islam, kiai juga harus menjaga kredibilitas transmisi keilmuannya.
Saya sangat yakin bahwa salah satu faktor yang mengantarkan Muhammad Darwis menjadi sosok KH Ahmad Dahlan adalah beliau berguru kepada banyak ulama besar.
Mengutip tempo.co, dua ulama yang pernah menjadi guru KH Ahmad Dahlan adalah Kiai Saleh Darat dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Keduanya juga merupakan guru dari KH Hasyim Asy’ari.
Perkara di atas menunjukkan bahwa sang pendiri Muhammadiyah (dan NU) memiliki komitmen tinggi untuk menjaga kualitas transmisi keilmuannya. Hal tersebut tentu menjadikan ajaran KH Ahmad Dahlan lebih otoritatif. Pertanyaannya sekarang, bagaimana dengan kita hari ini?
Peran AI dalam Keilmuan Agama
Kita hidup dikelilingi banyak informasi. Tidak butuh waktu lama bagi kita untuk menemukan jawaban atas semua pertanyaan di dalam kepala kita, termasuk juga pertanyaan-pertanyaan seputar agama.
Lantaran kehadiran AI, kita bahkan tidak perlu repot-repot mencari mana jawaban yang paling sesuai dengan pertanyaan. Cukup kita melempar pertanyaan dan AI akan menyuguhkan jawaban dalam bentuk kesimpulan. Mudah, murah, cepat; itulah 3 kata yang representatif.
Nah, sekarang pertanyaannya berlanjut, apakah cukup kita mengutip jawaban AI atas persoalan-persoalan agama? Saya mencoba bertanya kepada ChatGPT, apakah ia merasa punya otoritas untuk menyampaikan pesan-pesan agama. Berikut tangkapan layar jawabannya.
Menarik sekali jawaban dari ChatGPT. Dia menilai bahwa dirinya merupakan sumber informasi (termasuk dalam topik agama), tapi dia tidak (bisa) merasa bahwa dirinya punya otoritas pribadi untuk menyampaikan pesan agama.
Dengan kata lain, ChatGPT hanyalah media yang menyediakan jawaban, bukan sosok yang bisa dijadikan rujukan. Jika memang demikian, apakah kita tidak bisa atau tidak boleh menggunakan AI sama sekali untuk mencari jawaban perihal problematika keagamaan?