
Oleh: Miftahul Muslim (Guru SMA Muhammadiyah 1 Surabaya)
PWMU.CO – Kabar akan diberlakukannya kembali sistem penjurusan di jenjang SMA menjadi angin segar yang patut disambut secara positif oleh semua pelaku pendidikan, khususnya para guru di sekolah menengah atas. Kebijakan ini seperti mengembalikan roh pendidikan menengah yang sempat menghilang: memberi ruang kepada siswa untuk tumbuh sesuai potensi dan minatnya.
Selama saya mengajar dan berdiskusi dengan para murid di kelas, tidak jarang mereka mengungkapkan kebingungan terhadap sistem peminatan yang selama ini diterapkan. Terutama ketika mereka sudah mulai memikirkan jenjang perguruan tinggi. Fokus belajar mereka sering kali terbiaskan karena materi yang harus mereka pelajari terlalu luas dan tidak terarah. Sistem peminatan yang semula dianggap fleksibel, justru kerap menjadi jebakan kebingungan.
Dengan penjurusan yang akan kembali diterapkan, para siswa akan lebih mudah memfokuskan diri pada bidang yang sesuai dengan pilihan masa depan mereka. Mereka yang tertarik pada rumpun saintek bisa mantap memilih jurusan IPA, sementara yang berminat pada rumpun soshum bisa memilih IPS atau Bahasa. Dengan begitu, tidak ada lagi siswa yang merasa ‘dipaksa’ belajar semua hal secara dangkal, tanpa mendalami satu bidang secara serius.
Kesiapan Bersaing dengan SMK
Penjurusan ini juga berpotensi besar mengangkat daya saing SMA dengan SMK. Selama ini SMK unggul karena output-nya yang jelas: siswa memiliki keterampilan tertentu untuk langsung bekerja. SMA kerap dianggap sekadar “persiapan kuliah.” Padahal dengan adanya jurusan yang spesifik, SMA pun bisa melahirkan lulusan yang memiliki core competence yang tak kalah siap baik untuk masuk ke dunia kampus maupun dunia kerja.
Dengan model penjurusan, SMA bisa menyusun strategi pembelajaran yang lebih tertata. Setiap jurusan memiliki mata pelajaran khasnya sendiri. Maka guru pun akan lebih fokus mengembangkan materi, dan siswa bisa belajar sesuai irama kemampuan serta ketertarikan mereka.
Lebih dari itu, sekolah akan lebih mudah dalam mengelola kelas. Tidak ada lagi kegelisahan karena hanya satu jurusan yang diminati sedangkan lainnya kekurangan siswa. Hal ini sangat terasa terutama di sekolah kecil yang hanya memiliki 1–2 rombongan belajar per jenjang.
Stereotip Usang: Saatnya Ditinggalkan
Memang masih ada sebagian kecil kekhawatiran, terutama dari para orang tua, bahwa jurusan IPA untuk anak “pintar”, sedangkan IPS dan Bahasa untuk anak “cadangan.” Namun menurut saya, itu adalah warisan cara pandang kuno yang tidak lagi relevan dengan zaman. Di era digital ini, informasi dapat diakses secara cepat dan luas. Orang tua masa kini jauh lebih terbuka dan tercerahkan.
Tugas sekolah adalah terus mengedukasi dan mengajak diskusi para orang tua agar memahami bahwa setiap jurusan memiliki keunggulan dan perannya masing-masing. Dunia kerja dan perguruan tinggi saat ini justru membutuhkan keberagaman keilmuan. Tidak ada satu jurusan pun yang lebih tinggi daripada yang lain—semuanya penting sesuai kebutuhan zamannya.
Arah Baru Pendidikan Menengah
Saya percaya, sistem penjurusan yang diberlakukan ulang ini bukanlah langkah mundur, tapi justru langkah maju yang kembali ke akar: memanusiakan siswa. Memberi mereka pilihan, fokus, dan arah. Membantu mereka mengenali potensi diri, dan mempersiapkan masa depan dengan lebih mantap.
Mari kita sambut kebijakan ini dengan semangat positif, serta kesiapan dari seluruh komponen sekolah untuk mendampingi siswa menjalani perjalanan pendidikannya dengan arah yang lebih jelas. (*)
Editor Wildan Nanda Rahmatullah