
Oleh Musonif Afandi – Sosiolog dan Pengamat Sosial
PWMU.CO – Islam di Indonesia memiliki karakteristik yang unik daripada pada negara-negara lain yang mayoritas penduduknya juga beragama Islam. Sebagai negeri dengan populasi Muslim terbesar sedunia, Indonesia menunjukkan bahwa Islam dapat hidup berdampingan dengan berbagai budaya dan agama lain secara damai.
Inklusivitas Islam Indonesia ini bertolak belakang dengan teori Clash of Civilizations yang dikemukakan Samuel P Huntington, yang memprediksi bahwa benturan antara peradaban Islam dan Barat akan menjadi sumber utama konflik global.
Dalam konteks keindonesiaan, yang cukup menarik adalah sejauh mana Islam Indonesia mampu menjadi contoh peradaban dengan inklusivitasnya yang bertolak belakang dengan prediksi Huntington. Organisasi keagamaan besar di Indonesia yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) memainkan peran penting dalam menjaga harmoni sosial, membangun sikap moderat dalam beragama, serta meneguhkan Islam yang ramah terhadap keberagaman.
Realitas yang berbeda dengan Teori Huntington
Teori Huntington menyatakan bahwa dunia pasca-Perang Dingin akan didominasi oleh konflik berbasis peradaban. Menurutnya, Islam dan Barat memiliki nilai-nilai yang bertolak belakang dan akan sulit untuk berdamai. Namun, realitas di Indonesia membuktikan bahwa Islam dapat bersanding dengan budaya dan agama lain tanpa harus mengalami benturan peradaban.
Sejarah masuknya Islam ke Indonesia menjadi bukti awal bagaimana ajaran Islam berkembang dengan cara damai. Islam datang ke Nusantara melalui jalur perdagangan, bukan melalui peperangan. Para ulama dan saudagar Muslim tidak hanya menyebarkan ajaran Islam, tetapi juga berbaur dengan budaya lokal, mengadopsi dan mengakomodasi kearifan lokal yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Hal ini menghasilkan model Islam yang lebih fleksibel, moderat, dan toleran terhadap perbedaan.
Jika kita mencermati perkembangan Islam Timur Tengah yang penuh warna konflik, Islam Indonesia justru menawarkan warna yang berbeda. Hal ini tak terlepas dari model keberagamaan di Indonesia yang lebih mengedepankan inklusivitas dan dialog daripada dengan pendekatan konfrontasi.
Pilar inklusivitas Islam Indonesia
Model Islam inklusif di Indonesia dapat terlihat dari dua konsep besar yang dikembangkan oleh Muhammadiyah dan NU, yaitu Islam Berkemajuan dan Islam Nusantara.
Pertama, Islam Berkemajuan menjadi keberisalaman yang adaptif terhadap modernitas. Muhammadiyah mengusung konsep Islam Berkemajuan yang menitikberatkan pada pentingnya umat Islam untuk terbuka terhadap modernitas dan ilmu pengetahuan. Hal ini karena Muhammadiyah percaya bahwa Islam tidak boleh terjebak dalam dogma yang kaku, tetapi harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Muhammadiyah mendorong umat Islam untuk menjadi lebih rasional, progresif, dan produktif dalam berbagai bidang kehidupan. Terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial.
Sikap inklusif Muhammadiyah juga terlihat dari bagaimana organisasi ini tidak hanya berfokus pada kepentingan umat Islam saja. Muhammadiyah juga memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Misalnya, rumah sakit dan sekolah Muhammadiyah terbuka untuk siapa saja, tanpa memandang agama atau latar belakang mereka.
Konsep Islam Berkemajuan menunjukkan bahwa Islam tidak harus berseberangan dengan modernitas, melainkan dapat berjalan berdampingan untuk menciptakan peradaban yang lebih maju. Sikap ini membuktikan bahwa Islam tidak selalu bertentangan dengan peradaban Barat, seperti klaimnya Huntington dalam teorinya.
Kedua, Islam Nusantara dengan mengedepankan basis kearifan lokal, merupakan konsep yang menekankan bahwa Islam di Indonesia memiliki karakter yang khas, yakni berpadu dengan budaya lokal tanpa kehilangan esensi ajaran Islam itu sendiri. Konsep ini diusung oleh NU sebagai upaya untuk menegaskan bahwa Islam di Indonesia berkembang melalui pendekatan damai dan akulturatif.
Islam Nusantara mempromosikan nilai-nilai seperti tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), tawassut (moderat), dan ‘adl (keadilan). Keempat nilai ini menjadi dasar bagi umat Islam di Indonesia dalam bersikap terhadap perbedaan, baik dalam lingkup agama maupun budaya.
Contoh nyata dari praktik Islam Nusantara adalah bagaimana NU tetap mendukung Pancasila sebagai dasar negara. NU memahami bahwa Pancasila adalah hasil kesepakatan bersama yang dapat menjamin hak-hak seluruh warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim. Hal ini menunjukkan bahwa Islam di Indonesia tidak bersikap eksklusif, melainkan terbuka terhadap keberagaman dan menjunjung tinggi prinsip keadilan sosial.
Islam inklusif untuk perdamaian dunia
Islam inklusif di Indonesia dapat menjadi model bagi dunia Islam dalam mengatasi konflik berbasis perbedaan peradaban. Dalam konteks global, banyak negara dengan mayoritas Muslim masih menghadapi tantangan dalam menerapkan Islam yang moderat dan inklusif.
Indonesia telah membuktikan bahwa Islam dapat dijalankan dengan cara yang damai dan menghargai perbedaan. Model keberislaman Muhammadiyah dan NU telah menunjukkan bahwa Islam tidak hanya berbicara tentang hukum dan ibadah, tetapi juga bagaimana Islam dapat menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).
Keberhasilan Indonesia dalam mempertahankan harmoni antara Islam dan budaya lokal menunjukkan bahwa agama tidak harus menjadi sumber konflik. Justru, Islam yang inklusif dapat menjadi solusi bagi dunia yang semakin plural dan beragam.
Berkembang tanpa berkonflik
Teori Clash of Civilizations-nya Huntington tidak sepenuhnya tepat, terutama dalam konteks Islam di Indonesia. Islam di Indonesia telah membuktikan bahwa ia dapat berkembang dengan damai tanpa harus berbenturan dengan peradaban lain.
Melalui konsep Islam Berkemajuan ala Muhammadiyah dan Islam Nusantara ala NU, Islam Indonesia menampakkan wajahnya yang inklusif, moderat, dan toleran. Sikap ini bukan hanya relevan bagi Indonesia, tetapi juga dapat menjadi inspirasi bagi negara-negara lain yang menghadapi tantangan dalam mengelola keberagaman agama dan budaya.
Karena itu, model Islam inklusif Indonesia bukan hanya sekadar fenomena lokal, namun juga memiliki relevansi global. Dengan terus mengembangkan sikap toleran, moderat, dan terbuka terhadap perbedaan, Islam di Indonesia dapat menjadi contoh nyata bagaimana agama dapat menjadi kekuatan yang menyatukan, bukan yang memecah belah. (*)
Editor Notonegoro